JAKARTA. Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) mengeluarkan laporan situasi hak asasi petani Indonesia selama 2021. Ketua Departemen Kajian Strategis DPP SPI Mujahid W. Saragih menyampaikan, laporan ini disusun untuk mengukur bagaimana penerapan situasi hak asasi petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan.
“SPI menggunakan Deklarasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak Asasi Petani dan Orang yang Bekerja di Pedesaan (United Nations Declaration on The Rights of Peasant and Other People Working in Rural Areas/UNDROP) sebagai indikatornya,” kata Mujahid dari Medan siang ini (22/12).
“Pasal-pasal kunci tersebut adalah Pasal 2 tentang Kewajiban Umum Negara; Pasal 4 tentang Hak Perempuan di Perdesaan; Pasal 7 tentang Kebebasan Bergerak; Pasal 10 tentang Hak untuk Berpartisipasi; Pasal 12 tentang Hak untuk Mengakses Keadilan; Pasal 15 tentang Hak atas Pangan dan Kedaulatan Pangan; Pasal 16 tentang Hak atas Penghasilan dan Penghidupan yang Layak serta Cara Produksi; Pasal 17 tentang Hak atas Tanah; Pasal 19 tentang Hak atas Benih; dan Pasal 20 tentang Hak atas Keanekaragaman Hayati,” sambungnya.
“Rilis ini adalah bagian keduanya,” lanjutnya.
Pasal 10 tentang Hak untuk Berpartisipasi
Mujahid menjelaskan, pemerintah Indonesia belum menjalankan pasal 10 UNDROP secara konsekuen, yakni dengan tidak melibatkan partisipasi aktif dari petani maupun organisasi petani dalam kebijakan strategis negara. Pasal 10 ayat 1 UNDROP ini sendiri berbunyi “petani dan orang lain yang bekerja di daerah pedesaan memiliki hak untuk berpartisipasi aktif dan bebas, secara langsung dan/atau melalui organisasi perwakilan mereka, dalam mempersiapkan dan penerapan kebijakan, program dan proyek yang dapat mempengaruhi kehidupan, lahan dan mata pencaharian mereka.”
“Hal ini jelas tampak dari dinamika yang terjadi dalam UU Cipta Kerja, yang tidak melibatkan partisipasi petani, orang-orang yang bekerja di perdesaan, maupun organisasi dan serikat yang mewadahi mereka,” keluhnya.
“Dampak dari tidak partisipatif dan ketergesaan proses perumusan UU Cipta Kerja terlihat dari kontroversi di aspek substansi maupun administratifnya. Dari aspek substansi, keberpihakan UU Cipta Kerja terhadap kepentingan kapital/pemodal sangat kentara. Hal ini menurut SPI akan menjadi basis legitimasi lahirnya berbagai pengaturan yang mempermudah impor pangan, melemahkan reforma agraria, memperumit penyelesaian konflik agraria di kawasan hutan, dan mempermudah perampasan tanah petani oleh korporasi dengan dalil proyek strategis nasional maupun peningkatan ekonomi,” paparnya.
Mujahid melanjutkan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pemerintah dalam proses perumusan UU Cipta Kerja,mendorong SPI, yang tergabung dalam Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL), menempuh jalur konstitusional dengan mengajukan Uji Formil UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi RI (MK).
“Setelah melalui berbagai tahapan persidangan dalam waktu satu tahun, pada tanggal 25 November 2021 MK memutuskan UU Cipta Kerja cacat formil dan inkonstitusional bersyarat. Amar putusan MK juga menyatakan bahwa tidak dibenarkan untuk mengambil tindakan atau kebijakan strategis dan berdampak luas, termasuk menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja,” sambungnya.
Pasal 12 tentang Hak untuk Mengakses Keadilan
Dalam konteks hak untuk mengakses keadilan, situasi pemenuhan hak asasi petani di Indonesia hari ini masih jauh dari harapan. Petani kerap mendapatkan perlakuan diskriminatif di hadapan hukum itu sendiri. Hal ini diakibatkan karena tidak pahamnya aparat penegak hukum serta cenderung memihak ke perusahaan ketika menangani persoalan laten konflik agraria yang merugikan petani.
Mujahid memaparkan, beberapa kasus konflik agraria yang dialami anggota SPI di provinsi Sumatera utara, Jambi, Sumatera barat dan Banten menunjukkan fenomena yang sama, yaitu tidak terpenuhinya hak atas peradilan yang adil atau fair trial. SPI mencatat penegak hukum kerap melakukan pelanggaran terhadap prinsip fair trial, terutama peradilan yang bebas tidak memihak. Bias kepentingan terhadap para pemodal, mengakibatkan hak petani untuk mendapatkan keadilan menjadi terabaikan serta tidak terpenuhi.
“Contoh kasus yang dialami oleh petani anggota SPI di Tanjung Jabung Timur Jambi ketika berkonflik dengan 3 perusahaan: PT. Wirakarya sakti, PT. Kaswari Unggul dan PT. Mendahara Agro Jaya Lestari. Ketiga perusahaan tersebut terus melakukan intimidasi terhadap petani dengan merusak pondok, tanaman hingga melakukan ancaman dengan kekerasan. Namun pihak aparat hukum tidak menerima laporan petani atas peristiwa tersebut karena menganggap petani bukanlah pemilik yang sah atas tanah tersebut. Hal ini jelas melanggar prinsip fair trial dan pasal 12 ayat (1) dalam UNDROP tentang imparsialitas dan kompeten aparat hukum,”
“Hal ini berbanding terbalik ketika aparat hukum menangani laporan dari perusahaan terhadap petani. Aparat hukum cenderung memihak dan mengabaikan fakta kronologis yang terjadi. Seperti yang dialami Hasse bin Labi, petani anggota SPI Tanjung Jabung Timur, yang dikriminalisasi menggunakan Undang-Undang 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan karena dituduh oleh perusahaan menduduki lahan perkebunan secara ilegal. Aparat hukum mengabaikan fakta bahwa Hasse bin Labi merupakan pemilik yang sah atas tanah yang diklaim oleh perusahaan tersebut berdasarkan dokumen pancung alas serta penguasaan secara turun temurun. Potret penegakan hukum yang seperti ini tentunya bertentangan dengan tujuan hukum itu sendiri, yaitu memberikan rasa keadilan bagi petani,” paparnya.
Pasal 15 tentang Hak atas Pangan dan Kedaulatan Pangan
Afgan Fadilla Kaban, Ketua Tim Kampanye Hak Asasi Petani DPP SPI melanjutkan pemerintah Indonesia mengambil langkah mundur terkait upaya mempromosikan sistem pangan yang berkeadilan bagi masyarakat. Pada tahun 2021, melalui forum United Nations Food System Summit – UNFSS, pemerintah masih menggunakan konsep ketahanan panganuntuk melibatkan korporasi dalam sistem pangan saat ini.
“SPI menyayangkan keputusan pemerintah tersebut. Hal ini mengingat konsep ketahanan pangan sudah terbukti gagal dalam mengatasi kelaparan dan kemiskinan global yang terjadi saat ini. Pemerintah juga seolah-olah menutup mata terhadap kenyataan bahwa, sistem pangan yang dikendalikan oleh korporasi telah gagal. Ini dibuktikan dari ‘Krisis Pangan Global tahun 2008’ dan juga kesulitan-kesulitan yang dihadapi selama Pandemi Covid-19 saat ini,” paparnya.
Afgan menjelaskan, dalam hal ini, petani dan gerakan rakyat lainnya sebenarnya terus mendesak pemerintah agar menjadikan kedaulatan pangan sebagai konsep pembangunan pertanian dan perdesaan. Sebagai antitesis dari ketahanan pangan, kedaulatan pangan merupakan solusi yang relevan bagi situasi pangan di Indonesia saat ini. Melalui kedaulatan pangan, kendali sistem pangan akan dijalankan langsung oleh para petani, nelayan, masyarakat adat dan produsen pangan skala kecil lainnya. Kedaulatan pangan menempatkan aspirasi dan kebutuhan dari mereka yang memproduksi, mendistribusikan, dan mengonsumsi makanan di jantung sistem dan kebijakan pangan di atas tuntutan pasar dan perusahaan.
“SPI dalam hal ini mendesak pemerintah konsekuen dalam menjalankan kedaulatan pangan, yang pada dasarnya sudah tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Seperti di dalam UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan. Ini kemudian diikuti undang-undang lainnya, di antaranya UU No.18 tahun 2012 tentang Pangan, bahkan masuk di dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014 – 2019,” paparnya.
Afgan melanjutkan, sikap pemerintah dalam mendorong proyek food estate untuk mengatasi masalah krisis pangan dan ancaman perubahan iklim, juga merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak petani dan orang yang bekerja di perdesaan. Hal ini mengingat sistem yang dijalankan dalam food estate tidak berkelanjutan dan mendiskriminasi hak-hak petani dan orang yang bekerja di perdesaan.
“Dalam hal ini, kuatnya cengkeraman korporasi dalam proyek food estate, mulai dari izin penguasaandan pengelolaan tanah, kontrol terhadap benih, penggunaan pupuk dan pestisida, sampai dengan kewenangan terhadap harga panen sebagai off taker. Hal-hal tersebut berpotensi besar untuk semakin menyingkirkan petani yang notabene merupakan produsen pangan utama di Indonesia,” sambungnya.
Kontak Selanjutnya:
Mujahid W. Saragih – Ketua Departemen Kajian Strategis DPP SPI – 0813 7523 9059
Afgan F. Kaban – Ketua Tim Kampanye Hak Asasi Petani DPP SPI – 0813 6151 2131
Undah versi lengkapnya di sini.
Berita terkait:
Laporan Situasi Hak Asasi Petani Indonesia 2021 (Bagian 1 dari 3 Bagian): Pemerintah Belum Sepenuhnya Hadir Membela Hak Asasi Petani