“Yang miskin makin miskin, yang kaya makin kaya”
Sebait lagu itu yang masih kami hapal, diulang-ulang dengan nada folk yang memikat. Bung Franky Sahilatua merapalnya ditemani sebuah gitar tua, di depan sekitar 10 ribu petani dan buruh migran berasal dari berbagai penjuru dunia yang berkumpul untuk menghentikan perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), di Hong Kong akhir tahun 2005. Koor menggema. Kami bergidik menyaksikan ‘orang-orang pinggiran’ bersuara.
Franky Hubert Sahilatua adalah salah satu seniman di negeri ini yang konsisten untuk terus kritis dalam berkarya. Kondisi sosial yang penuh dengan ketimpangan, keresahan, dan ketidakadilan diungkap secara kritis dalam setiap karyanya.
Suatu hari, kami bernyanyi bersama petani-petani di Karawang, Jawa Barat. Kala itu bulan Maret 2007, musim panen raya. Bung Franky Sahilatua didaulat menyanyikan ‘Musim Panen’, salah satu hitsnya. Diselingi celetukan bahwa dia kurang hapal lagi lagu-lagu lawasnya—penampilannya bersahaja namun tetap bergelora. Salah satu petani mengambil alih mikropon, melanjutkan lagu hingga selesai.
Beliau betah berlama-lama menyesap kopi bersama kami semua, dan menyalami satu per satu penggemarnya. Dalam diskusi-diskusi kecil inilah kami membahas betapa bobroknya sistem ekonomi dunia yang diakibatkan oleh sistem globalisasi-neoliberal. Betapa busuk dan korupnya praktek politik di negeri ini. Betapa pemimpin di negara ini tak becus mengurus negerinya yang kaya raya. Betapa kebhinnekaan diberangus: “Aku ingin presiden baru bela rakyat!”, teriak beliau sekitar tahun 2009.
Saat itu Bung Franky masih kuat berjalan ke desa-desa mengunjungi anggota Serikat Petani Indonesia (SPI). Ia pernah bilang: “Petani adalah salah satu penopang kebudayaan bangsa. Kalau petaninya tak maju, bangsa ini pasti mandeg!”
Sekitar tahun 2010, aktivitas beliau mulai berkurang drastis. Belakangan kami ketahui beliau mengidap penyakit parah, kanker sumsum tulang belakang. Mulai dari petani, pengamen, aktivis, buruh migran, artis hingga pengusaha menggelar forum dan aksi untuk menggalang biaya pengobatan si Bung.
Ternyata, Yang Maha Kuasa lebih sayang padanya. Dengan tenang Dia menggamit lengan Bung Franky hari Rabu (20/4), pukul 15:15 WIB.
Lagu-lagu dan semangatnya masih ada. Warisannya memecut kita untuk memahami keresahan rakyat. Karya-karyanya menginspirasi kita agar bekerja dan berjuang lebih keras lagi untuk melawan ketimpangan dan ketidakadilan di tengah-tengah kita. Untuk satu tujuan, demi rakyat sejahtera.
Kami lepas Anda menghadap-Nya dengan ikhlas, Bung Franky Sahilatua. Cita-citamu akan terus menyala-nyala di relung sanubari kami semua
Doa dari seluruh petani menyertaimu.*****
================================================================
Ode ini dipersembahkan oleh dua orang seniman petani SPI, Muhammad Ikhwan dan Muhammad Haris Putra Sinaga