Masih banyak pelanggaran terhadap hak-hak petani yang dilakukan secara sengaja maupun sistemik baik oleh sistem pemerintahan maupun oleh institusi-institusi bisnis di Indonesia. Pelanggaran ini terus berjalan tanpa ada tanggung jawab (state responsibility) dari pemerintah selaku pemegang kewajiban (state obligation). Berbagai pelanggaran yang terjadi seringkali sangat spesifik terkait pertanian terutama mengenai penguasaan tanah dan teritori, benih dan pengetahuan tradisional, informasi dan teknologi pertanian, keanekaragaman hayati, serta harga produk pertanian dan pasar.
Seperti kita ketahui bersama, lebih dari setengah rakyat Indonesia masih tergantung kepada sektor pertanian dalam kehidupan sehari-harinya. Menurut data BPS, jumlah petani mencapai 44 persen dari total angkatan kerja di Indonesia, atau sekitar 46,7 juta jiwa. Lebih dari separuhnya merupakan petani gurem dan buruh tani dengan kepemilikan lahan dibawah 0,5 hektar atau mencapai 38 juta keluarga tani.
Sepanjang tahun 2008 sendiri tercatat 63 kasus konflik agraria terjadi, bahkan sebagian besar merupakan kasus lama yang timbul kembali. Lebih dari 49. 000 hektar lahan rakyat dirampas. Lebih dari 312 petani tercatat dikriminalisasi dengan ditangkap dan dijadikan tersangka, hampir semua petani yang ditangkap mengalami tindak kekerasan. Belum lagi lebih dari 31.267 KK petani yang tergusur dari tanahnya dan mengalami pelanggaran kesulitan hidup. Terdapat 7 orang meninggal. Data ini semua hanyalah data dari anggota SPI dan jaringan serta yang berhasil dikumpulkan, ada lebih banyak konflik dan korban yang masih tertutup informasinya dari publik.
SPI juga menyadari bahwa krisis pangan yang terjadi membebani rakyat miskin di Indonesia. Sebagian besar rakyat miskin di Indonesia adalah penduduk pedesaan yang bekerja di sektor pertanian. Dan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang notabene masih merupakan negara agraris maka penegakan kedaulatan pangan dengan pengelolaan dan pembangunan sektor pertanian dan pangan yang dikelola negara bersama dengan masyarakat memiliki peranan yang lebih besar dalam mengatasi kemiskinan dan kelaparan baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan dibandingkan sektor ekonomi lainnya. Kedaulatan pangan akan tercapai apabila petani sebagai produsen utama pangan memiliki, menguasai dan mengkontrol alat-alat produksi pangan seperti tanah, air, benih dan teknologi serta berbagai kebijakan yang mendukungnya dalam bingkai pelaksanaan pembaruan agraria. Untuk itulah juga dibutuhkan adanya perlindungan atas hak-hak petani dalam berproduksi, mendistribusikan hasil pertaniannya dan juga hak sebagai konsumen untuk dapat menikmati pangan yang cukup dan sehat.
Karena itulah dibutuhkan peraturan yang spesifik dan bersifat mengikat (legally binding) di berbagai level, mulai dari nasional hingga internasional. Di tingkat nasional petani tidak dianggap sebagai kelompok rentan dalam UU HAM No. 39/1999, sementara secara nyata bisa kita lihat betapa banyaknya pelanggaran hak dan diskriminasi terhadap kelompok rentan ini.
Sementara di level internasional Instrumen PBB tidak dapat secara komplit menyeluruh atau bahkan mencegah pelanggaran hak asasi manusia terutama hak-hak dari petani. Kita dapat melihat keterbatasan kovenan/perjanjian ekonomi internasional, hak sosial budaya (ICESCR) sebagai instrumen untuk melindungi hak petani. Selain itu, Piagam Petani yang dibuat oleh FAO pada 1978 tidak dapat melindungi para petani dari kebijakan globalisasi neoliberal. Konvensi internasional yang lain yang berhubungan dengan hak-hak petani juga tidak dapat diimplementasikan dengan baik.
Berkenaan dengan persoalan di atas dan mengambil momentum hari perjuangan petani internasionl yang jatuh pada tanggal 17 April dan hari hak asasi petani nasional yang jatuh pada tanggal 20 April, maka SPI mendesak semua pihak untuk:
============
Narasumber:
Henry Saragih (Ketua Umum SPI) 0816144441
Contact persons:
Cecep Risnandar (08129452478)
Elisha Kartini (081314761305)