Pembaruan Agraria, Kedaulatan Pangan dan Keadilan Ekologis Sebagai Jalan Indonesia Berkeadilan Sosial

Pernyataan Sikap DPW Serikat Petani Indonesia Provinsi Jambi

Dalam Rangka Memperingati Hari Hak Asasi Petani Indonesia, 20 April 2012

 ”Pembaruan Agraria, Kedaulatan Pangan dan Keadilan Ekologis Sebagai Jalan Indonesia Berkeadilan Sosial”

Jambi, 19-04-2012 

Kami dari Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Serikat Petani Indonesia – Propinsi Jambi merupakan organisasi petani yang beranggotakan petani kecil, petani penyewa kecil, buruh tani, buruh perkebunan, orang-orang tak bertanah  sebagai gerakan pengusung pembaruan agraria, kedaulatan pangan dan pertanian agroekologis, pada hari ini Kamis, tanggal 19 April 2012 melaksanakan aksi peringatan Hak Asasi Petani Indonesia yang jatuh pada tanggal 20 April.

Kami Berpandangan:

Bahwa masalah utama agraria (tanah, air, dan kekayaan alam) di Indonesia adalah konsentrasi kepemilikan, penguasaan dan pengusahaan sumber-sumber agraria baik tanah, hutan, tambang dan perairan di tangan segelintir orang dan korporasi besar. Sebaliknya di sisi lain terdapat ratusan juta rakyat bertanah sempit bahkan tak bertanah. Ironisnya, ditengah ketimpangan tersebut, perampasan tanah-tanah rakyat masih saja terus terjadi.

Situasi pertanian dan perdesaan  di Indonesia tergambar secara resmi oleh Biro Pusat Statistik (BPS)   mengumumkan bahwa per September 2011 masih ada  29.89 juta penduduk berada dalam kondisi miskin dengan komposisi penduduk miskin pedesaan sebanyak 18.94 juta jiwa dan 10.95 juta penduduk miskin perkotaan. Jumlah penduduk yang rentan miskin sebanyak 27.82 juta jiwa. Laporan FAO (2011) menyebutkan bahwa kelaparan penduduk dunia tahun 2010 mencapai sekitar 925 juta jiwa dan kelaparan penduduk Indonesia mencapai 29.9 juta jiwa.

Demikian halnya dengan potret penduduk di Jambi, berdasarkan BPS Propinsi Jambi (2011), menunjukkan bahwa Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Provinsi Jambi pada September 2011 sebesar 251,79 ribu jiwa (7,90 persen). Garis Kemiskinan menunjukkan tren yang cenderung meningkat akibat pengaruh peningkatan nilai pengeluaran penduduk. Garis Kemiskinan Maret 2011 sebesar Rp. 242.272/kapita/bulan meningkat menjadi Rp. 258.888/kapita/bulan pada September 2011.

Sementara itu, konflik agraria sebagai ekses dari praktek-praktek penggusuran tanah rakyat atas nama pembangunan untuk kepentingan umum seperti  pembangunan pertanian, perkebunan, hutan konservasi, pertambangan, perumahan, jalan tol, kantor pemerintahan, cagar alam, dan pengembangan wisata telah menimbulkan korban jiwa petani dan juga kriminalisasi petani beserta nelayan dan masyarakat adat. Badan Pertanahan Nasional (2011) mencatat 2.791 kasus pertanahan pada tahun 2011 – ditambah dengan dua kasus pertanahan yang menimbulkan korban jiwa di Mesuji dan Bima pada akhir tahun 2011. Ancaman kemiskinan bahkan proletariasasi, kelaparan dan konflik agraria berpeluang semakin meluas dan mendalam, bila pemerintah tidak berpihak sepenuhnya pada rakyat.

Perampasan tanah di atas,  terjadi karena banyaknya kebijakan pemerintah yang pro pada pemodal. Mereka menggunakan kekuasannya untuk mengesahkan berbagai Undang-Undang seperti: UU 25/2007 Penanaman Modal, UU Kehutanan, UU 18/2004 Perkebunan, UU 7/2004 Sumber Daya Air, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Minerba, dan UU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Keseluruhan perundang-undangan tersebut sesungguhnya telah melegalkan perampasan hak-hak rakyat atas tanah, hutan, tambang, wilayah tangkap nelayan, wilayah kelola masyarakat tani, adat dan desa, kesemuanya hanya untuk kepentingan para pemodal asing maupun dalam negeri.

Kami menyimpulkan bahwa perampasan hak-hak rakyat (kaum tani) atas tanah, hutan, tambang, wilayah kelola masyarakat adat dan desa yang terjadi sekarang ini adalah bentuk nyata dari perampasan kedaulatan rakyat dan keberlanjutan kehidupan.

Kami berkeyakinan bahwa untuk memulihkan hak-hak rakyat Indonesia yang dirampas harus segera dilakukan Pembaruan Agraria, Penegakkan Kedaulatan Pangan dan Keadilan Ekologis.

Melalui Aksi ini, kami DPW SPI Jambi menyerukan untuk merebut dan menduduki kembali tanah-tanah yang telah dirampas oleh pemerintah dan pengusaha. Dan kami juga mengajak kepada para cendikiawan, budayawan, agamawan, professional agar mengutuk keras dan melawan pelanggaran HAM berat yang dilakukan secara sistematis dalam melakukan perampasan tanah.

Kami DPW SPI Jambi, menuntut :

  1. Menghentikan segala bentuk perampasan tanah rakyat dan mencabut Hak Guna Usaha (HGU) atau izin-izin perusahaan perkebunan dan kehutanan di Propinsi Jambi yang jelas-jelas merampas tanah rakyat.
  2. Melaksanakan Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sebagai undang-undang yang sangat sentral dalam pelaksanaan Pembaruan Agraria dalam rangka mengimplementasikan konstitusi Indonesia pasal 33 UUD 1945.
  3. Segera selesaikan konflik-konflik agraria di Jambi dengan membentuk suatu komite penyelesaian konflik agraria/Pansus Penyelesaian Konflik Agraria di Jambi yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan sosial bagi rakyat Indonesia antara lain, konflik antara anggota SPI dengan:
    • PT. LAJ (Lestari Asri Jaya) di Kabupaten Tebo
    • PT. REKI di Kabupaten Muaro Jambi, Batanghari dan Sarolangun
    • PT. AAS di Kabupaten Sarolangun, Batanghari, dan Merangin
    • PT. Kasuari Unggul di Kabupaten Tanjung Jabung Timur
  4. Memberikan perlindungan dan memenuhi hak petani atas akses terhadap sumber-sumber agraria, benih, pupuk, teknologi, modal dan harga produksi pertanian dengan segera membuat Undang-Undang Hak Asasi Petani.
  5. Menghentikan segala bentuk kriminilaisasi, ancaman dan terror yang dialami petani SPI dalam kegiatan pertaniannya

Demikian pernyataan ini disampaikan.

 

Kontak lebih lanjut:

Agus Ruli Ardiansyah (Ketua Dept. Polhukham DPP SPI) / 087821272339

Sarwadi (Ketua Badan Pelaksan Wilayah-BPW SPI Jambi) / 081366485861

ARTIKEL TERKAIT
Perlu "Political Will" Untuk Implementasikan Kedaulatan Pang...
RUU Ketenagalistrikan Dorong Privatisasi PLN RUU Ketenagalistrikan Dorong Privatisasi PLN
NTP April Naik, Petani Malah Merugi; Pemerintah Harus Lindun...
Kolektifitas dalam mengelola pertanian berkelanjutan
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU