Rezim Organisasi Neoliberal Dunia Mengeruk Keuntungan dan Mitos Kesejahteraan Rakyat

APEC dan WTO di Indonesia: Hajatan Besar Organisasi Neoliberal di Ujung Tahun 2013

Seperti kita mahfum, sejak era orde baru (orba) arah pembangunan nasional yang dibungkus dengan ekonomi Pancasila sangat aktif mengundang modal internasional. Berbagai fasiltas dan kemudahan bagi investasi asing diberikan. Namun sejak orba berakhir Indonesia makin radikal dalam kebijakan dan ideologi “pembangunannnya”. Lihat saja misalnya aset-aset milik negara/BUMN dijual dengan judul privatisasi, lembaga pemerintah demikian juga menjadi sperti perusahaan swasta yang komersil jauh dari melayani publik (public service obligation-PSO), kesehatan-pendidikan mengalami hal sama. Hal mendasar seperti sumber alam/agraria seperti tanah dan air semakin diliberalkan dalam mekanisme jual beli, jauh dari semangat konstitusi. Puncaknya adalah disahkannya Undang-Undang Penanaman Modal No. 25/2007, yang begitu radikal persamaan perlakuan antara modal nasional dan asing. Istilah Penanaman Modal Asing (PMA)  atau Penanaman Modal Dalam Nageri ( PMDN) menjadi tak relevan lagi bagi pembuat dan pengesah UU ini. Alih-alih mau nasionalisasi perusahaan asing yang menguasai hidup orang banyak, justru UU ini menfasiltasi penguasaan lahan dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) hingga 95 tahun[1]. Padahal zaman Agrariches Wet-nya kolonial Belanda perusahaan swasta menggunakan tanah hanya dibolehkan hingga 75 tahun.

Nah untuk memperluas dan mempertahankannya rezim neoliberal sejak dini mengawal melalui berbagai perjanjian dan kerjasama internasional. Sejak April 1955, KAA yang dianggap banyak memerdekakan negara-negara Asia, Afrika dan selatan Amerika. Non Alignment Movement alias Gerakan Non-Blok menjadi momok tersendiri terutama bagi pemenang perang dunia II. Tak ayal tingkat dan kecanggihan dominasi harus diperbaharui. Salah satunya melalui berbagai organisasi dunia, regional dan dunia untuk “kesepakatan kerjasama” ekonomi. Ambil contoh lahirnya WTO pada tahun tahun 1994, mempunyai latar belakang dominasi Amerika. Resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995 tetapi sistem perdagangan itu sendiri telah ada setengah abad yang lalu. Sejak tahun 1948, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) – Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan telah membuat aturan-aturan untuk sistem ini.  Aturan-aturan tersebut mengenai perdagangan dunia dan menghasilkan pertumbuhan perdagangan dunia. Tujuan awalnya GATT akan menjadi salah satu badan khusus PBB yakni  International Trade Organization (ITO), bagian dari sistem Bretton Woods (IMF dan bank Dunia).

Meskipun Piagam ITO akhirnya disetujui dalam UN Conference on Trade and Development di Havana pada bulan Maret 1948, proses ratifikasi oleh negara-negara anggota terhambat. Tantangan paling serius berasal dari kongres Amerika Serikat, yang walaupun sebagai pencetus, AS tidak meratifikasi Piagam Havana sehingga ITO secara efektif tidak dapat dilaksanakan. Meskipun demikian, GATT tetap merupakan instrument multilateral yang mengatur perdagangan internasional.  Itulah mengapa lahirnya banyak kesepakatan pembangunan dalam sistem PBB tak berjalan.

Komplikasi perdagangan dunia menyebabkan negara-negara di kawasan Asia Pasifik merasa perlu konsolidasi. Mengingat di belahan dunia lainnya, Eropa Barat semakin solid dengan membuat ikatan secara regional. Lebih kuat daripada sebelum PD II. Untuk itulah pada tahun 1969 atas inisiatif swasta dibentuklah Pacific Basic Economic Council (PBEC) tahun 1969. organisasi ini beranggotakan semua negara Asia Pasifik kecuali dua negara komunis yakni Kampuchea sekarang Kamboja dan Korea Utara. Organisasi ini aktif untuk mendorong perdagangan dan investasi swasta.

Dipicu itulah pemerintah negara-negara Asia Pasifik semakin terkonsolidasi dengan lahirnya Pacific Economic Cooperation Council (PECC) tahun 1980 di Canberra Australia, cikal bakal APEC. Saat itu PECC bekerja untuk indentifikasi ekonomi regional, terutama perdagangan, sumber daya manusia, alih teknologi, energi, dan telekomunikasi. Walaupun masih bersifat informal, PECC melibatkan para pejabat pemerintah, pelaku bisnis, dan akademis. Salah satu hasil kegiatan PECC adalah terbentuknya Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) sebagai wadah kerja sama bangsa-bangsa di kawasan Asia Pasifik di bidang ekonomi yang secara resmi terbentuk bulan November 1989 di Canberra, Australia pada tahun 1989.

Suatu hal yang melatarbelakangi terbentuknya APEC adalah perkembangan situasi politik dan ekonomi dunia pada waktu itu yang berubah secara cepat dengan munculnya kelompok kelompok perdagangan seperti MEE, NAFTA. Selain itu perubahan besar terjadi di bidang politik dan ekonomi yang terjadi di Uni Soviet dan Eropa Timur. Hal ini diikuti dengan kekhawatiran gagalnya perundingan Putaran Uruguay (perdagangan bebas). Apabila masalah perdagangan bebas gagal disepakati, diduga akan memicu sikap proteksi dari setiap negara dan sangat menghambat perdagangan bebas. Oleh karena itu, APEC dianggap bisa menjadi langkah efektif untuk mengamankan kepentingan perdagangan negara-negara di kawasan Asia Pasifik[2].

 

APEC 2013:  Mencapai Bogor “Goals” Dalam Koridor WTO

Setelah ditetapkan sebagai Ketua dan tuan rumah KTT APEC yang akan berlangsung Oktober 2103 di Bali Indonesia akan makin dalam terjebak pada rezim ekonomi neoliberal. Sebagai kerjasama ekonomi dengan anggota 21 ekonomi mempunyai prinsip yang voluntary, transparan, informal, tidak mengikat dan dalam koridor disiplin WTO[3].  Hal ini makin ditegaskan lagi ketika KTT APEC di Seattle-USA 1993, dengan visi pertukaran barang, jasa dan investasi secara bebas. Tidak cukup hanya itu maka pada tahun 1994 di Bogor dideklarasikanlah Bogor Goals:

  1. Menciptakan sistem perdagangan dan investasi yang bebas, terbuka dan adil di kawasan tahun 2010 untuk ekonomi maju dan 2020 ekonomi berkembang.
  2. Memimpin dalam memperkuat sistem perdagangan multirateral yang terbuka, meningkatkan liberalisasi perdagangan dan jasa, mengintensifkan kerjasama ekonomi di Asia-Pasifik.
  3. Mempercepat proses leberalisasi melalui penurunan hambatan perdagangan dan investasi yang lebih jauh, meningkatkan arus barang, jasa, modal secara bebas dan konsisten dengan GATT (sekarang WTO).

Dengan berbagai kerumitannya dalam mekanisme APEC ini, walaupun dikatakan tidak mengikat namun dalam kenyataannya negara-negara ekonomi ini mengikat satu sama lainnya. Tentunya dengan ketentuan pokok tadi yakni liberalisme, fasiltasi perdagangan, kerjasama ekonomi dan teknik (Ecotech) dalam kerangka WTO.

Mengintip dapurnya APEC, layaknya organisasi neoliberal yang rumit di dalam APEC terdapat banyak lembaga-didalamnya, tersedia khusus bagi korporasi. Lembaga tersebut yakni  APEC Economic Leaders Meeting (AELM), Ministerial Meeting (MM), Sectoral Ministerial Meetings, APEC Business Advisory Council (ABAC), APEC Secretariat, Senior Officials Meeting (SOM), Rencana kesepakatan sub-komite : 1 Sub-Commite on ECOTECH (ESC), 2 Budget & Management Committee, 3 Committee on Trade and Investment (CTI), 4 Economic Committee/EC, 5 Working Group, dan 6 SOM Task Force.

Mengupas sedikit mengenai rencana kesepakatan sub-komite yang digunakan sebagai pengembangan sektor dan kerjasama. Di sinilah perkembangan terjadi berbagai isu dan kerjasama baru digodok secara teknis dan implementatif. Seperti isu korupsi, terorisme dan ketahanan pangan. Seperti APEC Policy Partnership on Food Security (PPFS) 2012-2013 terdapat  empat working group yakni, stock-take dan road map towards 2020 (dipimpin oleh Jepang, Rusia dan AS), Suistainable Development of Agricultural and Fishery Sector (dipimpin oleh Indonesia), Facilitation on Investment and Infrastructure Development (dipimpin oleh Russia) dan Enhancing Trade and Market (dipimpin oleh Australia). Dalam PPFS peran ABAC/korporasi begitu mewarnai. Begitu pun dalam proses substansi dan visi di Indonesia.

Jadi tak perlu ragu dan bimbang lagi secara harafiiah dan prakteknya APEC sama dan sebangun dengan WTO yang berkeliaran dalam kawasan Asia Pasifik.

 

Rezim WTO: 18 Tahun yang Mengerikan Bagi Kaum Tani dan Rakyat Dunia,

Saat ini kepala negara anggota WTO sedang mempersiapkan diri  untuk berangkat ke Pulau Bali, Indonesia untuk menghadiri Konferensi Tingkat Menteri (KTM) IX Organisasi Perdagangan Dunia  (WTO) pada 3-6 Desember 2013. Dalam KTM IX WTO nanti, akan dibahas proposal untuk Agreement on Agriculture (AoA), TRIPs,  akses pasar non-pertanian (NAMA) dan GATS. Nantinya pada pertemuan KTM IX WTO  melalui tiga agenda utama yang disebut sebagai Paket Bali (Bali Packages), yakni  Least Development Countries (LDCs) Packages, Trade Facilitation dan pertanian, yang berada di meja Putaran Doha WTO.

Padahal WTO sudah kehilangan legitimasi. Sejak WTO berdiri resmi pada 1995 hingga kini telah banyak putaran dan perundingan yang dilakukan. Kenyataannya justru berbagai perundingan tersebut membuat krisis global semakin intensif dan mendalam. Bila secara penuh Putaran Doha dilaksanakan akan membuat krisis harga pangan, energi, pemanasan global/iklim serta sistem keuangan yang sekarang terjadi semakin buruk. Harga pangan tidak stabil, ketergantungan negara miskin atas impor meningkat, dan land grabbing meluas. Sebagai contoh konkrit akibat liberalisasi kebijakan pangan dan pertanian yang didesakkan oleh Rezim WTO, pada 2012 impor produk pangan Indonesia menelan anggaran lebih dari Rp 125 triliun. Dana tersebut digunakan untuk impor daging sapi, gandum, beras, kedelai, ikan, garam, cabai, kentang dan komoditas pangan lain. Sebaliknya perusahaan pangan dan pertanian transnasional semakin kuat meraup laba. Negara-negara berkembang terbelakang (Least developed countries/LDCs), dan negara-negara berkembang seperti Indonesia, Philipina, Thailand, Vietnam, dan lainnya akan kehilangan kedaulatan untuk melaksanakan kebijakan pertanian, yang pada gilirannya akan membatasi kemampuannya untuk menghadapi krisis harga pangan, mencapai kedaulatan pangan dan memperkuat mata pencaharian petani dan produsen kecil.

Untuk tetap memaksakan Putaran Doha tidak akan mengurangi kemiskinan atau meningkatkan pembangunan. Bank Dunia secara rutin membuat simulasi  keuntungan dari “kemungkinan” kesepakatan Putaran Doha. Berdasarkan skenario Bank Dunia, keuntungan global yang diproyeksikan untuk tahun 2015 adalah US $ 96 milyar dengan $ 16 milyar akan didapat oleh negara berkembang. Ini merupakan 0,2% dari pendapatan nasional negara berkembang, atau kurang dari satu sen per hari per orang di negara berkembang. Dibandingkan biayanya, bagaimanapun, jauh lebih besar daripada keuntungan yang diproyeksikan. Kerugian total tarif bagi negara-negara berkembang misalnya dalam negosiasi NAMA bisa hingga $ 63 miliar atau hampir empat kali lipat keuntungan diproyeksikan. Kerugian ini juga tidak termasuk potensi kerugian jutaan pekerjaan di bidang pertanian dan manufaktur akibat penurunan tarif. Selanjutnya, ternyata setengah dari semua manfaat ke negara-negara berkembang diperkirakan akan mengalir hanya delapan negara: Argentina, Brasil (menerima 23% dari keuntungan negara berkembang), Cina, India, Meksiko, Thailand, Turki, dan Vietnam.  Sementara Timur Tengah dan Afrika akan menjadi pecundang terbesar dari kesepakatan ini. Termasuk Indonesia yang hanya akan mendapatkan kue kecil, dan tidak dapat dibandingkan dengan penderitaan rakyat karena rezim WTO ini.

Pelayanan, fasilitas dan barang publik yang menguasai hajat hidup orang banyak seharusnya dikuasai negara, namun melalui perjanjian rezim WTO disulap menjadi barang dan jasa belaka yang diperdagangkan. Sumber-sumber agraria, seperti air, tanah menjadi barang spekulasi, menjadi barang dagangan. Puncaknya adalah konflik agraria yang berkepanjangan yang mencabut nyawa ribuan petani di dunia. Kewajiban negara untuk melayani rakyat atas kesehatan, obat-obatan murah, serta pendidikan diserahkan dalam mekanisme komersial. Lembaga pendidikan melakukan bisnis fortofolio, akibatnya  akses rakyat atas pendidikan berkualitas menjadi terhalangi akibat komersialisasi pendidikan. Tidak ada pembangunan dalam rezim WTO, yang ada adalah model ekonomi politik neoliberal yang meninggalkan kepentingan rakyat dan negara.

Demikian juga merampungkan Putaran Doha Rezim WTO tidak akan memecahkan masalah pertanian, pedesaan dan kelaparan dunia. Model perdagangan dalam Putaran Uruguay rezim WTO telah gagal mewujudkan kedaulatan pangan dan pembangunan pedesaan. Benih-benih dan sarana pertanian lainnya dikuasai oleh korporasi pangan melalui peraturan legal dalam suatu negara. Sebagaimana di Indonesia bahwa regulasi di bidang perlindungan varietas tanaman merupakan sebuah konsekuensi logis Indonesia dalam WTO. Dalam konsideran Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) yang dilandasi dua kepentingan yaitu sebagai sarana untuk merangsang kegiatan pemuliaan tanaman dan harmonisasi hukum internasional di bidang hak kekayaan intelektual. Sehingga sangatlah sulit diharapkan undang-undang PVT akan memberikan perlindungan terhadap hak-hak petani. Undang-undang ini telah memenjarakan petani, mengekang kreativitas petani untuk menemukan atau proses pemulian varietas tanaman, mengakibatkan terhalanginya akses orang atau individu/kelompok petani terhadap pemenuhan hak atas pangan.

Demikian juga Putaran Doha akan mendorong model yang sama meningkatnya liberalisasi dan deregulasi di sektor pertanian, yang menguntungkan korporasi pangan dan pertanian global. Padahal korporasi pangan global sangat berkontribusi atas kerusakan lingkungan, pemanasan global, pemiskinan petani dan komunitas perdesaan. Oleh karenanya Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) menekankan pentingnya untuk negara berkembang, terutama yang terbelakang, untuk memberikan perlindungan pada petani dan produsen kecil agar bangkitnya produksi nasional dan industri pengolahannya. Hal ini akan semakin sulit jika Putaran Doha dilaksanakan.

Seperti yang kita pahami proposal Indonesia dan negara-negara berkembang (G-33) dalam negosiasi WTO dengan Special Product and Special Safeguard Mechanism (SP/SSM) sebagai upaya untuk mendukung ketahanan pangan masyarakat dan pembangunan pedesaan. Kita dorong agar posisi G33 lebih kuat untuk menyatakan bahwa pangan dan pertanian bukanlah komoditas dagang semata. Para pemimpin negara negara berkembang, yang merepresentasikan dua per tiga dari jumlah penduduk di dunia harus mengeluarkan WTO dalam pertanian.

Sudah sewajarnya kita menolak sikap kompromi G33 dalam negosiasi WTO. Penulis menegaskan bahwa pangan dan pertanian adalah hak asasi manusia dan bukan komoditas dagang. Pertanian dan pangan harus dimajukan untuk kesejahteraan rakyat dan bukan urusan perdagangan semata, itu adalah kewajiban negara (state obligation). Sudah semestinya tidak ada satu klausul apapun di WTO yang boleh mengintervensi persoalan pertanian dan pangan yang menjadi jaminan kelangsungan hidup ratusan juta penduduk negara-negara sedang berkembang. Sudah cukup pengalaman pahit saat ini dimana dunia sejak tahun 1996 dalam World Food Summit  (FAO)  mempunyai agenda untuk mengurangi angka kelaparan setengahnya pada tahun 2015, justru sejak perjanjian WTO kelaparan dunia meningkat pada tahun 2009 menjadi 1,02 Miliar orang. Hal ini mundur 20 tahun seperti di tahun 1990-1992 orang lapar yang mencapai 1 milyar orang atau 18,6% dari populasi dunia saat itu. Bahkan bagi negara kaya seperti Amerika pun rakyatnya menderita. Setidaknya ada 17 juta rumah tangga di Amerika dianggap ‘rawan pangan’ di tahun 2010. Sementara 46 juta orang Amerika, satu dari tujuh orang, bergantung pada jatah makanan. Saat ini tahun 2013 di dunia menurut laporan resmi FAO satu dari delapan penduduk masih kelaparan, cukup sudah!

Negara berkembang dan miskin harus menolak untuk tunduk melayani rezim WTO dalam bentuk  peraturan nasional dan memastikan bahwa nilai tambah dari rantai pertanian, jasa dan sektor vital lainnya diatur negara  untuk melayani rakyat, bukan kepentingan korporasi..

 

Waktunya Untuk Demokrasi Ekonomi dan Kedaulatan Pangan

Putaran Doha Rezim WTO adalah model ekonomi dan jasa yang buruk. Ini melayani kepentingan pribadi dari perusahaan besar di seluruh dunia, sebagian besar dari mereka berkantor pusat di negara kaya. Ia telah gagal, dan dalam banyak kesempatan sejak 18 tahun yang lalu. Oleh karena itu, bukanlah solusi untuk pangan hari ini, iklim, krisis keuangan dan energi. Ini adalah waktunya untuk model baru, berdasarkan demokrasi ekonomi dan kedaulatan pangan untuk sistem perdagangan dunia yang berfokus pada kebijakan yang mempromosikan manusia-berpusat pada ekologi pembangunan berkelanjutan.

Waktu ke waktu makin jelas terbukti bahwa posisi petani dan produsen kecil, nelayan, buruh migran, buruh, pemuda, perempuan, lingkungan dan masyarakat adat di Indonesia-asia, dan dunia bahwa WTO keluar dari pertanian sangatlah relevan dan mendesak. Penulis tidak menentang perdagangan, namun perdagangan harus menegaskan prinsip-prinsip keadilan sosial, hak asasi manusia, solidaritas dan tidak bebas-untuk-semua kompetisi. Oleh karena itu prinsip-prinsip kedaulatan pangan untuk mengatasi krisis harga pangan menjadi alternatif yang cocok dengan situasi saat ini. Keadaan itu ditunjang dengan praktek demokrasi ekonomi sebuah sistem dimana terjadi redistribusi aset dan alat produksi, pemulihan kontrol negara dan rakyat atas hajat hidup orang banyak, serta sektor vital pada perekonomian demi pelayanan yang lebih baik terhadap masyarakat dibandingkan para elit, industri nasional yang berkelanjutan, model pertanian dan pangan agroekologis,  dan jasa yang memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi umat manusia.


[1]     Pasal yang menyatakan memberikan sekaligus dimuka HGU selama 95 tahun bagi perusahaan di Judicial Review-kan oleh ormas tani dan LSM di Mahkamah Konstutusi. MK dalam hal ini menyatakan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan Konstitusi 1945.

[2]     http://saranghaechonsa.wordpress.com/2011/03/18/sejarah-apec/

[3]    Keanggotaan APEC terdiri 21 ekonomi. Australia, Brunai Darussalam, Kanada,Cili, Republik Rakyat Cina, Hongkong-Cina, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Papua New Guinea, Filipina, Singapura,Taiwan, Thailand, Amerika Serikat,Peru, Rusia, Vietnam.

 

*Penulis adalah Ketua Departemen Kajian Strategis, Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia

ARTIKEL TERKAIT
Resmi Terbentuk, SPI Kuansing Gelar Musyawarah Cabang
Di Tengah Kepungan Asap, Petani SPI Jambi Laksanakan Rapat A...
World Social Forum 2008: Global Day of Action World Social Forum 2008: Global Day of Action
Hari Tani 2015, Dorong Akselerasi Redistribusi 9 Juta Hektar...
2 KOMENTAR
  1. ipul berkata:

    junk WTO!

  2. tarmizi berkata:

    Sya bersukur allhm dllh.karna ada nya spi lah,:
    .war,ga di kampung sya bisa bertani d dalm kwasan hutan hph.sya sebagai ketua bdan plaksana spi ddi tingkat ds.muara seklo.kc.sumay.kb tebo.sa.at msih brjuang kepenting msarakat ds.muara sekalo.sekarng juga msih menyelesai.kmpit antra bsis ds.semambu yang menyerobot wilayh sekalo.tampa ada keepakan basis tersebut tlah mela::kukan reker
    iming di wilayh tersebut.sementara ni warga ds.sekalo merasa jd penonton.dan warga, setempa.akan: turun kelokasi membuktikan bahwasa nya benar benar.lahan tersebut udah di lakukan rekeriminng.oleh bsis ds semambu.tampa ada nota kesepahaman.ketua basis 1spi ds sekalo.udah berusaha.mencari solusi nya jangan sampi petani spi.bentrokan sma warga setempat.sedangkan petani benar benar.tadak tahu teta batas antra ds sekalo.ds semambu.smpai dtik ini belum ada kejelasan nya.

BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU