Beberapa puluh tahun lalu, tepatnya 1 Juni 1945 pidato Ir. Soekarno dihadapan sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) menjadi tonggak bersejarah lahirnya dasar Negara kita. Perkembangannya kemudian dalam pembukaan UUD 1945, dasar-dasar filosofis tersebut dicantumkan dengan tegas. Dasar filosofis inilah dijadikan sandaran utama bergeraknya Negara yang terwujud dalam praktek penyelenggara Negara dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan.
Kemudian apa hubungannya Pancasila, UUD 1945 dengan pelaksanaan pembaruan agraria di Indonesia? Landasan hukum dilaksanakannya pembaruan agraria di Indonesia adalah UUPA 1960. Sebagai kebijakan dasar dalam pembangunan Indonesia maka UUPA 1960 dalam jiwanya mempunyai landasan filosofis sesuai dengan Pancasila. Yang kemudian juga mempunyai landasan konstitusional yakni UUD 1945, yang secara terang dicantumkan dalam pasal 33 ayat 3 (naskah asli).
Pancasila, UUD 1945 dan UUPA 1960; mencapai cita-cita Bangsa
Kesadaran atas Pancasila sebagai landasan filosofis sudah mengemuka sedari awal perdebatan dan perumusan Undang-Undang Peratuturan Dasar Pokok Pokok Agraria. Hal ini jelas sekali terekam dari memori penjelasan atas Rancangan Undang-Undang pokok Agraria, yang kemudian dituangkan pada konsideran berpendapat huruf c, yakni;
“…. Lain dari itu hukum agraria nasional harus mewujudkan penjelmaan dari pada azas kerokhanian, Negara dan cita-cita Bangsa, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial….”
Suasana kebatinan Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945 amat terang mengalir dalam UUPA 1960. Penjelasan UUD 1945 (naskah asli) menegaskan, dalam Pasal 33 tercantum “dasar demokrasi ekonomi” di mana produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat dan kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang.
Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi, kemakmuran bagi segala orang. Hal ini sesuai dengan Pasal 12 ayat (1) UUPA 1960 yang berbunyi,” Segala usaha bersama dalam lapangan agraria didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau bentuk-bentuk gotong royong lainnya”.
Kemudian secara tegas dinyatakan dalam Pasal 13 Ayat (2) disebutkan, pemerintah wajib mencegah organisasi dan usaha-usaha perseorangan dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli swasta. Ini menunjukkan, dasar demokrasi ekonomi Indonesia, sejatinya, amat menentang sistem perekonomian yang bersendikan filsafat neoliberal yang mewujud dalam bentuk privatisasi, liberalisasi dan mengurangi peran negara. Untuk itulah dalam prinsip demokrasi ekonomi maka bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sebagai kekayaan nasional, dipersembahkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dalam penjelasan UUPA 1960 disebutkan, pasal 11 ayat (1) dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas dalam bidang-bidang usaha agraria, hal mana bertentangan dengan asas keadilan sosial yang berperikemanusiaan. Yang kemudian diperkuat dalam pasal 11 ayat (2)-nya ‘…..harus memperhatikan perbedaan dalam masyarakat dan keperluan golongan rakyat, tetapi dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi lemah…..”
Dengan demikian tujuan pokok lahirnya UUPA 1960 hingga saat ini masih sangat relevan yakni: (1) meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat adil dan makmur; (2) meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan; dan (3) meletakkan dasar-dasar untuk memberi kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Ini suatu jiwa dan semangat konstitusi yang merupakan hasil kristalisasi pemikiran the Founding Fathers atas realitas sejarah bangsa yang selama berabad-abad hidup dalam cengkeraman kolonialisme/imperialisme. Diketahui bersama, kolonialisme/imperialisme lahir dari rahim ideologi liberalisme klasik yang bersendikan filsafat individualisme, yang muncul pada abad pertengahan di Eropa Barat. Dan, neoliberalisme yang kini mengepung bangsa, juga berakar kuat pada filsafat individualisme itu, dan merupakan bentuk lanjutan termutakhir dari liberalisme klasik. Jadi, paradigma pembangunan neoliberal, secara ideologis bertentangan dengan jiwa dan semangat UUPA 1960 dan Pasal 33[1]
Artinya semangat yang begitu mendalam dalam sistem demokrasi ekonomi demi tegaknya keadilan sosial, kesejahteraan rakyat dan perlindungan bagi ekonomi lemah haruslah menjadi agenda utama bagi pembangunan bangsa ini. Dalam konteks pelaksanaan pembaruan agraria, maka tanah bagi petani adalah hal yang paling mendasar yang harus diwujudkan.
Perjuangan Kaum tani dan Ekonomi Konstitusi
Didalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraria,bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur sebagai yang kita cita-citakan[2]
Sudah terang sekarang, bahwa perjuangan pendiri bangsa kita ini sejak awal sudah merancang suatu masyarakat sejahtera, bahagia yang berkeadilan sosial. Namun bagi rakyat kecil, buruh, kaum tani dan kalangan miskin kota, indahnya cita-cita bangsa itu tidaklah dengan serta merta diraih sejak Indonesia merdeka. Pencapaian tersebut tetap harus diperjuangkan, karena dalam prakteknya mandat Konstitusi tidaklah sempurna, bahkan melenceng. Secara garis besarnya apa yang dipraktekan bersama Serikat Petani Indonesia (SPI) dari masa ke masa adalah perjuangan menegakkan konstitusi, khususnya pasal 33 (naskah asli).
Bagi ormas tani seperti SPI, ranah perjuangannya melingkupi aspek yang luas. Mulai dari desa/komunitas, daerah, wilayah, nasional, regional bahkan internasional. Fokus utamanya adalah memastikan kekayaan alam, sumber agraria dengan mengutamakan kemakmuran masyarakat umum. untuk itu ranah perjuangannya yang berhimpun dalam ormas tani memungkinkan kini dari sifatnya yang kebijakan dan praktek dilapangan dalam berbagai tingkatan perjuangan. Kesadaran ini dibangun dengan sesadarnya atas dasar mandat dari pembukaan dan UUD 1945 pasal 33. Beberapa rekaman perjuangan kaum tani dapat kita beberkan dibawah ini:
i) Perjuangan pembaruan agraria: tanah untuk petani
Secara kebijakan tanah untuk petani adalah mandat yang tegas dan tertulis. Dalam pasal 10 ayat 1 dan 2 UUPA 1960 dirumuskan suatu azas yang pada dewasa ini sedang menjadi dasar daripada perubahan- perubahan dalam struktur pertanahan hampir diseluruh dunia, yaitu dinegara-negara yang telah/sedang menyelenggarakan apa yang disebut “landreform” atau “agrarian reform” yaitu, bahwa “Tanah pertanian harus dikerjakan atau
diusahakan secara aktip oleh pemiliknya sendiri”[3].
Kenapa ketentuan ini sangat mendasar? Karena bagi petani, tanpa tanah seperti ikan tanpa air. Perebutan sumber agraria berupa tanah inilah yang hingga kini terus terjadi, menurut BPN hingga tahun 2008 lalu tercatat 2.810 konflik agraria.
Atas dasar mandat yuridis inilah kaum tani bergerak untuk memastikan lahan-lahan subur itu dinikmati bagi jutaan petani kecil, buruh tani dan masyarakat tak bertanah.
ii) Membangun ormas tani yang kuat
SPI menyadari bahwa untuk menyuarakan kepentingan petani, tidak ada jalan lain yang lebih rasional daripada organisasi tani yang kuat. Organisasi tani yang kuat adalah salah satu cara agregasi kepentingan petani yang nantinya akan dituangkan dalam beleid (kebijakan) pemerintah dan mengeksekusi segala keputusan/kebijakan tersebut. Untuk mencapai tujuan ini, SPI terus memperkuat dan memperluas konstituennya yang kini ada di 11 wilayah yang tersebar dari Aceh hingga Nusa Tenggara Timur.
Keperluan organisai yang kuat dalam ranah perjuangan yang terpimpin demokratis ini setidaknya terindentifikasi dalam dua lapangan:
Dalam percaturan organisasi tani, SPI saat ini selain memposisikan sebagai pelopor gerakan rakyat di tingkat nasional—SPI juga mengambil peran yang signifikan dalam gerakan tani internasional. Saat ini SPI sleian menjadi anggota dari La Via Campesina sebagai bagian dari gerakan petani internasional tetapi juga menjadi koordinator internasionalnya. Selain bergerak dalam mengagregasikan kepentingan di tingkat nasional, SPI juga mengambil peran aktif di level internasional, seperti tuntutan-tuntutan dan aksi yang dilakukan dalam berbagai forum internasional.
iii) Membangun model pertanian berkelanjutan dan distribusi
Perkembangan teknologi dibidang pertanian setiap masa-nya selalu mengalami perubahan yang signifikan. Sebut saja bagaimana sulitnya petani dikala revolusi hijau. Dan sekarang inisiasi modal internasional melalui teknologi trangenik dan model pertanian skala luas. Situasi ini membuat petani terus menciptakan dan mengembangkan berbagai teknologi yang berkelanjutan berbasis keluarga tani. Trend pertanian organik bukan saja dianggap sebagai teknologi pertanian saja, bagi SPI ini juga merupakan langkah perlawanan pada corak produksi pertanian yang selama ini menghisap. SPI membuat daerah-daerah inti yang telah mempraktekan pertanian berkelanjutan. Baik secara kolektif maupun keluarga-keluarga tani. Berbagai pusat pendidikan baik secara formal dan berjenjang maupun praktek lapangan terus dilakukan hingga saat ini. Hal ini baru ditemui didaearah Sumatra Utara, Sumatera Barat, Jamb, Sumatra Selatan, DIY, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan tentu akan terus berkembang seiring menguatnya organisasi. Aktivitas ini setidaknya berupa pendidikan full time selama dua bulan secara nasional dipusatkan di Bogor, Jawa Barat. Pembangunan pusat perbenihan, dan penjualan langsung.
Pengertian pasar dalam kedaulatan pangan yang diinginkan petani, adalah pasar yang tidak menjadi suatu entitas yang otonomi dan mendominasi (self-regulating), seperti yang diadopsi dalam praktek neoliberalisme. Kedaulatan pangan tidak menegasikan perdagangan, namun perdagangan hanya menjadi bagian atau alat dari kedaulatan untuk sepenuhnya menjadi mekanisme yang menguntungkan rakyat banyak. Dalam prakteknya, SPI secara praktis memotong rantai-rantai perdagangan pangan pada umumnya. Dalam kasus beras yang rantai perdagangan berasnya bisa mencapai 4 pihak hingga lebih, SPI mengusulkan alternatif direct-selling/direct-buying yang bisa langsung mengantarkan produk hasil pertanian ke tangan konsumen. Selain memotong pemburuan rente, sistem ini bisa lebih menguntungkan petani dan konsumen—serta mewujudkan kemampuan petani untuk menguasai dan mengontrol pasar domestiknya sendiri.
Penutup
Mandat pembangunan nasional sebenarnya sudah terang dan jelas arah dan tujuannya seperti yang termaktub dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3. yang pada lapangan agraria diterjemahkan dalam UUPA 1960. Kembali kepada amanat konstitusi adalah pilihan sejarah demi tercapainya kemakmuran bersama, bukan orang per-orang.
[2] Memori penjelasan atas Undang-undang pokok Agraria
[3] Idem, Memori penjelasan atas Undang-undang pokok Agraria
Disampaikan pada Diskusi Publik dalam rangka peringatan 1 Juni dengan tema “Menggerakan Nasionalisme dan Demokrasi Indonesia” di PBNU, Jakarta 8 Juni 2010
Achmad Ya’kub, Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional SPI