KAMPAR. Ancaman perubahan iklim terhadap petani bukan hanya sekedar retorika belaka. Para petani anggota Serikat Petani Indonesia (SPI) di berbagai wilayah di Indonesia saat ini sedang menderita kerugian akibat perubahan iklim ekstrim.
Dari Desa Kota Garo, Tapung Hilir, Kabupaten Kampar, Riau, 10 hektar lahan cabe milik petani anggota SPI terendam banjir. Akibatnya seluruh tanaman cabe yang ditanam di atasnya mengalami gagal panen.
Ketua Badan Pelaksana Wilayah (SPI) Riau Misngadi menerangkan, hujan deras deras yang mengguyur provinsi Riau beberapa hari ini meluapnya suangai di provinsi ini.
“Tak terkecuali dengan sungai Tapung yang debit airnya dari kemarin minggu 30 April 2017 terus naik sehingga melimpah ke anakan sungainya yaitu Sungai tekwana. Akibat luapan Sungai Tekwana tersebut air yang tak tertampung akhirnya mengalir ke lahan pertanian warga,” kata Misngadi dari Riau (03/05).
Misngadi menyampaikan, banjir ini mengakibatkan kerugian sekitar hampir Rp 400 juta.
“Sampai saat ini belum ada perhatian dari pihak pemerintah. Datangnya hujan deras ini tidak kami perhitungkan sebelumnya, karena biasanya bulan-bulan segini itu bulan kering atau minimal hujan sudah berkurang,” paparnya.
Petani Kopi
Sementara itu, perubahan iklim juga menghinggapi para petani kopi SPI di Kepahiang, Bengkulu. Jamingin, salah satu petani kopi di sana menuturkan, perubahan iklim sangat mempengaruhi hasil panen dari musim tanam kali ini.
“Intensitas hujan sangat tinggi, akibatnya bunga kopi banyak yang berguguran. Alhasil, panen kali ini hanya sekitar 20 persen dari jumlah panen kopi biasanya,” keluh Jamingin.
Hal lebih mengkhawatirkan — dibandingkan dengan Jamingin dan petani kopi SPI di Kepahiang — dialami oleh petani SPI di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) Nusa Tenggara Timur (NTT) Martinus Sinani menyampaikan petani kopi di daerahnya sangat terkena dampak akibat perubahan iklim yang ekstrim.
“Musim tanam ini petani kopi SPI di Manggarai, Flores, NTT gagal panen karena hujan angin yang tidak bisa diprediksi sebelumnya. Setidaknya ada 1.500 hektar lahan petani anggota SPI yang gagal panen. Akibatnya bunga kopi berguguran dan buah kopi juga menjadi tidak sehat,” kata Martinus.
Martinus menegaskan, seharusnya ketika gagal panen, setidaknya pemerintah memberikan dukungan ataupun kontribusi apa pun.
“Kami kecewa dengan pemerintahan kabupaten maupun pemerintahan provinsi yang sama sekali tidak mempedulikan petani yang gagal panen,” tutupnya.