Laporan Situasi Hak Asasi Petani Indonesia 2021 (Bagian 3 dari 3 Bagian): UU Cipta Kerja Melanggar Hak Asasi Petani Di Setiap Aspek

JAKARTA. Hak asasi petani di Indonesia selama tahun 2021 masih belum terjamin dan terpenuhi. Ketua Departemen Kajian Strategis Mujahid W. Saragih melihat hal ini merupakan dampak dari langkah pemerintah Indonesia yang belum mengharmonisasi dan mengadopsi Deklarasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak Asasi Petani dan Orang yang Bekerja di Pedesaan (United Nations Declaration on The Rights of Peasant and Other People Working in Rural Areas/UNDROP) dalam kebijakan dalam negeri.

“SPI mengeluarkan tiga buah rilis untuk melaporkan situasi hak asasi petani Indonesia selama 2021 berdasarkan pasal-pasal UNDROP. Rilis ini adalah bagian ketiga dari tiga bagian,” kata Mujahid di Medan pagi ini (23/12).

Pasal 16 tentang Hak atas Penghasilan dan Penghidupan yang Layak serta Cara Produksi

Mujahid memaparkan, selama tahun 2021, SPI mencatat kesejahteraan petani dalam bentuk penghasilan dan penghidupan yang layak belum terwujud. Kondisi ini dapat dibaca dari Nilai Tukar Petani (NTP) yang menjadi tolok ukur indeks yang diterima mau pun yang dikeluarkan oleh petani. Secara umum, NTP Total mencatat tren positif sejak Januari 2021 hingga November 2021. Namun apabila kita melihat lebih detail, kenaikan NTP Total ternyata ditopang oleh kenaikan NTP subsektor Perkebunan Rakyat.

“Kondisi NTP subsektor lainnya seperti subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan, sangat fluktuatif bahkan kerap berada di bawah standar impas. Kondisi ini juga dialami oleh anggota SPI di berbagai wilayah. Permasalahan-permasalahan seperti rendahnya harga di tingkat petani, lesunya daya beli masyarakat sehingga produksi tidak terserap dengan baik, masih menjadi momok saat ini,” katanya.

Mujahid melanjutkan, SPI mencatat pemerintah/negara belum memberi perlakuan adil untuk menyejahterakan petani dan memfokuskan pada subsektor perkebunan rakyat saja. Pemerintah/negara belum ada mengambil kebijakan komprehensif untuk mengatasi rendahnya kesejahteraan petani, khususnya subsektor pangan dan hortikultura. Salah satunya adalah Badan Pangan Nasional yang sampai saat ini belum berfungsi. Padahal secara tugas dan fungsinya, Badan Pangan Nasional dapat mengurai berbagai masalah di sektor pertanian Indonesia, salah satunya adalah fungsi stabilisasi harga pangan di Indonesia.

“Dalam konteks cara berproduksi, petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan juga belum terpenuhi hak-haknya. Ini dapat dilihat bagaimana tata kelola yang ada saat ini belum memberikan kemudahan bagi petani seperti akses terhadap pupuk bersubsidi, yang masih menjadi kendala yang dialami mayoritas petani di Indonesia,” papar Mujahid.

“Hal ini diperkuat dengan temuan Ombudsman Republik Indonesia yang menemukan potensi penyimpangan dalam tata kelola pupuk bersubsidi di Indonesia. Padahal, sebagaimana dimuat dalam pasal 16 UNDROP ayat (2), negara/pemerintah memiliki kewajiban untuk mengambil langkahlangkah yang perlu untuk mendukung akses petani atas transportasi, fasilitas penyimpanan, sampai dengan jaminan harga yang layak,” sambungnya.

Mujahid melanjutkan, pemerintah juga belum menunjukkan komitmen kuat dalam mewujudkan perdagangan yang adil serta akses bagi petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan. SPI melihat pemerintah dalam upaya memajukan usaha pertanian dan perkebunan di Indonesia, lebih mempercayakan pada korporasi sebagai aktor utamanya, bukan koperasi sebagai kelembagaan petani. Dalam program strategis 2020-2024 nya, Kementerian Koperasi dan UKM justru menguatkan sebanyak 350 sektor usaha korporasi petani dan nelayan.

Upaya pemerintah dengan terus mendorong usaha tani menjadi bentuk korporasi pertanian akan tetap menjadikan petani hanya sebagai buruh tani (pekerja) di lahan milik korporasi. Padahal, hal ini telah tercantum di dalam konstitusi13 dan termaktub dalam UU Perlintan yang menjelaskan bahwa Kelembagaan Ekonomi Petani yaitu koperasi.

“SPI berpandangan petani maupun orang-orang yang bekerja di perdesaan harus terlibat langsung dalam menentukan harga produk pangan yang dijualnya ke pasar. Petani tidak bergantung dari intervensi dari pihak-pihak yang mencoba mengendalikan harga pangan seperti tengkulak, middleman dan juga korporasi pangan karena jika petani tetap bergantung pada intervensi pihak tersebut,” katanya.

“Dalam konteks membangun perdagangan yang adil berdasarkan kelembagaan ekonomi petani, SPI terus membangun Koperasi Petani Indonesia (KPI) sebagai basis ekonomi kesejahteraan petani. Sampai saat ini KPI sudah berhasil didirikan dan tersebar di 15 wilayah SPI. Sebelumnya, SPI telah mendeklarasikan pembentukan 1.000 Koperasi Petani Indonesia (koperasi petani SPI) pada tahun 2017 lalu, di Asahan, Sumatera Utara,” sambungnya.

Penandatangan Prasasti Peresmian 1000 KPI, 8 Juli 2017, di Asahan, Sumatera Utara

“Pola kerja yang dibangun oleh Koperasi Petani Indonesia yaitu Koperasi Petani Indonesia membeli produk pangan dari petani SPI di basis-basis produksi dengan harga yang layak menurut petani, karena dengan adanya Koperasi yang telah didirikan, petani dapat menentukan sendiri harga jualnya. Kemudian, Koperasi Petani Indonesia menjual produk pangan yang dibeli dari petani SPI, baik produk mentah maupun produk pangan olahan langsung ke konsumen dan ke pasar-pasar yang ada,” sambungnya lagi.

Pasal 17 tentang Hak atas Tanah

Mujahid meneruskan, kebijakan pemerintah untuk mengesahkan UU Cipta Kerja justru menjadi pemicu terjadinya konflik agraria di Indonesia. Substansi UU Cipta Kerja yang mengakomodir kepentingan modal dan investasi dijadikan legitimasi untuk merampas tanah milik petani, masyarakat adat, dan orang-orang yang bekerja di perdesaan. SPI dalam hal ini mencatat dampak buruk dari UU Cipta Kerja, yang mengakibatkan perampasan tanah, kekerasan, dan kriminalisasi terhadap petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan.

“Seperti konflik agraria yang dialami anggota SPI di Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi dengan PT. Wira Karya Sakti (WKS), anak perusahaan Sinarmas Group. Satu orang anggota SPI Tanjung Jabung Timur, yakni Ponidi, dikriminalisasi dan dirampas tanahnya oleh PT. WKS. PT. WKS mengklaim memiliki SK pembaharuan izin berusaha pemanfaatan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian LHK), sesuai dengan mekanisme UU Cipta Kerja. Padahal kasus ini tengah diproses dan masuk dalam lokasi prioritas 1 tahun 2021 (harus diselesaikan dalam waktu satu tahun) oleh Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria (PPKA-PKRA),” paparnya.

Mujahid melanjutkan, dalam merealisasikan hak atas tanah bagi petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan, pemerintah terlihat belum berkomitmen untuk menjalankan reforma agraria secara utuh. Sebagaimana tercantum dalam UUPA 1960, dan juga ditegaskan dalam pasal 17 ayat (6) UNDROP, reforma agraria yang dijalankan haruslah berlandaskan keadilan, mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan dengan mempertimbangkan hak-hak petani dan orang yang bekerja di perdesaan. Hal ini tampak dari pelaksanaan reforma agraria di Indonesia saat ini yang terkendala masalah birokratis.

“SPI mencatat beberapa kendala tersebut. Pertama, reforma agraria dan upaya percepatan penyelesaian konflik agraria di tiap kementerian dan lembaga hanya dijalankan oleh pejabat setingkat direktur Sehingga kewenangan dan koordinasi untuk menentukan percepatan penyelesaian konflik agraria sangat terbatas; Kedua, ego sektoral dari masing-masing kementerian masih sangat kuat. Misalnya di Kementerian LHK yang justru mendorong program ‘Perhutanan Sosial’, bukan melalui skema reforma agraria, dalam upaya percepatan penyelesaian konflik agraria,” paparnya.

“Ketiga, belum sinkronnya pemahaman antara pemerintah pusat sampai ke pemerintah di tingkat daerah. Kondisi ini dialami oleh anggota SPI di berbagai wilayah yang dihadapkan pada situasi pemerintah daerah yang belum mendukung, bahkan kontra, terhadap pelaksanaan percepatan penyelesaian konflik agraria. Padahal Presiden Joko Widodo telah menyebutkan reforma Agraria sebagai program prioritas. Belum lagi adanya penumpang gelap atau ‘free rider’ dalam setiap proses redistribusi tanah,” sambungnya.

Pasal 19 tentang Hak atas Benih

Dalam kesempatan yang sama, Afgan Fadilla Kaban, Ketua Tim Kampanye Hak Asasi Petani DPP SPI melanjutkan, konsekuensi sejak ditandatanganinya perjanjian perdagangan bebas, seperti Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU CEPA), pemerintah Indonesia mendapat tekanan untuk bergabung dengan International Union for the Protection of New Varieties of Plants atau UPOV. Sikap pemerintah Indonesia yang cenderung manut dan akan bergabung dengan UPOV, akan berdampak pada terancamnya hak-hak petani sebagai pemulia tanaman.

“Ketentuan-ketentuan di dalam UPOV yang melarang, membatasi, dan menjual benih yang telah dipatenkan, jelas akan mengancam keberadaan petani pemulia dan aktivitas mereka. Hal ini mengingat kegiatan budidaya pertanian tidak boleh dipisahkan dalam hal pemuliaan benih oleh petani itu sendiri,” kata Afgan.”

“Adanya sanksi denda dan penjara bagi pihak-pihak yang melanggar tersebut, akan berpotensi mengakibatkan kriminalisasi terhadap petani pemulia benih. Selain itu, paten yang didorong oleh UPOV akan mengakibatkan dominasi perusahaan dan korporasi skala besar, dan membuat petani skala kecil tidak mampu bersaing,” sambungnya.

Afgan memaparkan, di luar dari rencana bergabungnya Indonesia dalam UPOV, situasi perlindungan hak-hak petani pemulia benih sendiri juga terancam. Diberlakukannya UU Cipta Kerja, membawa ancaman baru bagi para petani pemulia benih. SPI mencatat dari segi aturan perbenihan alam UU Cipta Kerja, terdapat
pasal-pasal yang bermasalah, seperti dihapusnya pasal 63 UU Nomor 13 tahun 2010 tentang Hortikultura.

“Sebagaimana dimuat dalam pasal 30 UU Cipta kerja, tidak ada lagi aturan yang mewajibkan izin pemasukan dan pengeluaran benih ke dan dari wilayah Indonesia. Dengan begitu benih komersial dari luar bebas masuk dan beredar di wilayah Indonesia. Kondisi tersebut berkontradiksi dengan program pemerintah untuk mewujudkan 1000 desa mandiri benih yang ditargetkan sejak tahun 2014,” imbungnya.

“Dihapusnya pasal 11 ayat (2) dan ayat (4) dalam UU No. 20 tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (PVT). Pasal tersebut mengatur tentang Syarat permohonan Perlindungan Varietas Tanaman. Hal ini akan membuat Varietas Transgenik (GMO) akan lebih mudah didaftarkan dan diedarkan di wilayah Indonesia, dan akan mengancam varietas lokal yang dibudidayakan petani,” sambungnya.

Pasal 20 tentang Hak atas Keanekaragaman Hayati

Afgan merincikan, pemerintah belum melakukan upaya maksimal dalam melindungi dan mempromosikan pangan lokal, sebagai bagian dari keanekaragaman hayati yang dimiliki petani Indonesia. Keberpihakan terhadap korporasi dan industri pangan skala besar, mengakibatkan eksistensi pangan lokal yang dijalankan oleh petani kecil dan keluarga petani, cenderung diabaikan.

“Pemerintah harus menyiapkan instrumen khusus untuk melindungi pangan lokal di Indonesia. Hal ini mengingat pangan lokal memainkan peran penting dalam upaya diversifikasi pangan, sebagai sumber karbohidrat, protein, vitamin maupun mineral, yang dapat diakses oleh masyarakat,” rincinya.

“Pengarusutamaan pangan lokal juga penting dalam upaya memutus ketergantungan terhadap pangan produksi dari industri. Bagian terpenting lainnya adalah pangan lokal merupakan bentuk kearifan lokal, yang memiliki hubungan erat dengan sosio-historis petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan,” lanjutnya.

Afgan menambahkan, SPI juga menyoroti kebijakan pemerintah untuk mengintroduksi penggunaan beras fortifikasi. Fortifikasi merupakan metode peningkatan sejumlah nutrisi dalam tanaman. Tidak hanya di beras, pemerintah melalui Bulog, juga sudah berencana untuk mengembangkan fortifikasi pada berbagai jenis pangan lainnya seperti garam, tepung terigu, gandum, dan jagung.

“Sebagaimana diketahui, pemerintah tengah mendorong pelepasan jenis Padi IR Nutri Zinc15, dengan dalih mengatasi problem stunting di Indonesia. Kebijakan ini sangat disayangkan, mengingat pada dasarnya Indonesia memiliki kekayaan pangan yang memiliki gizi dan nutrisi melimpah. SPI juga menilai dari aspek produktivitas padi IR Nutri Zinc juga sangat rendah,” tambahnya.

“Pemerintah dalam hal ini harus memperhatikan aspek-aspek risiko dari tanaman fortifikasi, selain bagi kesehatan tetapi juga terhadap pengetahuan tradisional, inovasi dan praktik petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan. Penggunaan beras fortifikasi yang diplot sebagai solusi atas masalah gizi, dapat menggerus eksistensi dan praktik-praktik pengembangan dan inovasi pangan secara tradisional. Selain itu, kendati belum lazim digunakan, SPI juga mewanti-wanti risiko dari fortifikasi yang dikembangkan dengan rekayasa genetika, yang dapat melanggar hak-hak petani,” tutupnya.

Kontak Selanjutnya:
Mujahid W. Saragih – Ketua Departemen Kajian Strategis DPP SPI – 0813 7523 9059
Afgan F. Kaban – Ketua Tim Kampanye Hak Asasi Petani DPP SPI – 0813 6151 2131

Unduh versi lengkapnya di sini.

Berita Terkait:

Laporan Situasi Hak Asasi Petani Indonesia 2021 (Bagian 1 dari 3 Bagian): Pemerintah Belum Sepenuhnya Hadir Membela Hak Asasi Petani

Laporan Situasi Hak Asasi Petani Indonesia 2021 (Bagian 2 dari 3 Bagian): Kedaulatan Pangan Tidak Sepenuhnya Dijalankan, Petani Dikriminalisasi Atas Nama Investasi

ARTIKEL TERKAIT
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU