Perampasan Tanah di Indonesia

Istilah “Land Grabbing” atau Perampasan tanah pertama kali dikemukakan oleh sebuah lembaga pertanian GRAIN di Spanyol, pada tahun 2008. Istilah ini digunakan untuk menyebut mengenai pengambilan  tanah-tanah pertanian oleh perusahaan besar melalui investasi agribisnis. Saat ini istilah land grabbing sudah semakin populer bahkan telah menjadi perhatian berbagai lembaga PBB seperti Food and Agriculture Organization (FAO) dan International Fund for Agricultural Development (IFAD).

Banyak pihak mencemaskan mengenai land grabbing, karena makin mempersulit adanya upaya memberikan akses pada buruh tani atas tanah pertanian. Pangan seketika menjadi suatu komoditas yang bernilai tinggi. Dengan meroketnya harga bahan pangan 10-40 persen pertanian pangan tiba-tiba menjadi sektor yang menggiurkan, pangan menjadi ”ladang emas” baru.

Hal tersebut menyebabkan terjadinya gelombang investasi ke sektor tanaman pangan di seluruh dunia. Di Indonesia, salah satu yang mengadu peruntungan di sektor pangan ini adalah Bin Laden Group. Beberapa bulan silam mereka telah menyatakan akan menginvestasikan US$ 2 miliar untuk pembukaan food estate di Lampung dan Sulawesi Tengah. Sebelumnya grup yang sama telah berencana menggelontorkan US$ 4,37 miliar pada proyek mereka berupa pembukaan lahan pertanian pangan seluas 500.000 hektare di Merauke, Papua.

Selain investor asing, perusahaan raksasa nasional seperti Medco Energi, Sinar Mas Group, dan Artha Graha juga melakukan hal serupa, perusahaan-perusahaan ini memutuskan terjun dalam bisnis pangan dengan membuka food estate seluas 585.000 hektar di daerah Merauke juga.. Pemerintah yang melihat hal ini sebagai peluang usaha baru dan kesempatan untuk mengundang investor ke sektor pertanian pangan yang selama ini tidak menarik minat dan umumnya dikelola oleh keluarga-keluarga petani mendukung perkembangan fenomena yang terjadi ini melalui sejumlah kebijakan baru yang dikeluarkan.

Undang-Undang No. 25/2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) dengan berbagai turunannya yang memberikan peluang bagi investor untuk semakin menguasai sumber-sumber agraria. Instruksi Presiden No. 5/2008 tentang Fokus Program Ekonomi 2008-2009 termasuk di dalamnya mengatur Investasi Pangan Skala Luas (Food Estate). Inpres ini dalam kacamata pemerintah bertujuan untuk menjawab permasalahan pangan nasional dengan memberikan kesempatan kepada pengusaha dan investor untuk mengembangkan “perkebunan” tanaman pangan.

Lebih lanjut Peraturan Presiden No 77/2007 tentang daftar bidang usaha tertutup dan terbuka disebutkan bahwa asing boleh memiliki modal maksimal 95 persen dalam budi daya padi. Peraturan ini jelas akan sangat merugikan 13  juta petani padi yang selama ini menjadi produsen pangan utama, apalagi 77 persen dari jumlah petani padi yang ada tersebut masih merupakan petani gurem.

Sesungguhnya terlepas dari istilah yang dikemukakan oleh GRAIN perampasan tanah bukanlah hal yang baru di Indonesia, perjuangan melawan perampasan tanah telah menjadi perjuangan panjang jutaan petani kecil di Indonesia selama bertahun-tahun. Perjuangan terhadap ekspansi perkebunan yang semakin meluas dan menggilas habis lahan-lahan pertanian masyarakat.  Dalam 20 tahun terakhir terjadi peningkatan perluasan perkebunan kelapa sawit seluas 6.103.679 hektar dengan rata-rata pertumbuhan 305.183 hektar per tahun.

Selain krisis pangan yang menyebabkan berkembangnya perampasan tanah untuk “perkebunan” pangan, perampasan lahan oleh perkebunan,  krisis iklim yang terjadi saat ini juga menyebabkan terjadinya perampasan tanah model baru. Suatu mekanisme perampasan akses dan kontrol atas pengelolaan tanah secara diam-diam dengan dalih perlindungan bumi dari perubahan iklim, perampasan tanah ini diatur dalam mekanisme perdagangan karbon.

Saat ini diperkirakan terdapat 26,6 juta hektar lahan di Indonesia yang diperdagangkan dalam mekanisme perdagangan karbon ini. Dengan nilai uang yang beredar sekitar 6,3 milyar US$ (sekitar Rp 63 triliun). Bukan jumlah yang kecil tentunya, mengingat lahan pertanian di Indonesia saat ini saja hanya sekitar 17.04 juta hektar, dengan rata-rata kepemilikan tanah per kapita yang sangat kecil sebesar 820 hektar per kapita.

Di Muara Jambi, para petani harus berjuang melindungi hak mereka  untuk bisa menggarap di lahan seluas 101.000 hektar tanah yang di klaim menjadi kawasan konservasi. Di Ulu Masen, Nangroe Aceh Darssalam (NAD) sekitar 750.000 hektar tanah rakyat sudah tidak boleh ditinggali dan digarap lagi, belum lagi puluhan proyek lainnya yang sedang berkembang. Ratusan bahkan ribuan rumah tangga petani akan kehilangan lahan dan sumber penghidupannya akibat skema perlindungan bumi yang tidak manusiawi ini. Sementara di sisi lain proses industri besar-besaran dan pengerukan sumber daya alam terus berkembang.

Lebih lanjut proses perampasan tanah ini juga didukung oleh lembaga-lembaga keuangan internasional atas nama pembangunan. Salah satu contohnya adalah rencana pembangunan tol Trans Jawa sepanjang 652 km. Pembangunan tol ini dikatakan akan meningkatkan perkembangan sektor industri di Pulau Jawa. Untuk pembangunan tol ini 655.400 hektare lahan pertanian harus rela dikonversi, belum lagi 60 hektar hutan lindung di Jawa Tengah dan Jawa Timur juga jadi korban. Padahal tingkat konversi lahan di Jawa sudah mencapai rata-rata 40.000 hektar per tahun.1 Berapa banyak petani yang akan kehilangan tanahnya? Jika rata-rata keluarga petani di Jawa mengelola 0,4 hektar tanah maka dengan pembangunan tol Trans Jawa ini akan ada 1.638.500 rumah tangga tani yang akan kehilangan tanah garapan dan sumber penghidupannya.2 Rencana pembangunan jalan tol ini dilakukan dengan menggunakan hutang dari Asian Develpment Bank (ADB) sebesar 500 juta US$.

Pengembangan pertanian dengan mengandalkan sistem agribisnis tidak akan menjawab permasalahan krisis harga pangan yang terjadi saat ini. Sesungguhnya produksi pangan dunia mencukupi untuk memberi makan seluruh penduduk dunia. Permasalahan sesungguhnya terletak pada penguasaan sumber-sumber produksi serta distribusi pangan yang terkonsentrasi pada perusahaan-perusahaan besar. Sesungguhnya ketika terjadi krisis pangan pada tahun 2007-2008 lalu, keuntungan yang diterima perusahaan-perusahaan agribisnis dan pangan justru meningkat pesat.  Konsentrasi pemilikan tanah-tanah pertanian di tangan perusahaan agribisnis dan industri pangan raksasa justru akan menyebabkan semakin rentannya masyakarat terhadap kerawanan pangan.

Langkah nyata untuk mengatasi krisis pangan adalah dengan sungguh-sungguh melaksanakan pembaruan agraria. Saat ini di Indonesia masih terdapat 12.418.0563 hektar tanah terlantar yang akan sangat bermanfaat jika didistribusikan untuk dimanfaatkan oleh keluarga-keluarga tani. Pendistribusian ini hendaknya mengutamakan keluarga tani yang tak bertanah, buruh tani dan petani-petani kecil dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektar. Jika rata-rata satu keluarga tani mendapatkan 2 hektar tanah untuk digarap, sesuai pasal 8 Perpu No.56/1960 untuk batas minimum yang dapat menjamin kelangsungan hidup keluarga, maka terdapat 6.209.028 keluarga yang akan mendapatkan sumber penghidupan yang layak disamping untuk memenuhi kebutuhan pangan dan produk pertanian nasional.

Selain itu dengan melaksanakan pembatasan maksimum kepemilikan lahan dan melakukan pembatasan modal asing dalam pengelolaan sumber daya agraria. Saat ini masih 44 persen tenaga kerja di Indonesia bekerja di pertanian, melihat besarnya angka tersebut maka penguasaan sumber-sumber agraria yang merata dan dikelola oleh rakyat memiliki peranan yang lebih besar dalam mengatasi kemiskinan dan kelaparan baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan dibandingkan sektor ekonomi lainnya.

Apabila petani sebagai penghasil pangan memiliki, menguasai dan mengkontrol alat-alat produksi pangan seperti tanah, air, benih dan teknologi serta berbagai kebijakan yang mendukungnya dalam bingkai pelaksanaan pembaruan agraria maka kedaulatan pangan akan dapat ditegakkan dan akan berjalan seiring dengan proses pembangunan pedesaan yang saat ini dikenal sebagai kantong-kantong kemiskinan.

Elisha Kartini Samon
Staf Departemen Kajian Strategis
Serikat Petani Indonesia

ARTIKEL TERKAIT
Halal bi Halal Serba Organik di Kediaman Ketua Umum SPI
Metode Penanaman Padi SRI Organik: Panen Melimpah, Biaya Mur...
SPI Merangin Dirikan Sekolah di atas Lahan Perjuangan
Pemerintah Jangan Malu Lindungi Pertanian, Usir WTO dari Per...
1 KOMENTAR
  1. Septo Hartono berkata:

    Membaca artikel tsb diatas, bila keadaan memang benar adanya, saya berharap ada kebijakan² dari pemerintah yang sesuai dengan kondisi, sehingga harapan masyarakat akan segera terpenuhi.

BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU