PENGANTAR
Kemiskinan masih menjadi masalah utama di pedesaan, para penduduk di pedesaan yang memproduksi pangan justru merupakan pihak yang banyak menderita kelaparan dan kemiskinan. Dari 28,28 juta jiwa jumlah penduduk miskin, sebesar 17,77 juta jiwa atau 62,8 persen berada di pedesaan[1]. Setidaknya terdapat 26,14 juta rumah tangga petani di pedesaan, dimana 17,73 juta rumah tangga diantaranya adalah petani tanaman pangan[2] yang memproduksi pangan bagi 250 juta penduduk Indonesia.
Peran penting petani tersebut sangat berbanding terbalik dengan tingkat kesejahteraan dan pelayanan publik yang dapat diakses, serta perlindungan dan jaminan terhadap hak-hak mendasar bagi petani. Hal ini menjadi pemicu berkurangnya jumlah petani secara mengejutkan, mencapai 5,09 juta keluarga petani dalam kurun waktu satu dekade terakhir. Artinya setiap tahun rata-rata terdapat 509 ribu keluarga petani yang meninggalkan lahan pertanian, yang berarti dalam sepuluh tahun terakhir ini setiap satu jam jumlah petani berkurang 58 keluarga petani. Hal ini merupakan peringatan keras bagi segenap elemen bangsa terhadap ancaman kecukupan pangan nasional. Gejala tersebut sudah muncul seiring laju berkurangnya jumlah petani dalam satu dekade terakhir yang ditandai dengan meningkatnya impor pangan.
Tingginya angka penurunan jumlah petani tersebut setidaknya dikarenakan dua alasan, pertama profesi petani dianggap tidak mampu dijadikan mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehingga beralih ke profesi lain. Kedua, petani terpaksa meninggalkan profesi petani dikarenakan tidak lagi memiliki lahan pertanian untuk diusahai. Kedua alasan tersebut memiliki akar permasalahan yang sama, yakni tidak adanya jaminan perlindungan dari negara terhadap petani.
Untuk mendorong perlindungan terhadap petani, Serikat Petani Indonesia bersama dengan organisasi rakyat lainnya telah menginisiasi dan merumuskan Deklarasi Hak Asasi Petani pada tahun 2001 di Cibubur, serta didukung oleh Komnas HAM. Deklarasi tersebut merupakan upaya untuk mendorong negara merumuskan perundang-undangan yang melindungi hak-hak asasi petani sebagai soko guru kedaulatan pangan nasional. Naskah deklarasi tersebut telah diserahkan ke berbagai lembaga pemerintah untuk ditindaklanjuti, namun kurang memperoleh respon positif.
Upaya tersebut terus berlanjut dengan mendorong rumusan Deklarasi Hak Asasi Petani tersebut untuk menjadi Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani, yang dimulai pada tahun 2008. Upaya tersebut memperoleh respon positif dengan disetujuinya resolusi bernomor A/HRC/21/L.23 oleh Dewan HAM PBB pada September 2012[3]. Resolusi tersebut memutuskan untuk membentuk kelompok kerja antar pemerintah untuk menyiapkan rancangan deklarasi hak asasi petani. Deklarasi tersebut nantinya diharapkan akan menjadi sebuah instrumen baru yang akan dikembangkan oleh Dewan HAM PBB sebagai Deklarasi Tentang Hak Asasi Petani yang serupa dengan Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat.
Di samping upaya tersebut, Serikat Petani Indonesia bersama organisasi tani lain mendorong lahirnya undang-undang yang melindungi petani tanpa menunggu adanya Deklarasi Hak Asasi Petani Perserikatan Bangsa Bangsa. Upaya tersebut berhasil melahirkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Meski masih banyak terdapat kekurangan untuk dijadikan payung hukum yang melindungi hak asasi petani, setidaknya langkah ini menjadi titik awal untuk memperkuat perlindungan terhadap hak asasi petani.
Sebagai Organisasi Massa yang memperjuangkan kepentingan dan hak-hak petani, Serikat Petani Indonesia melakukan berbagai upaya untuk memastikan terpenuhinya hak-hak petani, mendorong lahirnya instrumen hukum Hak Asasi Petani, serta melakukan pemantauan terhadap berbagai bentuk pelanggaran atas Hak Asasi Petani. Laporan ini merupakan upaya untuk membangun kesadaran publik terhadap kondisi petani serta pentingnya perlindungan terhadap hak-hak petani.
Laporan ini merupakan laporan hasil pendataan, analisis, dan penilaian Serikat Petani Indonesia terhadap situasi Hak Asasi Petani (HAP) di Indonesia selama tahun 2014. Laporan ini disusun berdasarkan data-data pendukung yang dikumpulkan baik dari laporan anggota SPI, hasil investigasi, informasi dari lembaga lain, pengamatan, serta informasi dari media massa. Berdasarkan data-data tersebut, kami berupaya menganalisa tentang gambaran umum situasi Hak Asasi Petani di Indonesia.
Silahkan unduh laporan lengkapnya di sini.
[1]Laporan BPS, Maret 2014
[2]Sensus Pertanian Tahun 2013
[3] http://www.ohchr.org/EN/HRBodies/HRC/RuralAreas/Pages/Background.aspx
yach nasib petani…kasiannya dikau. namun dikau harus bangkit walau di nomer sekiankan.
salam
Agen Foredi Batam
Petani selalu menjadi nomer sekian. seharusnya kita memperkuat dibidang agraris dan kemaritiman.