Membangun Kebijakan Pangan Yang Sensitif Gender

lahan_pertanian_sleman_2

Oleh : Tri Hariyono **

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman (UU No. 18 Tahun 2011 tentang Pangan). Tiap mahkluk hidup membutuhkan pangan, begitu juga dengan manusia. Selain untuk tumbuh dan berkembang, pangan merupakan sumber tenaga bagi manusia untuk tetap sehat, sehingga mampu bergerak, beraktifitas dan berproduksi. Untuk memperoleh semua itu, maka tubuh manusia membutuhkan pangan yang mempunyai nilai gizi dan terbebas dari bahan-bahan yang berbahaya baik secara fisik, biologi maupun kimia yang memungkinkan kebutuhan akan zat gizi.

Dalam konteks sosial budaya, pangan tidak hanya bernilai gizi, karena di masyarakat pangan memiliki dimensi dan nilai yang tinggi. Pangan merupakan alat sosial dalam kehidupan masyarakat. Kerap kali pangan menjadi alat perekat bagi suatu komunitas sekaligus identitas. Semisal sagu, menjadi identitas masyarakat adat Papua, gaplek dan tiwul pada masyarakat Gunungkidul dan sebagainya.

Jika melihat esensi utama pangan sebagai sumber gizi untuk hidup sehat, maka pangan sangatlah luas dan kaya sumbernya. Namun di Indonesia, pangan masih dimaknai sebagai bahan pangan pokok. Dan karena pangan pokoknya beras, jadilah seolah-olah ketika muncul kata pangan sama artinya dengan beras. Kekeliruan lain ketika berbicara pangan terkait soal teritori, sering hanya soal daratan semata (baca: pertanian). Padahal pangan berasal dari nabati dan hewani. Untuk sumber pangan hewani, Indonesia merupakan salah satu negara dengan sumber yang melimpah karena dikelilingi oleh lautan. Namun sayang, potensi itu pun belum dioptimalkan.

 

Akses Pangan Bagi Perempuan

Indonesia mengatur kondisi perpanganannya melalui Undang-Undang Nomor 18 tahun 2011, namun sayangnya undang-undang ini tidak memberikan perlindungan terhadap produsen kecil (baca: petani), terutama perempuan. Membangun kedaulatan pangan, tidaklah cukup dijamin dengan penguatan kultur dan aneka pangan, tetapi harus diikuti prinsip kesetaraan dan sensitifitas gender.

petani SPI

Dalam skala global, menurut Vandana Shiva (1997) semua perempuan di belahan dunia terbukti terlibat dalam proses panjang rantai makanan, baik sebagai produsen makanan, pencari nafkah yang bertanggung jawab terhadap kondisi makanan keluarga, menyimpan makanan maupun sebagai pihak yang memproses dan menyiapkan makanan untuk menjaga kesehatan dan aktivitas anggota keluarga. Perempuan juga mengurus ternak, mencari kayu bakar dan mengelola asupan air untuk keperluan rumah tangga. Menurut FAO (Food and Agriculture Organization), besarnya produksi itu mencapai 80 sampai 90 persen di negara-negara sub Sahara Afrika, 50 sampai 90 persen di Asia, dan 30 persen di Eropa Tengah dan Timur (Schussler, 2013).

Perempuan juga bertanggung jawab terhadap gizi anak, mulai dari kandungan, menyusui hingga fase-fase kritis pertumbuhan. Bahkan di bagian terbesar pedesaan di Indonesia, perempuan mencurahkan waktu 4-5 jam per hari mengumpulkan bahan kayu dan air serta memasak. Perempuan juga masih bekerja bertani, mulai penyiapan benih, penanaman, pemeliharaan hingga panen dan pasca penen (Khudori, 2015). Inilah yang membuat beban perempuan semakin bertambah. Tambahan beban ini menyebabkan kebanyakan perempuan terpaksa bekerja dari “matahari sebelum terbit sampai mata bapak terbenam”.

Semua kontruksi tadi mengingatkan apa yang dikatakan Mao Zedong tentang kaum perempuan Afrika. Mao mengatakan, kaum perempuan Afrika memanggul enam gunung di punggungnya; pertama dan kedua adalah penindasannya oleh neokolonialisme dan struktur tradisional; ketiga adalah keterbelakangannya; keempat adalah seorang laki-laki; kelima warna kulit ras; dan keenam, yang tak kalah penting adalah dirinya sendiri.

Perempuan menderita karena citra gender yang negatif, dari jaman yang menginternalisasikan ideologi patriarki dan hirarki gender. Semua itu akhirnya berdampak pada proses hubungan tata produksi pangan dipedesaaan. Pelbagai intriduksi teknologi produksi baru, seperti bibit unggul dan mekanisasi pertanian, kain menyingkirkan kaum perempuan dalam tata produksi pangan (Khudori, 2005).

Program-progam pembangunan pertanian seringkali menjadi korban generasi yang lapar karena tanah yang subur diubah untuk meningkatkan ekspor hasil panen, petani-petani gurem digusur, dan diversivikasi hayati, yang merupakan sumber makanan orang miskin, dibuang dan diganti dengan budaya tanam monokultur, atau sistem penggunaan tanah yang tidak sesuai dengan kondisi ekologi atau kebutuhan pangan masyarakat. itu semua berimbas pada dampak kekurangan gizi pada anak-anak perempuan berlanjut hingga mereka dewasa hingga generasi mendatang.

 

Perlu Kebijakan Sensitif Gender

Dalam kontruksi semacam itu perempuan selalu menjadi korban dan jatuh miskin. Baik dalam konteks tradisional maupun dalam konteks kemiskinan baru, perempuan dan anak-anak telah diperlakukan sebagai kelompok marginal dalam sistem pangan (Shiva dan Mies, 2000).  Hal ini bukan semata-mata karena status ekonomi mereka yang rendah, tetapi juga disebabkan oleh tidak adanya peluang ekonomi dan otonomi (termasuk kredit, kepemilikan lahan dan pewarisan), kurangnya akses ke pendidikan dan jasa pendukung serta minimnya partisipasi mereka dalam penentuan keputusan.

Berpijak dari kenyataan besarnya perempuan, maka diperlukan kebijakan pangan yang lebih sensitif gender (Khudori, 2005). Beberapa langkah yang dirasa perlu untuk mewujudkan kebijakan tersebut adalah dengan melakukan: pertama, mengevaluasi dan mereformasi pelbagai lembaga hukum, ekonomi, sosial dan budaya yang berhubungan –langsung maupun tidak langsung—terhadap pangan yang selama ini mendiskriminasi perempuan.

Kedua, mendesain kebijakan dan program pertanian, pangan dan gizi yang lebih berpihak dan menempatkan perempuan sebagai gate keeper ketahanan pangan keluarga. Misalnya, program penyuluh baru harus memberi akses yang lebih besar pada perempuan. Data empiris menunjukkan, ketika memiliki kendali atas pendapatan, perempuan akan mengalokasikannya untuk kesejahteraan keluarga, terutama dalam memperbaiki ketahanan gizi dari kelompok paling rawan dikeluarga seperti balita, ibu hamil dan ibu menyusui.

Ketiga, penentuan partnership for action yang memperkuat partisipasi perempuan dalam mencapai dan membangun kedaulatan pangan melalui beragam tipe dan cakupan informasi berdasar kebutuhan gender. Langkah ini bisa ditempuh dengan beragam cara; diversifikasi menu keluarga dari beras minded; pengelolahan makanan hemat bahan bakar dan minyak; paket makanan sehat; dan pemanfaatan lahan pekarangan. Di sini analisis gender harus diterapkan dengan pendekatan partisipatoris untuk membumikan program.

Sekolah_Tani_Muda_SPI_Yogyakarta

Sedangkan dalam tingkatan global, untuk mendukung perjuangan petani kecil dan tak bertanah untuk mendapatkan akses atas tanah, air, dan sumber daya agraria yang produktif berdasarkan hak asasi manusia atas pangan yang layak, serta untuk mencapai demokrasi gender yang lebih besar, menurut La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional), penting kiranya untuk memberikan perhatian khusus pada perspektif gender dalam semua bentuk redistribusi tanah, program pengakuan hak, dan pengukuran yang meyertainya. Dalam Kampanye tersebut, bertujuan menerapkan reformasi agraria berdasarkan hak asasi manusia, dan menciptakan lingkungan pertanian yang:

  1. Memberikan petani kecil yang miskin kendali atas tanah, benih, dan air, sehingga mereka dapat hidup bermartabat;
  2. Memungkinkan produksi pangan yang aman dan bebas dari modifikasi genetik untuk semuanya;
  3. Menjamin alat produksi yang berkelanjutan untuk menjaga basis pangan demi generasi mendatang;
  4. Memperkuat hak-hak perempuan pedesaan dan kelompok-kelompok lain yang terpinggirkan;
  5. Menjamin kedaulatan pangan;
  6. Memperkuat komunitas pedesaan.

Demikian.

** Penulis adalah Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) SPI Yogyakarta

ARTIKEL TERKAIT
SPI Sumut Gelar Rapat Kerja Wilayah
HAM Untuk Petani: Sebuah Agenda Tersisa, Refleksi Memperinga...
NTP Pangan November 2014: Kerja-Kerja dan Kerja untuk Produ...
Aksi SPI Pasbar, Peringati Hari Perjuangan Petani Internasio...
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU