Oleh: Tri Hariyono *)
Penjelasan umum angka 1 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 menyatakan, bahwa salah satu tujuan pembentukan UUPA adalah untuk “meletakkan dasar-dasar bagi peletakan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan Rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat adil dan makmur”. Dengan kata lain, kehadiran UUPA adalah dimaksudkan sebagai instrumen hukum untuk mewujudkan kesejahteraan petani.
Sehubungan dengan tujuan pembentukan UUPA dimaksud, maka tanggal 24 September 1960, yang merupakan tanggal lahirnya UUPA, dengan keputusan Presiden No. 169/1963 tanggal 26 Agustus 1963 ditetapkan sebagai Hari Tani. Menurut keputusan Presiden tersebut, Hari Tani tanggal 24 September “perlu tiap-tiap tahun diperingati secara khidmat dan dirayakan dengan disertai kegiatan-kegiatan serta penyusunan rencana kerja ke arah mempertinggi produksi untuk meningkatkan taraf hidup rakyat tani, menuju mayarakat adil dan makmur”.
“Manusia-manusia tani” atau “petani”, menurut pasal 1 UU No. 2/1960 tentang “Bagi Hasil Tanah Pertanian”, adalah mereka yang mata pencaharian pokoknya mengusahakan tanah untuk pertanian. Mereka dapat mengusahakan tanah kepunyaan sendiri (pemilik-penggarap), mengusahakan tanah orang lain (penggarap) dan dapat pula mengusahakan tanah orang lain sebagai buruh tani.
Mereka yang bekerja di sektor pertanian sebagai pemilik-penggarap, penggarap dan buruh tani itulah yang pada hakekatnya merupakan sasaran pembangunan dalam bidang pertanian dan sekaligus merupakan pelaku-pelaku aktif dalam kegiatan pembangunan sektor pertanian. Sedangkan mereka yang mempunyai tanah, tetapi tidak turut aktif dalam pengusahaannya, bukanlah petani melainkan tuan tanah, meskipun mereka memperoleh penghasilan dari tanah pertanian itu.
Permasalahannya adalah, mengapa setelah lebih dari setengah abad sejak kelahirannya cita-cita mulia yang menjadi tujuan UUPA belum juga kunjung terwujud? Mengapa sebagai produsen pangan petani banyak yang justru hidup miskin serta rentan terhadap krisis pangan dan gizi buruk? Apa yang salah dalam kebijakan pembangunan pertanian selama ini? Apa langkah strategis yang perlu dilakukan untuk memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan petani?
Ironi Petani
Kenyataan bahwa petani memiliki kebutuhan strategis dalam pemenuhan kebutuhan pangan, sudah diakui oleh semua orang. Tetapi bahwa rakyat tani merupakan salah satu di antara kantong-kantong kemiskinan adalah kenyataan yang sudah pula banyak diketahui. Inilah ironi petani. Sebagai penghasil dan penyedia kebutuhan dan kecukupan pangan seluruh negeri, petani justru banyak yang hidup dalam kemiskinan atau bahkan di bawah garis kemiskinan.
Ironi petani seperti dimaksud di atas tentu saja bukanlah khas Indonesia. Ironi petani adalah fenomena yang umum diberbagai negara Dunia Ketiga. Sebagai contoh dapat dilihat kenyataan di Thailand dan Vietnam. Kedua negara ini merupakan negara pengekspor beras, tetapi petaninya tetap hidup miskin.
Menurut sebagian pengamat, sejak Indonesia menerapkan revolusi hijau, para petani sebagai produsen bahan pangan secara berlahan tercerabut atau dipaksa tercerabut dari kebudayaan tani yang diwarisi secara turun-temurun untuk kemudian digantikan secara sepihak dengan strategi kebudayaan saudagar bangsa lain yang lebih unggul modal dan teknologinya. Dalam perkembangannya, dibawah sistem neoliberalisme dan pasar bebas, petani bukan saja tercerabut dari kebudayaan tani warisan nenek moyang tetapi dirampas dan dinafikan kedaulatannya.
Dalam sistem neoliberalisme dan pasar bebas, mekanisme pasar dikuasai saudagar-saudagar obat-obatan pertanian dan benih yang dipatenkan. Para saudagar yang bernaung di bawah perusahaan multinasional itulah yang kemudian menguasai pangan dari proses produksi, alat produksi, asupan, konsumsi, dan distribusinya. Sementara para petani hanya ditampakkan sebagai kuli dalam produksi pangan.
Karena menguasai pangan dari hulu hingga hilir, maka perusahan-perusahaan multinasional sekaligus sebagai pemegang otoritas dalam menentukan harga. Dalam penentuan harga pertimbangannya tentu saja bahwa mereka menangguk keuntungan yang sebesar-besarnya. Sementara dipihak lain, petani yang dirampas dan dinafikan kedaulatannya tidak turut menikmati keuntungan dari perdagangan bahan pangan yang mereka produksi. Ironinya, ketika harga pangan jatuh, petani turut merasakan dampak krisisnya.
Dengan demikian, persoalan mengapa kenaikan harga pangan tidak atau kurang berdampak pada peningkatan kesejahteraan petani adalah karena petani tidak lagi menjadi tuan atas hasil pertanian mereka sendiri. Dalam konteks penempatan petani hanya sebagai kuli dalam produksi pangan itulah, menurut Henry Saragih (Ketua Umum Serikat Petani Indonesia-SPI) bahwa selama ini petani dan sektor pertanian telah menjadi korban utama dari kebijakan elit Repubik Indonesia yang berkolaborasi dengan rezim neoliberalisme. Sampai sekarang, petani dan pertanian masih senantiasa diposisikan sebagai penghasil pangan dan bahan baku murah, pengaman inflasi ketika kabinet ketakutan dengan inflasi dua digit, pendukung kelayakan industrialisasi, bemper ketenagakerjaan ketika tidak mampu membuka lapangan kerja baru, dan target fiskal yang tidak masuk akal.
Perlu Reforma Agraria
Bila kita ingin mewujudkan kedaulatan pangan nasional, maka salah satu prasyarat pokok yang terlebih dahulu harus diwujudkan adalah kedaulatan dan kesejahteraan petani. Kedaulatan pangan nasional yang tidak dilandasi oleh kedaulatan dan kesejahteraan petani hanya akan menjadi kedaulatan yang rapuh, yang mudah tumbang bila diterpa badai krisis. Kondisi seperti ini yang terjadi dalam sistem ketahanan pangan nasional kita selama ini, yang begitu rapuh ketika terjadi krisis, karena penegakannya tidak bertumpu pada kedaulatan dan kesejahteraan petani.
Untuk mewujudkan kedaulatan dan kesejahteraan petani dalam melaksanakan usaha tani, salah satu kebijakan yang mutlak perlu diambil oleh pemerintah ialah melakukan reforma agraria. Reforma agraria menurut Gunawan Wiradi (2005), adalah penataan kembali (atau penataan ulang) susunan kepemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber agraria (terutama tanah), untuk kepentingan rakyat kecil (petani, buruh tani, dan lain-lainnya), secara menyeluruh dan konprehensif (lengkap).
Lebih jauh Gunawan Wiradi menjelaskan, yang dimaksud dengan “menyeluruh dan konprehensif” adalah: (1) sasarannya bukan hanya tanah pertanian, tetapi juga tanah-tanah kehutanan, perkebunan, pertambangan, pengairan, kelautan dan lain-lain. Pendek kata, semua sumber agraria, termasuk hak air, proteksi dari perubahan iklim, dan keanekaragaman hayati. (2) Program reforma tanah (dan sumber agrarian lainnya) harus disertai dengan program-program penunjangnya, seperti penyuluhan dan pendidikan tentang teknologi produksi, program perkreditan, pemasaran dan sebagainya.
Tujuan pelaksanaan reforma agraria adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan rakyat, khususnya para petani kecil secara adil dan merata, sehingga terbuka kesempatan untuk mengembangkan diri mencapai kemakmuran, sebagai bagian dari pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila.
Sehubungan dengan program reforma agraria dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, SPI bersama dengan gerakan tani lainnya mendesak kepada pemerintah supaya:
Akhirnya selamat Hari Tani Nasional ke-51, kita percaya bahwa jika program reforma agraria dapat terlaksana dengan baik dan tepat sasaran, kondisi kehidupan dan kesejahteraan masyarakat tani akan dapat membaik. Tetapi reforma agraria memang memerlukan kemauan politik, bukan sekedar janji-janji politik. Kita berharap pemerintah memberikan perhatian yang serius dan memehuhi janjinya untuk melaksanakan reforma agraria.
Hidup Petani…!!!!
*) Penulis adalah Ketua Biro Konsolidasi Organisasi Badan Pelaksana Wilayah (BPW) SPI Yogyakarta.