Laksanakan Pembaruan Agraria Sejati !

BOGOR. Setelah 50 tahun, sejak UUPA 1960 ditetapkan, serta sejak rencana PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) dicanangkan pada 2007,  keadaan petani di Indonesia tetap terpuruk dan belum ada perbaikan taraf hidup yang berarti.  Data BPS (Sensus Pertanian 2003) menyatakan jumlah rumah tangga petani naik menjadi 25,4 juta—atau terjadi kenaikan sebesar 5,4 juta rumah tangga dalam satu dekade terakhir. Jumlah ini pun diperkirakan akan terus meningkat. Hingga tahun 2008, dari hasil proyeksi Serikat Petani Indonesia (SPI), berdasarkan tingkat pertumbuhan keluarga petani sebesar 2,2 persen per tahun terdapat 28,3 juta rumah tangga petani, dan 15,6 juta diantaranya merupakan rumah tangga petani gurem.

Namun jumlah rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar, baik milik sendiri maupun menyewa, malah meningkat dari 10,8 juta keluarga tahun 1993 menjadi 13,7 juta keluarga tahun 2003 (naik 2,6 persen per tahun). Persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan juga meningkat dari 52,7 persen (1993) menjadi 56,5 persen (2003). Kenaikan ini menunjukkan semakin miskinnya petani akibat semakin sempitnya lahan pertanian.

Data BPS juga menunjukkan bahwa luas lahan pertanian padi di Indonesia pada tahun 2010 tinggal 12,870 juta hektar, menyusut 0,1% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 12,883 juta hektar. Luas lahan pertanian secara keseluruhan termasuk non-padi pada 2010 diperkirakan berjumlah 19,814 juta hektar, menyusut 13 persen dibanding tahun 2009 yang mencapai 19,853 juta ha. Kondisi ini yang terus memperparah kehidupan petani.

Dihubungkan dengan luas pertanian, maka kita dapat melihat Nilai Tukar Petani (NTP) yang berfluktuasi—serta tidak ada kenaikan signifikan, yang artinya petani makin sulit memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Pada bulan Maret 2003 NTP secara nasional turun 3,58 persen dibanding bulan Februari 2003, yaitu dari 123,04 menjadi 118,64. NTP nasional bulan Juni 2010 sebesar 101,39, atau hanya naik tipis 0,22 persen dibanding bulan sebelumnya. Belum lagi pada Juni-Juli 2010, terjadi inflasi di daerah perdesaan di Indonesia sebesar 0,71 persen terutama dipicu oleh subkelompok bahan makanan.

Di sisi lain, ada peningkatan jumlah tenaga kerja di sektor pertanian yang menurut data BPS mencapai mencapai 42,8 juta orang pada bulan Februari 2010. Jumlah ini merepresentasikan 40 persen dari keseluruhan angkatan kerja nasional yang mencapai 107,4 juta orang. Sementara, angka pengangguran ternyata melonjak. Pada tahun 2001 angka pengangguran terbuka sebanyak 8 juta orang atau sekitar 8,10 persen. Tahun 2003 angka tersebut meningkat menjadi 10,13 juta atau 9,85 persen.

Dalam situasi ketiadaan pembaruan agraria dan sempitnya lahan petani, konflik agraria antara petani melawan pengusaha dan negara berlangsung secara masif dan berlarut-larut. Dalam konflik ini, petani terus dihadapkan dengan penangkapan, penembakan serta berbagai tindak kekerasan dan kriminalisasi. Potret kasus agraria dalam beberapa tahun ini dapat kita lihat yakni: Cibaliung, Gorda, Banten(2000), Sukabumi, Jabar (2000), Tanak Awu (2005), Lampung (2006), Asahan,langkat, Deli Serdang, Sumut (2000), Jambi (2008), penembakan 12 petani Rengas, Sumsel (2009), dan Kampar, Riau (2010). Ini hanya sekelumit dari ribuan kasus agraria yang masih menumpuk dan tersebar di seluruh Indonesia.

Fakta lain yang sangat ironis mengingat Indonesia adalah bangsa agraris, produsen dan lumbung pangan adalah saat kita menjadi pengimpor pangan terbesar di dunia saat ini. Sejak tahun 1998-2006, hampir 50 persen beras yang diperdagangkan di tingkat internasional (sekitar 2 juta ton lebih) di impor ke Indonesia. Ini belum termasuk ketergantungan impor 70 persen dari kebutuhan susu nasional, 50 persen daging, 45 persen kedelai, 15 persen kacang tanah, 13 persen garam, dan 10 persen jagung. Secara umum ketergantungan pangan melalui impor telah menghabiskan dana 51 triliun rupiah tiap tahunnya.

Terkait dengan rencana penyerahan sertifikat tanah yang dilaksanakan oleh BPN-Pusat di istana bogor, kami Serikat Petani Indonesia memandang bahwa hal tersebut bukanlah sebagai pelaksanaan pembaruan agraria sejati yang diamanatkan oleh Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) no. 5 th 1960. oleh karena itu Serikat Petani Indonesia meminta kepada pemerintah untuk segara :

  1. Redistribusikan segera 9,6 juta hektar tanah kepada rakyat tani melalui pembaruan agraria nasional;
  2. Tertibkan dan berdayakan 7,3 juta hektar tanah terlantar untuk pembaruan agraria dan produksi pangan untuk kedaulatan pangan, kedaulatan energi serta perumahan rakyat;
  3. Lindungi pertanian kecil berbasis keluarga dan tolak korporatisasi pertanian–terutama proyek food estate;
  4. Hentikan kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani. Segera dibuat Undang-Undang tentang Perlindungan Hak Asasi Petani;
  5. Cabut Undang-Undang Perkebunan, Kehutanan, Sumber Daya Air, Pangan, Pertambangan, Penanaman Modal, Minerba, Konservasi Sumber Daya Alam, Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, Sistem Budidaya Tanaman, Perlindungan Varietas Tanaman, Perikanan, dan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil karena bertentangan dengan Pancasila dan mandat UUD 1945, serta UUPA 1960;
  6. Tolak Rancangan Undang Undang yang berpotensi merugikan kaum tani, seperti Rancangan Undang-Undang Pengadaan Tanah, Pertanahan, Hortikultura;
  7. Segera bentuk Komisi Ad hoc Penyelesaian Konflik Agraria dan Pelaksana Reforma Agraria;
  8. Lindungi dan penuhi hak mendasar petani serta akses terhadap sumber-sumber agraria, benih, pupuk, tekhnologi, modal dan harga produksi pertanian

Bogor, 21 Oktober 2010

DPP Serikat Petani Indonesia (SPI)

Telp. +62 21 7991890 Fax. +62 21 7993426

Kontak :

Agus Ruli Ardiansyah ( 0815 851 38077 )

ARTIKEL TERKAIT
SPI Siap Perkuat Koperasi di Wilayah
Bangun Ekonomi dari Lahan Perjuangan
Aksi puluhan ribu petani Haiti tolak Monsanto
“Indonesia Darurat Agraria: Luruskan Reforma Agraria dan S...
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU