Desa & Reforma Agraria di Indonesia

hamparan sawah

Oleh : Tri Hariyono***

 Dengan jujur harus kita akui bahwa realitas desa tidak seindah yang kita inginkan. Khususnya ketika program reforma agraria dicabut oleh rezim orde baru dan dijerembabkan ke dalam kubangan kapitalisme global. Frans Husken menjelaskan bahwa seiring masuknya modernisasi ke pedesaan di Indonesia, daya dukung solidaritas sosial yang tadinya menjadi bukan sekedar modal sosial tetapi juga modal ekonomi itu perlahan tapi pasti melemah. Sehingga secara perlahan pula, terjadi peluruhan karakter masyarakat desa: homogenitas melemah dan terjadi pelapisan sosial yang semakin tajam. Bahkan kemudian menajam menjadi polarisasi yang menyebabkan kapitalisme merasuki sistem kehidupan. Inilah yang oleh Husken kemudian diidentifikasi sebagai bibit-bibit diferensiasi sosial pada masyarakat desa. Ketika Indonesia merdeka, desain tentang desa bisa dikatakan masih buram. Apalagi hiruk-pikuk kemerdekaan jauh lebih membahana ketimbang isu lain yang lebih “program”. Akan tetapi, masih ada kesadaran bahwa desa harus tetap diperhatikan dengan lebih adil sangat nyata. Hal ini bisa dilihat pada kesadaran Mohammad Hatta untuk menempatkan agenda pembaruan agraria sebagai salah satu program pembangunan.

Perhatian serius dari pemerintah baru tampak sekitar hampir dua dekade kemudian. Ini tampak dalam pidatonya Presiden Soekarno di tahun 1960. Ia mengatakan, ‘Jangan mengira landreform yang kita hendak laksanakan adalah komunis. Hak milik atas tanah masih kita akui. Orang masih boleh punya tanah turun-temurun. Hanya luasnya milik itu diatur baik maksimumnya maupun minimumnya, dan hak milik atas tanah itu kita nyatakan berfungsi sosial, dan negara dan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada hak milik perseorangan.’ ‘Revolusi Indonesia tanpa landreform adalah sama dengan gedung tanpa alas, sama saja pohon tanpa batang, sama saja omong besar tanpa isi….’‘Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan ! Tanah untuk tani ! Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah !’.

Dari sini, keberpihakan kemudian diteruskan dengan dikeluarkan satu aturan penataan masalah sumberdaya agraria melalui Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 05 Tahun 1960 atau kemudian lebih dikenal dengan UUPA 1960. Kita menemukan bahwa sepanjang sejarah berdirinya republik ini, undang-undang ini merupakan model keberpihakan terbesar yang dilakukan oleh negara.

Harapan pelaksanaan reforma agraria dewasa ini dilontarkan terkait otonomi desa yang diakui oleh UU Desa. Informasi atau harapan yang diberikan selama ini, semenjak masih RUU kemudian menjadi UU Desa adalah adanya pelaksanaan reforma agraria. Namun nyatanya setelah terbit tidak ada satu kata pun mengenai hal ini, tidak nampak kehendak untuk memberikan jalan penghentian dan membongkar ketidakadilan agraria apalagi berniat melaksanakannya. Bahwa kemiskinan di pedesaan salah satunya adalah akibat dari ketimpangan penguasaan sumber agraria, maka reforma agraria adalah jalan yang diperlukan bagi mayoritas penduduk desa yang masih miskin agar lebih sejahtera dan produktif dengan menyediakan tanah sebagai alat produksi bagi petani kecil dan buruh tani—khususnya perempuan—, menjamin kepemilikan dan kontrol atas tanah yang mereka garap dan mengembalikan hak teritori masyarakat adat. Hak atas tanah harus bebas dari diskriminasi gender, agama, suku bangsa, kelas sosial atau ideologi, dan tanah hendaknya dimiliki oleh orang-orang yang menggarapnya.

 Desa dalam Kepungan Kapitalisme Global

Harian Kompas tanggal 28 Januari 2016, menurunkan sebuah berita utama yang jadi perbincangan, yaitu “Pemodal Kuasai Lahan desa”. Disebutkan bahwa ribuan hektar lahan desa kini dikuasai para pemodal. Mengacu data Badan Pertanahan Nasional (BPN), 56 persen aset berupa properti, tanah, dan perkebunan dikuasai hanya 0,2 persen penduduk Indonesia. Sementara Sensus Pertanian (SP) 2013 menunjukkan, 26,14 juta rumah tangga tani menguasai lahan rata-rata 0,89 hektar per keluarga. Sekitar 14,25 juta rumah tangga tani lain hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar per keluarga. Kasus-kasus yang diacu adalah desa-desa di Pandeglang, Serang dan Lebak.

Dari paparan di atas, memberikan ilustrasi bahwa proses kapitalisasi di desa terus bergerak cepat seiring dengan proyek-proyek investasi kapitalisme di wilayah-wilayah pedesaan. Pemahaman cara kerja kapital seperti dijelaskan Harvey (2003, 2005), yang menekankan pada produksi dan pembentukan ruang untuk dan melalui perkembangan usaha kapitalisme, memudahkan kita dalam mencermati gejala perampasan tanah global (global land grab) dengan dalih kebutuhan tanah untuk mengatasi krisis pangan dan energi.

aksi_tolak_impor_kentang_2

Selain difasilitasi langsung oleh negara-negara asal investor dan pembuatan instrumen legal oleh negara penerima investasi, investasi asing berskala besar untuk pembelian dan penyewaan tanah dengan argumen keamanan pangan ini juga difasilitasi oleh lembaga perpanjangan tangan World Bank yang disebut International Financial Corporation (IFC) (Daniel dan Mittal 2009). Pada 2008, World Bank meluncurkan himbauan yang disebut sebagai ”New Deal in Global Food Policy”, yaitu himbauan untuk memacu produktivitas bahan pangan. Pada akhir tahun fiskal 30 Juni 2008, nilai investasi IFC yang ditanamkan di rantai pemasaran pangan mencapai lebih dari 1,3 miliar dolar Amerika Serikat. Jumlah proyek agribisnis yang didukung meningkat dari sejumlah 17 proyek pada 2005 menjadi 32 proyek pada 2008. Selanjutnya, pada Februari 2009, IFC membentuk sebuah proyek investasi agribisnis khusus, Altima One World Agriculture Development Fund, untuk negara berkembang sebesar 625 juta dolar Amerika. Selain Altima One World Agriculture Fund (Amerika Serikat), ada juga Chayton Atlas Agriculture Company (Inggris), Citadel Capital (Mesir), Mriya Agro Holding (Ukraina), Sena Group (Mauritius)/Tereos (Perancis), SLC Agricola (Brazil), dan lain-lain.

Kapitalisme memang berwatak destruktif, karena sistem ini diizinkan untuk berdiri sendiri tanpa campur tangan negara. Perkembangan kapitalisme yang dituntut self regulating, yang pada gilirannya menuntut pemisahan ekonomi dari politik, seperti didukung kuat oleh para ekonom klasik maupun neoklasik. Sekali pasar dibiarkan berjalan sendiri sehingga segala sesuatu akan berubah menjadi komoditas. Bukan hanya barang yang diatur oleh mekanisme pasar, tetapi juga tenaga kerja, tanah dan uang. Ini merupakan bahaya besar bagi masyarakat. Tenaga kerja (labor) adalah kata lain bagi kegiatan manusia yang satu dengan kehidupan itu sendiri, karenanya tidak diproduksi untuk diperjualbelikan. Ia juga tidak dapat dilepaskan dari kehidupan, disimpan di gudang atau dimobilisasikan. Tanah (land) adalah nama lain bagi alam yang juga bukan hasil produksi manusia. Akhirnya, uang (money) hanyalah tanda beli yang tidak diproduksi, tetapi ada karena mekanisme perbankan. Kalau tenaga kerja, tanah dan uang dipandang sebagai komoditas maka ini tidak lebih daripada sebuah fiksi semata. Apa yang terjadi kalau tenaga kerja, tanah, dan uang menjadi komoditas, jawabnya adalah kehancuran. Untuk itu, menjadi harapan kita berama bahwa dengan adanya otonomi desa sebagaimana diakui dalam UU Desa, pelaksanaan reforma agraria di desa menjadi agenda yang penting dan mendesak sebagai agenda politik.

Reforma Agraria Sebuah Agenda Politik

Dalam sebuah acara besar di Medan, yang dihadiri seribu lebih peserta yang berdatangan dari seluruh penjuru Indonesia, pada tanggal 15 November 2006, disebutkan bahwa alasan yang krusial mengenai mendesaknya reforma agraria dilaksanakan adalah timpangnya struktur penguasaan lahan di Indonesia mengakibatkan kemiskinan dan konflik, serta reforma agraria sendiri merupakan amanat dari UUPA 1960. Gambaran di atas menjadi sangat tegas mengapa reforma agraria sebagai agenda politik sudah tidak bisa ditunda-tunda lagi.

SPI LAMPUNG PRINGSEWU PANEN BUPATI

Reforma agraria bisa diartikan sebagai kebijakan penting dari sebuah negara untuk menghapuskan model kekuasaan ekonomi feodalisme dan membangun syarat-syarat untuk menciptakan sebuah industri nasional dengan tujuan pasar nasional dan mencukupi kebutuhan sendiri. Maka alamat dari kebijakan ini adalah: peningkatan kualitas hidup kaum tani dan pedesaan, peningkatan produksi pertanian (baik untuk pangan dan bahan baku industri), dan pengimbangan secara relatif keadaan pedesaan dan perkotaan (pemerataan pembangunan).

Pengubahan secara fundamental dari pertanian untuk kepentingan feodal dan merkantilis, menjadi pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional dan pemenuhan bahan-bahan mentah bagi industri nasional. Dengan tujuan yang paling praktikal adalah membebaskan kaum tani dari penghisapan feodalisme dan meningkatkan kapasitas (secara ekonomi, politik, dan kebudayaan) mereka sebagai tenaga produktif (productive forces) utama di pedesaan. Dengan meningkatnya derajat kualitas kehidupan kaum tani dan pedesaan, maka secara nasional akan tersedia sumber daya pembangunan yang besar untuk industri dan pertanian nasional dan perimbangan secara relatif keadaan hidup rakyat di pedesaan dan perkotaan (sebagai pusat industri).

Dari segi itu, maka reforma agraria harus dilakukan oleh sebuah otoritas politik yang mendominasi bangsa, yaitu negara. Negara harus menjadi alat dari rakyat untuk menyita kekuasaan monopoli tanah (secara kepemilikan langsung maupun penguasaan tidak langsung), menasionalisir, dan membagi secara cuma-cuma kepada kaum tani. Dua aspek pentingnya adalah: menyita dan membagi hak atas tanah. Aspek pembagian ini adalah tugas negara yang harus hati-hati dijalankan, karena memerlukan kegiatan penyadaran (baik secara politik, ekonomi, maupun teknis pertanian), dukungan untuk produksi, maupun kegiatan administratif untuk menentukan bagian hak atas tanah bagi keluarga kaum tani yang berhak. Pembagiannya tidak bisa secara pukul rata, namun menurut dengan variasi kualitas tanah, letak geografis, klas sosial dari kaum tani, maupun faktor teknis produksi pertanian. Baik penyitaan maupun pembagian harus dilaksanakan secara cuma-cuma (gratis), pihak monopolis tanah yang disita tidak diberikan kompensasi, dan pihak penerima pembagian (kaum tani) tidak membayar sebagai pengganti pemberian hak atas tanah (seperti yang umum diketahui sebagai proses perjanjian perdata untuk jual-beli) namun dibebani biaya-biaya administratif yang rendah.

Dari kerangka berpikir di atas, maka diperlukan keadaan bahwa kaum tani terorganisasi dengan baik dan kuat (adanya peasant association atau serikat tani), adanya koperasi produksi pertanian yang terintegrasi dengan tujuan organisasi tani tersebut, dan negara yang memang menjalankan tugasnya sebagai pihak yang berpihak pada golongan warga negara yang lemah keadaan dan kedudukan ekonomi, politik, dan kebudayaannya melalui sociali sharings process.

Mengenai penerapan reforma agraria di Indonesia, pemberlakuan UUPA[1] dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1961 tentang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH) maupun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (UU 56 Prp 1960) dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda Diatasnya (UU 20/1961); baru mengatur kuat tentang bagaimana tata cara pendaftaran tanah sebagai inti dari proses administrasi negara untuk mengatur hukum pembuktian tentang penguasaan seseorang (atau badan hukum) terhadap suatu hak atas tanah. Bagaimana sebuah kebijakan untuk menghapuskan kepemilikan (dan penguasaan) monopoli a la kolonialisme dan feodalisme Belanda belum sampai pada akarnya. Perlu dikaji lebih mendalam mengenai hal ini, mengingat masalah agraria adalah masalah nasional yang sudah akut dan kronik.

kedaulatan pangan

Sedangkan dalam tingkatan global, utuk mendukung perjuangan petani kecil dan tak bertanah untuk mendapatkan akses atas tanah, air, dan sumber daya agraria yang produktif berdasarkan hak asasi manusia atas pangan yang layak, serta untuk mencapai demokrasi gender yang lebih besar, Menurut La Via Campesina (gerakan petani Internasional), penting kiranya untuk memberikan perhatian khusus pada:

  1. Memberikan petani kecil yang miskin kendali atas tanah, benih, dan air, sehingga mereka dapat hidup bermartabat;
  2. Memungkinkan produksi pangan yang aman dan bebas dari modifikasi genetik untuk semuanya;
  3. Menjamin alat produksi yang berkelanjutan untuk menjaga basis pangan demi generasi mendatang;
  4. Memperkuat hak-hak perempuan pedesaan dan kelompok-kelompok lain yang terpinggirkan;
  5. Menjamin kedaulatan pangan;
  6. Memperkuat komunitas pedesaan.

 

Catatan kaki :

[1] Mengenai hak atas tanah bagi rakyat Indonesia diatur dalam Pasal 16 UUPA yang menjelaskan tentang macam-macam hak atas tanah, yaitu: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Hak-hak yang sifatnya sementara ini diatur dalam Pasal 53 UUPA dikenal sebagai hak atas tanah yang bersifat sementara yaitu hak sewa untuk bangunan, hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, hak sewa tanah pertanian.

 

***Penulis adalah Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) SPI Yogyakarta

 

ARTIKEL TERKAIT
Tradisi Makan Bersama Menutup Kemah Pemuda Tani SPI
Islam, dan Keadilan Agraria
Henry Saragih: "Saya Optimis Kedaulatan Pangan Bisa Terwujud...
Gerakan Petani ke FAO: Kuatkan Sistem Pangan Lokal, Kerja Ko...
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU