JAKARTA. Sama halnya dengan Nilai Tukar Petani (NTP) Tanaman Pangan dan Hortikultura, NTP perkebunan rakyat terus mengalami penurunan dari 97,46 pada bulan Maret 2015 menjadi 97,07 pada bulan April 2015. Kondisi NTP Tanaman Perkebunan Rakyat menunjukkan bahwa kesejahteraan petani perkebunan semakin mengkhawatirkan karena dalam lima bulan terakhir, nilainya selalu kurang dari 100.
Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, penurunan ini disebabkan rendahnya harga tandan buah segar (TBS) dan harga minyak sawit mentah (CPO).
“Pada saat ini saja petani sawit hanya mendapatkan harga TBS-nya itu pun di tingkat pengumpul pada kisaran harga Rp.1600 – Rp 1800 per kilogram. Sementara harga CPO berkisar pada harga Rp.7000 – 8000 per kilogram dan minyak goreng dengan harga Rp. 11.233 per kilogram pada bulan April,” kata Henry di Medan siang ini (16/05).
“Dengan ragam harga tersebut, industri kelapa sawit tidak dapat mensejahterakan petani kelapa sawit karena mereka hanya bagian dari titik pertaman pertama dalam rantai nilai kelapa sawit,” kata Henry lagi.
Henry menambahkan, bila kemudian ada upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi dan ekspor sawit untuk mendongkrak devisa, diperkirakan pada bulan Mei ini harga bea keluar untuk ekspor kelapa sawit akan tetap 0 persen.
“Namun upaya tersebut belum tentu memberi dampak ikutan berupa kenaikan kesejahteraan petani sawit, selama model produksi industri sawit masih tidak berubah,” imbuhnya.
“Sekarang saja meskipun ekspansi sawit semakin tinggi, namun tetap saja menyisakan NTP petani perkebunan yang rendah dan terus menurun. Tidak ada insentif yang signifikan bagi petani perkebunan rakyat dalam rantai nilai kelapa sawit. Moratorium pengembangan kelapa sawit menjadi perlu ketika kesejahteraan petani sawit tidak kunjung meningkat dan sekaligus kerusakan alam meningkat sejalan dengan peningkatan luasan perkebunan kelapa sawit,” tambahnya.