MAROKO. COP (Konferensi) ke 22 UNFCCC (Badan PBB tentang Perubahan Iklim) berlangsung di Marrakech, Maroko pada 7 – 18 November 2016. Menyambut COP 22 ini La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) melakukan serangkaian kegiatan untuk menarik perhatian masyarakat dunia mengenai efek buruknya dari perjanjian yang hanya merugikan petani kecil ini.
Hakech Mohammad, koordinator serangkaian kegiatan ini menyampaikan, sekitar 40 orang yang didominasi kaum muda datang dari berbagai penjuru dunia untuk menyuarakan suaranya, meminta solusi nyata atas perubahan iklim.
“Masa depan pertanian terletak di tangan petani-petani muda yang bertani dengan sistem pertanian yang ramah lingkungan, secara agroekologi,” kata Hakech.
Banyak perusahaan multinasional melihat COP 22 sebagai kesempatan untuk lebih memperkenalkan inisiatif penyerapan karbon ke negara-negara Afrika Utara dan Timur Tengah yang telah sangat terpengaruh oleh perubahan iklim dengan peningkatan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari model produksi yang intensif. Untuk alasan ini, para delegasi La Via Campesina akan tersedia di seluruh COP untuk menyajikan visi alternatif. Para delegasi akan menjelaskan bahwa krisis iklim merupakan ancaman serius terhadap kedaulatan pangan dan kelangsungan hidup keluarga petani yang tak terhitung jumlahnya.
“Para delegasi juga memberikan testimoni tentang praktek-praktek petani yang melestarikan hutan, sekaligus sebagai serangan balik bagi perusahaan multinasional yang melakukan pengrusakan alam dan hutan dengan menanam tanaman monokultur dan biofuel,” kata Hakech lagi.
Selanjutnya, para delegasi juga akan menjelaskan risiko meningkatnya perampasan tanah, sebuah fenomena yang berkembang luas.
“Ada dukungan diam-diam untuk perampasan tanah dalam teks perjanjian COP 21 Desember lalu, yang mengurangi pertanian ke “penggunaan sektor lahan” dalam rangka untuk menyoroti potensi untuk menangkap karbon,” lanjut Hakech.
Hakech menambahkan, pembayaran jasa ekosistem, REDD, REDD +, dan program “spin-off” mereka seperti pertanian iklim-pintar, bersama-sama dengan Perjanjian Paris, lebih mengutamakan kepentingan komersial dan keuangan perusahaan multinasional dan ekonomi dunia dibandingkan hak asasi manusia. Hal ini mendorong, Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag baru-baru ini mengakui bahwa pelanggaran HAM yang melibatkan kerusakan lingkungan dan, khususnya, perampasan ilegal jatuh lahan dalam domain kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sementara itu, Muhlasin, Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) Serikat Petani Indonesia (SPI) Lampung, yang turut hadir dalam kegiatan ini menegaskan, yang paling bertanggungjawab atas pemanasan global adalah perusahaan perampas tanah rakyat beserta para kapitalis pembuat pupuk dan pestisida kimia.
“Pertanian agroekologis mendinginkan bumi, bukan pertanian berbasiskan industri. Ini kita pertegas dalam rangkaian acara menolak solusi palsu di COP 22 kali ini,” katanya.
“Bersama La Via Campesina kita akan memastikan bahwa suara delegasi pemuda tani didengar,” tambahnya.