JAKARTA. Nilai Tukar Petani (NTP) tanaman hortikultura kembali mengalami penurunan dari 101,34 pada bulan Maret 2015 menjadi 100,30 pada bulan April 2015. Lagi-lagi ini merupakan peringatan keras buat pemerintah, terutama Kementerian Pertanian.
Penurunan NTP Hortikultura umumnya disebabkan turunnya beberapa harga komoditas kelompok sayuran, khususnya cabai rawit dan cabai merah. Menurut data Kementerian Perdagangan RI, harga cabai merah pada awal April sebesar Rp. 24.105 per kilogram, kemudian turun menjadi Rp. 22.994 pada akhir April.
Di sisi lain inflasi pedesaan sebesar 0,21 persen juga menjadi sebab lain. Inflasi khusus di daerah pedesaan ini dipicu oleh kenaikan biaya transportasi dan komunikasi. Kedua biaya ini naik karena imbas kenaikan harga BBM.
Inflasi juga disebabkan oleh kenaikan biaya pembelian input produksi hortikulura untuk musim tanam berikut. Kenainkan biaya produksi dan tambahan modal ini jelas mempengaruhi turunnya NTP hortikultura.
Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, dalam kondisi ini, pemerintah seharusnya melakukan cara yang efektif seperti peningkatan proses pascapanen sehingga nilai tambah yang diperoleh petani menjadi meningkat.
“Jika produksi hortikultura lancar dan ditampung pasar domestik, sebenarnya tak akan jadi masalah,” ujar Henry lagi.
“Masalahnya, sayur dan buah-buahan kita juga harus bersaing ketat dengan produk impor. Sementara, pengolahan pascapanen ketinggalan. Diversifikasi produk tidak ada, barang menumpuk, busuk. Petani jadi tak dapat penghasilan,” sambungnya.
“Sejak Oktober 2014, NTP hortikultura terus turun. Apakah ini artinya program pemerintah baru belum berjalan dengan baik? Kita tahu pemerintahan baru, menteri baru, butuh waktu. Tapi sampai kapan? Karena nasib petani semakin di ujung tanduk,” tanya Henry di Medan pagi ini (15/05).
Henry mengemukakan, sebenarnya secercah harapan muncul untuk petani hortikultura sejak Mahkamah Konstitusi menolak judicial review UU Hortikultura (No. 13/2010) perihal investasi asing di industri benih lebih dari 30 persen pada Maret 2015 yang lalu.
“Ini berarti petani hortikultura mempunyai kesempatan yang besar untuk memproduksi dan mengembangkan benih lokal hortikultura mereka, serta tidak perlu mengeluarkan biaya pembelian benih. Secara teori, biaya input turun, NTP naik. Nah, ini malah sebaliknya,” tutur Henry
“Berarti kan ada yang belum jalan. Terhambat. Tidak cepat. Tidak efisien. Harus cepat dong. Petani siap kerja keras bersama pemerintah,” tegas Henry.
Henry menambahkan, demikian pula momentum bagi pemerintah untuk melaksanakan program “Desa Berdaulat Benih” bersama petani.
“Mumpung belum dieksekusi. Kita punya momentum untuk perbaikan. Sebaliknya membangun hortikulutra bukan dengan perusahaan-perusahaan besar, sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam pidato pembukaan baik World Economi Forum on East Asia dan The Asian African Bussines Consultation di Jakarta pada Bulan April yang lalu,” tambahnya.
Kontak Selanjutnya:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668