Pemerintah dan DPR telah menyepakati akan mengesahkan Rancangan Undang Undang Ketenagalistrikan (RUUK) pengganti UU No 15 Tahun 1985. UU baru ini merupakan revisi atas UU Ketenagalistrikan No 20 Tahun 2002 yang telah dibatalkan karena bertentangan dengan konstitusi, khususnya pasal 33 UUD 1945. Kami menyayangkan jika kesepakatan ini berlanjut dengan pengesahan RUUK dalam rapat paripurna DPR, maka DPR dan Pemerintah telah melakukan praktek pelanggaran konstitusi yang amat serius di akhir masa kekuasaannya.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan pada tanggal 21 Desember 2004, sembilan hakim konstitusi dengan jelas menyatakan bahwa UU No. 20 Tahun 2002 secara keseluruhan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum karena paradigma yang mendasarinya bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945 ayat (1), (2), (3), (4) serta penjelasan pasal 33 sebelum diamandemen. Dasar hukum inilah yang membuat segala hal terkait kebijakan perundang-undangan atau kebijakan di bawahnya, jika menyangkut usaha untuk melanjutkan semangat untuk meliberalisasi, memprivatisasi atau mengkomersialisasi sektor ketenagalistrikan harus dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.
Dalam RUU ketenagalistrikan baru yang diajukan pemerintah sejak tahun 2006 ini, sangat jelas bahwa pemerintah masih mempertahankan semangat yang terkandung dalam UU Ketenagalistrikan No 20 tahun 2002. Dalam konsideran menimbang draft Rancangan RUUK, menyebutkan, bahwa perubahan UUK didasari adanya ketidaksesuaian Undang-Undang No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan dengan tuntutan perkembangan keadaan dan perubahan kehidupan masyarakat. Jika menggunakan logika berpikir yang selama ini dianut pemerintah, sangat mudah memahami bahwa yang dimaksud adalah tuntutan untuk melaksanakan agenda-agenda liberalisasi ekonomi sesuai dengan arahan lembaga-lembaga keuangan internasional pemberi utang (IMF, World Bank, ADB), perjanjian-perjanjian perdagangan bebas dengan WTO, dan perjanjian perdagangan bebas kawasan (Free Trade Agreement). Dalam hal ini, sektor ketenagalistrikan merupakan salah satu sektor strategis yang masih di bawah kendali negara berdasarkan UU.
Liberalisasi sektor ketenagalistrikan di Indonesia berpotensi merugikan masyarakat dan bangsa Indonesia. Kebijakan pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik dengan sistem “unbundling vertikal” yang tercantum dalam Pasal 10, 11, 12, dan 13 RUUK yang meliputi Usaha Pembangkitan, Transmisi, Distribusi, dan Penjualan merupakan upaya privatisasi pengusahaan tenaga listrik dan telah menjadikan tenaga listrik sebagai komoditas pasar, yang berarti tidak lagi memberikan proteksi kepada mayoritas rakyat yang belum mampu menikmati listrik.
Demikian halnya juga dengan agenda “Unbundling Horizontal” yang tercantum dalam pasal 3 ayat (1), (2), dan (3) diberlakukan dengan pemberian kewenangan pengelolaan kelistrikan kepada Pemerintah Daerah (PEMDA), maka dipastikan bahwa PEMDA akan mendapatkan kesulitan dalam pengelolaan kelistrikan tersebut. Terkecuali bagi sebagian kecil Pemerintah Daerah yang mampu.
Cukup banyak produk perundang-undangan yang mendorong kebijakan liberalisasi di bidang ekonomi dan sumber daya alam telah disahkan. Berbagai produk kebijakan itu pada intinya adalah menciptakan landasan hukum bagi masuknya investasi asing mengeruk keuntungan di berbagai sektor ekonomi. Akibatnya, hak rakyat untuk mendapatkan pelayanan publik yang baik dan turut menikmati hasil produksi nasional oleh lembaga-lembaga yang dikendalikan oleh negara (rakyat) tidak lagi menjadi prioritas. Logika pelayanan publik berganti dengan logika mencari untung dengan mengkomersialisasi cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Karena itu kami mendesak kepada seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk menolak pengesahan Rancangan Undang Undang Ketenagalistrikan. Penolakan tersebut semata-mata mencegah terlibatnya lembaga tinggi negara dalam praktek pelanggaran konstitusi yang serius dengan mengesahkan UU tersebut.
Kepada rakyat Indonesia, kami menyerukan agar melibatkan diri secara aktif, untuk menolak rencana pengesahan Rancangan Undang Undang Ketenagalistrikan yang akan mendorong praktek komersialisasi listrik yang merugikan rakyat.