JAKARTA. Pada hari Kamis, tanggal 24 Februari 2011, pukul 19.00-22.30 WIB, Serikat Petani Indonesia (SPI) menggelar peluncuran Petisi Kedaulatan Pangan Rakyat Indonesia (PKPRI) di Rumah kaca Taman Menteng, Jakarta. Dalam kegiatan ini, SPI juga mengundang beberapa elemen gerakan nasional untuk ikut mendukung PKPRI dan hadir antara lain dari Solidaritas Perempuan, Institute Global Justice (IGJ), Institut Hijau Indonesia (IHI), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Aliansi Petani Indonesia (API), Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Serikat Buruh Indonesia (SBI), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Indonesia Human Rights Committe for Social Justice (IHCS) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) serta organisasi-organisasi gerakan lainnya.
Sebelum pendeklarasian dan penandatanganan PKPRI, Henry Saragih, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Serikat Petani Indonesia (DPP SPI), yang juga Koordinator Gerakan Petani Internasional ‘La Via Campesina’, menyampaikan pidato politik pertamanya semenjak organisasi SPI berdiri pada 1998. Di hadapan sekitar 200 orang yang hadir pada kesempatan itu, Henry menyampaikan pidato tanpa teks, menjelaskan penyebab riil dari kondisi krisis pangan yang terjadi di dunia dan di Indonesia, perlawanan kepada WTO, World Bank, IMF dan FTA, Kapitalisasi dan Neoliberalisasi di Indonesia, tujuan diadakannya PKPRI serta pencerahan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama melakukan perubahan kebangsaaan yang mendasar sesuai cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Berikut transkrip Pidato Politik Henry Saragih,
==================
Hidup Petani !!
Hidup Buruh !!
Hidup Nelayan !!
Hidup Perempuan !!
Assalamualaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh.
Puji dan syujur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena ditengah krisis pangan yang terjadi hari ini, kita gerakan rakyat Indonesia bisa berkumpul di tempat ini untuk menyatakan tekad kita supaya keluar dari krisis pangan ini, dari krisis kapitalisme ini, dari krisis ekonomi yang berkepanjangan ini, kepada suatu tatanan kehidupan yang lebih baik lagi. Terima kasih yang sebesar-besarnya, pertama-tama sekali kepada pengurus SPI yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia, pada kesempatan ini bagian dari rapat SPI, kita menyelenggarakan pleno, kemudian menyelenggarakan musyawarah nasional besok dan rapat kerja nasional. Jadi selamat datang di Jakarta ini, tempat dimana kebijakan-kebijakan pertanian dikeluarkan, kebijakan pangan, termasuk kebijakan-kebijakan yang membuat sebagian besar rakyat sengsara di Indonesia.
Hari ini, malam ini, hadir kawan-kawan kita dari Wahana Lingkungan Hidup, Bapak Berry N Furqon, juga yang mewakili Komnas HAM, hadir di sini saudara Nucholis, Saudara Nuruddin dari Aliansi Petani Indonesia, kemudian saudara Budi Laksana dari Serikat Nelayan Indonesia, Ibu Risma dari Solidaritas Perempuan dan saudara kita Gunawan yang mewakili IHCS. Dan banyak rekan-rekan kita yang hadir di sini yang mewakili berbagai kalangan dari gerakan-gerakan pemuda yang selama ini bersama-sama memperjuangkan nasib rakyat Indonesia.
Saudara-saudaraku sekalian.
Mengapa malam ini kita mencanangkan tentang petisi kedaulatan pangan rakyat Indonesia? Karena kita sebagai bagian dari bangsa-bangsa yang ada di dunia ini harus mengambil peran yang sangat aktif untuk mengatasi krisis pangan yang terjadi hari ini. Sebab krisis pangan bukan saja menimpa bangsa kita, rakyat kita di Indonesia ini, tetapi menimpa di banyak negara di dunia ini. Hampir separuh negara-negara di dunia hari ini mengalami krisis pangan. Dan krisis pangan yang terjadi ini bukanlah suatu hal yang tiba-tiba. Kita, La Via Campesina, dimana Serikat Petani Indonesia bergabung di dalamnya, telah mengingatkan sejak tahun 1996 yang lalu bahwasanya sistem pertanian yang ada, sistem pangan yang ada hari ini, yang mana kita lihat, tidak akan mampu bisa memberi makan rakyat di dunia ini.
Tahun 1996, FAO ketika menyelenggarakan World Foof Summit, waktu itu jumlah orang yang lapar baru 825 juta orang. Tetapi hari ini, lebih dari 1 miliar orang di dunia ini dalam keadaan kelaparan, 1 miliar orang kurang gizi, dan 1 miliar orang obesitas dan hanya 3 miliar orang yang katakanlah normal makannya. Jadi, angka kelaparan di dunia ini meningkat padahal pimpinan pemerintahan ketika itu menyatakan tekad 2015 nanti mereka akan menghapus 50 persen angka kelaparan di dunia ini. Tetapi rencana itu tidak bisa berhasil, seiring tidak berhasilnya Millenium Development Goals juga.
Semuanya ini karena apa? Karena kebijakan pertanian, kebijakan pangan di dunia ini didasarkan kepada liberalisasi, privatisasi dan deregulasi. Karenanya, La Via Campesina dengan tegas menyatakan tidak, dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh World Trade Organization. Tidak, dengan Free Trade Agreement. Ratusan aksi-aksi yang sudah dilakukan La Via Campesina ditingkat internasional, ribuan mobilisasi yang dilakukan ditingkat nasional, untuk menghempang bagaimana agar World Trade Organization itu tidak bisa eksis di dunia ini. Karena itu pada malam hari ini saya ucapkan terima kasih kepada petani, kepada nelayan, kepada buruh yang terlibat di berbagai perlawanan kita sejak inisiator tahun 1999 dan yang terbesar tahun 2005 di Hongkong dan tahun 2007 yang lalu di Jenewa.
Sejak tahun 2005, berkat perjuangan kita yang begitu kuat, World Trade Organization tidak berani lagi bersidang di luar kota Jenewa. Inilah merupakan salah satu hasil perjuangan kita. World Trade Organization sudah tidur sebenarnya. Tetapi kekuatan kapitalisme liberal, mereka tidak diam. Mereka sungguh panjang akalnya. Berbagai kesepakatan internasional melalui Free Trade Ageement, melalui World Bank, kesepakatan-kesepakatan yang dibawah World Bank, dibawah kesepakatan IMF, mereka jalankan kebijakan neoliberalisme itu. Indonesia merupakan negara yang menjadi korban pertama di dunia ini. Yaitu ketika Presiden Suharto menandatangani Letter of Intens tahun 1998. Kita adalah negara pertama yang mengalami krisis pangan tersebut, karena Indonesia lah yang pertama kali menandatangani World Trade Organization pada tahun 1995.
Jadi hari ini sama-sama kita ketahui, pemerintahan SBY sama buruknya dengan pemerintahan Soeharto, saudara-saudara sekalian. Kalau pemerintah Soeharto telah membawa kehancuran pangan Indonesia tahun 1998, maka pada tahun 2011 ini dia membuat kehancuran pertanian dan pangan yang kedua di Indonesia dengan membuka impor pangan yang sebesar-besarnya ke Indonesia ini.
Saudara-saudara sekalian.
Angka kelaparan di Indonesia hari ini telah meningkat dua kali lipat seketika karena melampaui harga makanan makanan yang sebenarnya bisa diproduksi oleh para petani yang ada di sini sebenarnya. Tetapi kata kebijakan neoliberalisme itu, mereka membuka impor kacang kedelai. Kita yang bisa memproduksi kedelai itu sekarang kita makan tempe, makan tahu, dan berbagai susu untuk bai kita itu dari kacang kedelai yang diimpor dari Amerika, dari Brazil, dari Argentina. Bahayanya, itu bukan hanya impor yang menghabiskan devisa negara kita, tetapi itu adalah yang mengandung rekayasa genetika yang di Eropah tidak dibolehkan dimakan oleh manusia apalagi bayi, Di Eropa itu hanya makanan ternak, makanan hewan, untuk peternakan babi yang besar di Norwegia sana.
Tapi inilah yang kita hadapi hari ini. Pemerintah Indonesia telah menghancurkan perdagangan dalam negeri kita, dan menurut kita, kalau kita tidak cegah, akan menghancurkan masa depan rakyat Indonesia, saudaraku-saudaraku sekalian. Hari ini kita penting berkumpul di tempat ini, untuk menyatakan tekad kita, bagaimana kita rakyat Indonesia ini bisa bersatu. Saya merasa senang sekali, hadir hari ini di sini, termasuk Mbak Endah yang sekarang di IGJ, dulu bekerja aktif di lembaga konsumen. Dengan kedatangan dia ini menyatakan perjuangan kita hari ini bersatu, kita bisa menggunakan instrumen hak asasi manusia, kita bisa menggunakan perjuangan dengan isu lingkungan hidup.
Saudara-saudara sekalian.
20 yang disebut Green Giants itu saya satu kebetulan dipilih, salah satunya itu juga direktur dari Friends of the Earth, dimana Walhi berada di disitu. Jadi saudara-saudara sekalian, kita sangat punya kekuatan, untuk melakukan perlawanan tersebut. Hari ini, kita akan bacakan petisi kita. Setelah kita bacakan petisi ini, kita akan bawa petisi ini ke ujung Indonesia, di Barat sana, dari Sabang sana, untuk menyatakan agar pangan ditegakkan di bumi kita ini, agar kedaulatan pangan ditegakkan. Berbagai kegiatan juga akan kita lakukan. Mulai dari Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, sampai ke Indonesia Timur sana, sampai ke Marauke yang hari ini dikembangkan Food Estate.
Food Estate ini hanyalah akal-akalan saja, saudara-saudara sekalian. Ini hanya-akal-akalan mereka untuk membuka hutan tropis kita yang ada di Merauke untuk mengembangkan kebun kelapa sawit yang jumlah sudah jutaan hektar. Hanya akal-akalan mereka untuk membuka kebun-kebun yang sangat luas di Merauke sana. Kalaupun itu nanti ditanam beras, beras itu hanya untuk makan buruh-buruh pada perkebunan tersebut, tidak mungkin untuk makanan rakyat Indonesia. Saya sudah hitung, jarak dari Merauke ke Jakarta, itu lebih jauh dibandingkan jarak dari Jakarta ke Hanoi. Itu artinya apa? Kalau nanti beras diproduksi di Merauke itu tidak akan mungkin untuk memberikan makan rakyat Indonesia yang sebagian besar, 60 sampai 70 persen berada di Indonesia bagian barat ini. Karena pasti beras dari Hanoi, akan lebih murah, beras dari Vietnam akan lebih murah, beras yang dari Thailand akan lebih murah.
Jadi inilah yang sama-sama saya pikir bisa kita lawan karena saya percaya kekuatan SPI saja, walaupun kita merasa sudah banyak berbuat, itu pun tidak cukup. Negri kita ini luas, seluas daratan Eropa, sejauh dari sini sampai ke Jepang sana. Berbagai kegiatan akan kita lakukan. Petisi ini tidak menunggu seberapa banyaknya. Saudara-saudaraku dari SPI, pulang ke kampung bawa petisi ini, para anggota SPI sudah ada ratusan ribu orang, maka kita harapkan seluruh anggota SPI menandatanganinya, anggota Walhi, anggota Serikat Hijau Indonesia, anggota Aliansi Petani Indonesia, anggota serikat buruh yang ada, saya pikir jumlahnya bisa sampai jutaan, saudara-saudaraku sekalian.
Petisi ini akan kita serahkan kepada pemerintah daerah, kepada kepala desa, kepada gubernur, kepada presiden, dan juga kepada DPR, baik ditingkat pusat maupun di daerah. Mungkin bagi banyak perjuangan, apalah itu arti petisi. Sudah banyak orang buat petisi, tapi tidak bisa membawa revolusi negeri ini. Karena itu bagaimana dengan petisi kedaulatan pangan ini, kita bisa membawa perubahan rakyat Indonesia. Dan kita harus percaya, tergusurnya pedagang kaki lima saja pun di Tunisia bisa menjatuhkan sebuah rejim. Jadi sebuah petisi mungkin bisa lebih dari itu, menjatuhkan rejim yang ada yang telah menjual negri kita ini untuk membangun bangsa kita ini.
Saudara-saudaraku sekalian.
Nanti setelah saudara-saudaraku yang hadir di sini memberikan kata sambutan, kita akan sama-sama membacakan petisi ini, saya tidak akan membacakannya di sini, nanti saudara saya yang dari Manggarai, yang mana dia salah satu saudara kita yang berjuang mempertahankan lahan-lahan, tanah-tanah, hutan-hutan kopi kita, saudara-saudara mungkin pernah dengar peristiwa berdarah di Manggarai, dia merupakan salah satu wakil yang akan membacakan petisi kita ini. Sekaligus mencanangkan bagaimana agar NTT itu bebas dari kelaparan, karena NTT selalu dijadikan tempat dimana seolah-olah kelaparan itu tidak bisa berakhir. Padahal dari hasil kunjungan saya melihat tanah-tanah perjuangan yang sudah diperjuangkan oleh anggota SPI, tanah-tanah kita yang ada di Maumere sana, dan tanah-tanah kita yang di pedalaman NTT sana, sangat-sangat cukup untuk memberi makan rakyat di NTT bahkan di bagian lain negara kita ini.
Akhirnya, saudara-saudaraku sekalian, terima kasih yang sebesar-besarnya, saya ucapkan atas kehadirannya pada malam hari ini, dan saya mengajak saudara-saudara sekalian, untuk terus mengorganisir diri, untuk melakukan berbagai aksi-aksi. Hari ini kita canangkan pada tanggal 24 Februari ini maka nanti pada tanggal 17 April di jakarta ini akan kita buat juga panel para ahli-ahli pangan kita, kemudian pada tanggal 20 April, bersamaan dengan hari Hak Asasi Petani Indonesia akan kita lakukan suatu kegiatan mobilisasi massa buruh, tani, nelayan, untuk menyerahkan petisi ini. Dan selanjutnya pada tanggal 24 September sebagai puncak dari kampanye kadulatan pangan di negeri kita ini. Saya pikir demikian yang dapat saya sampaikan. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua rekan-rekan yang telah menyelenggarakan acara ini, yang telah hadir di acara ini. Kalaupun ada penghargaan-penghargaan ataupun nominasi yang diberikan kepada kita, kepada saya khususnya, itu adalah hasil perjuangan kita bersama, sebagai bukti bahwasanya perjuangan kita selama ini telah benar. Sekarang bagaimana agar perjuangan itu bisa diteruskan untuk mencapai cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia ini, yaitu masyarakat adil, makmur dan berkeadilan sosial.
Hidup Petani !!
Hidup Buruh !!
Assalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh.
==================