Membangun Kerukunan Produksi Untuk Kesejahteraan Petani

Oleh : Tri Hariyono**

“Agar perut rakyat terisi, kedaulatan rakyat perlu ditegakkan. Rakyat hampir selalu lapar bukan karena panen buruk atau alam miskin, melainkan karena rakyat tidak berdaya,” – Bung Hatta

Indonesia merupakan negara agraris. Lebih dari setengah jumlah penduduknya berprofesi sebagai petani. Negara yang kaya akan sumber daya alamnya ini menjadi primadona yang diidam-idamkan dan menjadi pusat perhatian negara-negara di belahan dunia, pasalnya berbagai macam tanaman pangan yang berada di dunia terdapat di Indonesia. Sebagai negara agraris dengan jumlah penduduk yang besar dan proporsi rumah tangga yang bekerja di pertanian lebih dominan, perhatian terhadap kesejahteraan petani menjadi sangat strategis.

Namun ironisnya, politik kesejahteraan di Indonesia tidak berpihak pada petani. Penerapan paham neoliberalisme di sektor pertanian berakibat pada kehidupan petani di Indonesia secara umum sangat jauh dari kehidupan yang layak (Henry Saragih, 2017). Petani saat ini terjebak dalam persoalan-persoalan pokok seperti mahalnya biaya produksi, ketergantungan pada bibit dan pestisida, kelangkaan pupuk, minimnya modal usaha, keterbatasan informasi, persoalan harga dan minimnya penguasaan lahan pertanian. Akibatnya, pemerintah tidak mampu mengontrol, bahkan membiarkan paham neoliberalisme ini bergerak terlalu bebas, dan dalam realitanya dari alat produksi, proses produksi dan pasar sebagian besar dikuasai oleh kapital komprador, tengkulak, spekulan serta perusahaan pangan multinasional/transnasional. Kapitalis yang menganut sistem ekonomi pasar bebas telah menyebabkan rakyat awam yang daya belinya lemah semakin terpuruk (Revrisond Baswir, 2009).

Membangun pertanian Indonesia memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Akan tetapi, keberpihakan jelas dibutuhkan. Para pendiri negara ini telah meletakkan dasar sistem perekonomian Indonesia melalui konstitusi bagi terciptanya perekonomian Indonesia yang lebih adil. Pasal 33 UUD 45 naskah asli mengandung ideologi kebangsaan dan kerakyatan dalam rangka mewujudkan kesejakteraan rakyat yang berkeadilan ekonomi. Ayat 1 Pasal 33 UUD 1945 menegaskan, bahwa “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”, dan asas ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi tercantum dalam penjelasan pasal 33 ini. Wadah ekonomi yang sesuai dengan itu adalah koperasi yang memiliki nilai dan prinsip-prnsip ekonomi kerakyatan, berkeadilan, demokrasi, anti neoliberalisme, partisipatif, terbuka, tidak diskriminatif, tidak berorientasi kapital, jujur dan kekeluargaan.

panen_jagung_spi_bantul_yogyakarta

Mengacu pada konstitusi kita sebagaimana yang dijelaskan di atas, maka pembaruan agraria yang sejati dalam rangka penataan dan pendistribusian tanah kepada petani merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan ekonomi kaum tani itu sendiri. Dalam prakteknya konsepsi tentang koperasi untuk mengatur kerukunan produksi ini sudah dilakukan oleh pendahulu kita. Tulisan ini mencoba memaparkan tentang pentingnya membangun kerukunan produksi yang diwadahi dalam bentuk Koperasi Petani Indonesia (KPI).

Koperasi Agraria di Indonesia

Koperasi yang berkait dengan bidang agraria di Indonesia memiliki sejarah minor. Banyak saat masa orde lama koperasi lahir adalah koperasi-koperasi palsu yang menjalankan praktek kapitalisme dengan wajah koperasi. Koperasi tersebut tidak dimiliki oleh rakyat yang meng-anggota melainkan para borjuis yang punya harta berlebih.

Pada masa orde baru, kondisinya semakin parah. Kehadiran Koperasi Unit Desa (KUD) malah membunuh koperasi dari dalam lewat pendekatan top down yang tak berakar kepentingan dan kebutuhan publik. KUD jadi ‘koperasi tembak’, sekedar proyek negara minus keterlibatan anggota, akhirnya dengan sendirinya mereka mandul dan menjadi fakir fasilitas negara. Kondisi tersebut memperlemah modal sosial karena KUD dalam praktiknya banyak dimainkan oleh para elit desa yang menjadi pengurusnya. Akhirnya mimpi KUD sebagai penopang swasembada pangan luluh lantah.

Imbasnya kini citra koperasi, yang konon sokoguru ekonomi Indonesia itu, menjadi negatif. Padahal koperasi sebenanya memiliki kekuatan tersendiri dalam menandingi sistem ekonomi yang kapitalistik. Ia memiliki kekuatan yang adaptif dan sifat lentur terhadap serangan gelombang ekonomi yang ada. Tak heran Dawan Raharjo dalam bukunya “Pembangunan Pascamodernisme (2012)” sempat menyinggung koperasi sebagai sistem ekonomi yang futuristik.

Ada beberapa pengertian dasar dan tujuan koperasi, baik yang di keluarkan oleh International Cooperative Alliance (ICA) maupun pendapat para ahli koperasi lainnya. Menurut UU No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian Indonesia, koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Sedangkan tujuan koperasi menurut UU ini adalah memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

KPI Sebagai Jalan Politik Kemakmuran

Peningkatan kesejahteraan petani melalui koperasi tidak bertumpu pada pasar ekspor dan modal asing, melainkan berawal dari kekuatan petani itu sendiri dan kekuatan bangsa ini. Berbekal dari semangat untuk membangun kekuatan petani itu sendiri, Henry Saragih Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) dalam peringatan Hari Ulang Tahun SPI ke-19 di Desa Sei Kopas, Kecamatan Bandar Pasir Mandoge, Kabupaten Asahan Sumatera Utara (Sabtu, 8/7/2017) mengatakan, dalam perjuangan reforma agraria dan upaya penataan produksi dan distribusi usaha petani di desa, SPI mendorong semua petani harus mampu memenuhi kebutuhan logistik organisasi dan petani itu sendiri secara mandiri. Artinya pembangunan Koperasi Petani Indonesia (KPI, koperasinya SPI) menjadi penting sebagai upaya penataan produksi petani anggota SPI di tanah yang menjadi objek reforma agraria yang diusahakan dan dikelola secara kolektif. Seperti di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Aceh, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Jogjakarta, Jawa Tengah, NTB, dan NTT.

19 Tahun SPI_Penandatangan Prasasti Peresmian 1000 KPI

Penandatangan prasasti peresmian 1000 KPI sekaligus perayaan Hari Ulang Tahun SPI ke-19 di Asahan, Sumatera Utara

Di samping itu, KPI harus mampu menjawab ketergantungan petani pada penggunaan asupan dan dominasi koorporasi pangan. Antithesis dari konsep agribisnis yang menguasai keseluruhan rantai proses pertanian, mulai dari hulu sampai hilir di kuasai oleh koorporasi pangan/perusahaan agribisnis dan program pertanian pemerintah melalui investor (food estate).

KPI juga menjadi wadah dan bagian dari upaya petani dalam memproduksi benih, pupuk, permodalan, pengaturan produksi, alat-alat pertanian dan proses pendistribusiannya. Nilai-nilai kerja sama yang terkandung dalam koperasi sudah dipraktekkan oleh nenek moyang kita pada proses produksi pada zaman dulu; gotong-royong dalam mengerjakan lahan, pinjam meminjam bibit dan tradisi lumbung merupakan nilai luhur yang diwariskan pendahulu kita.

KPI sebagai koperasi petani SPI juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari organisasi tani memiliki peran dalam membangun ekonomi pangan lokal yang berdasarkan pada penguasaan alat produksi, proses produksi dan pemasaran pangan di tingkat lokal. KPI memiliki fungsi dan peran strategis bersama Bulog dalam menjaga stabilitas dan kedaulatan pangan nasional, dengan keterlibatannya dalam pengaturan produksi dan distribusi pasca produksi untuk menjaga kestabilan harga dan pasar yang di utamakan untuk pemenuhan kebutuhan/kesejahteraan anggota, masyarakat sekitar dan kebutuhan nasional.

Dengan demikian, pembangunan KPI ini tidak sepotong-sepotong hanya pada persoalan bagaimana memasarkan hasil pertanian, mengajarkan petani jadi pedagang dan mencari keuntungan belaka, sehingga tidak terjebak sebagai perpanjangan tangan ekonomi kapitalis. Akan tetapi pembangunan KPI harus di pandang sebagai “Jalan Politik Kemakmuran” yaitu sebagai alat perjuangan gerakan ekonomi kaum tani dalam mencapai kesejahteraan yang berdasarkan atas keadilan, partisipatif dan kemandirian.

Demikian.

*) Tri Hariyono adalah Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) SPI Daerah Istimewa Yogyakarta

ARTIKEL TERKAIT
SPI Sukabumi Selenggarakan Pendidikan Penataan Lahan Perjuan...
Hari Pangan 2015: Jangan Hanya Tertumpu pada Beras
SBI Mengecam APINDO yang pro pasar dan anti buruh SBI Mengecam APINDO yang pro pasar dan anti buruh
Henry Saragih: “Kedaulatan Pangan adalah Solusi Pasti untu...
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU