Serikat Petani Indonesia (SPI) menggelar diskusi publik bertajuk “Membaca Upaya Perlindungan terhadap Petani Kecil dan Orang yang Bekerja di Pedesaan melalui Pengimplementasian UNDROP di Indonesia di Masa Pemerintahan Prabowo Subianto” dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Petani Indonesia yang jatuh setiap 20 April. Kegiatan ini berlangsung secara daring melalui Zoom pada Minggu, 20 April 2025.
Diskusi ini bertujuan untuk mengangkat berbagai tantangan yang masih dihadapi petani kecil, nelayan, buruh tani, dan masyarakat pedesaan dalam pemenuhan hak-haknya. Selain itu, forum ini juga mendorong upaya perlindungan konkret melalui pendekatan UNDROP (United Nations Declaration on the Rights of Peasants and Other People Working in Rural Areas), sebuah deklarasi internasional yang disahkan PBB pada 2018.
UNDROP merupakan hasil dari perjuangan panjang gerakan tani internasional, termasuk SPI yang berperan aktif sejak proses penyusunan awal melalui Konferensi Pembaruan Agraria dan Hak Asasi Petani yang digelar SPI di Cibubur pada 20 April 2001. Sejak itu, tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Hak Asasi Petani Indonesia.
Ketua Umum SPI, Henry Saragih, dalam sambutannya menyampaikan kilas balik perjalanan perjuangan petani selama lebih dari dua dekade.
“Perjuangan kita terhadap hak asasi petani sudah berlangsung sangat panjang, bahkan hampir 25 tahun. Dari konferensi tahun 2001, kita terus mendorong pengakuan hak-hak petani, baik di tingkat nasional maupun internasional, hingga lahirnya UNDROP pada 2018,” ungkap Henry.
Ia menambahkan bahwa perjuangan tersebut telah menghasilkan berbagai capaian di level nasional.
“Dari sisi kebijakan, kita telah mendorong lahirnya Undang-Undang Pangan, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU terkait kelautan dan pesisir, serta berbagai regulasi lain yang memperkuat posisi petani dan masyarakat pedesaan,” ujarnya.
Diskusi menghadirkan lima narasumber dari beragam organisasi, yakni SPI, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), FIAN Indonesia, Pusat Kajian Hak Asasi Petani (Puskahap), dan Associated Program for International Law.
Zubaidah dari SPI menyoroti ketimpangan dalam penguasaan tanah yang masih terjadi di lapangan dan merugikan petani dalam praktiknya.
“Banyak perusahaan memiliki ribuan hektare lahan, sementara petani untuk mendapatkan dua hektare saja sangat sulit,” katanya.
Ia juga menyoroti bahwa situasi ini menyebabkan krisis regenerasi petani karena generasi muda enggan melanjutkan profesi sebagai petani.
Senada dengan itu, Sugeng Nugroho dari KNTI menekankan pentingnya membentuk koalisi lintas sektor antara petani, nelayan, buruh tani, dan pekerja pedesaan lainnya.
“Perlu untuk selalu berkomunikasi dan berjuang bersama-sama agar semua persoalan, baik yang dihadapi petani, buruh, maupun nelayan dapat dihadapi bersama. Itulah yang seharusnya kita lakukan,” ujarnya.
Randa Sinaga dari Puskahap mengkritik arah kebijakan pemerintah yang dinilai menjauh dari semangat reforma agraria.
“Di era pemerintah saat ini, istilah ‘reforma agraria’ bahkan mulai hilang dari narasi kebijakan. Ini menunjukkan bahwa negara semakin menjauh dari semangat keadilan agraria,” jelas Randa.
Sementara itu, Marthin Hadiwinata dari FIAN Indonesia menyoroti pentingnya pendekatan agroekologi sebagai bagian dari kedaulatan pangan. Namun, menurutnya, praktik ini terdesak oleh model pertanian komersial skala besar.
“Agroekologi adalah praktik lokal yang diakui UNDROP sebagai inti dari sistem pangan berkelanjutan. Tapi praktik ini terus ditekan oleh sistem komersial dan proyek-proyek monokultur besar seperti food estate,” ungkapnya.
Menyambung pembahasan dari Marthin, Henry Simarmata selaku narasumber dari Associated Program for International Law yakin agroekologi akan cepat menjadi agenda lokal dan internasional.
“Saya yakin agroekologi ini bisa cepat menjadi agenda lokal dan internasional. Untuk nasionalnya sendiri, kita bisa sandingkan dengan banyak hal, termasuk soal pertanian keluarga,” ujarnya.
“Jadi kita bisa sandingkan. Tapi untuk lokal dan internasional, UNDROP sudah mendasarkan agroekologi itu sebagai agenda utama,” tambah Henry Simarmata.
Menutup diskusi, Henry Saragih kembali menegaskan pentingnya perjuangan kolektif lintas level untuk menegakkan hak-hak petani.
“Perjuangan kita dimulai dari desa, lalu naik ke tingkat nasional dan internasional. Semua level penting, karena perubahan sistem pangan dunia tak akan terjadi tanpa kekuatan dari akar rumput,” pungkasnya.