Di tengah upaya dan negosiasi mengatasi perubahan iklim saat ini sesungguhnya tengah berkembang proses perampasan tanah berikut sumberdaya yang ada diatas dan didalamnya secara terselubung. Mekanisme perampasan akses dan kontrol rakyat atas sumberdaya hutan dengan dalih perlindungan bumi dari penyelamatan iklim. Skema perampasan tanah ini diatur dalam mekanisme perdagangan karbon dan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi lahan (REDD).
Skema tersebut juga menjauhkan tanggung jawab negara maju untuk mengurangi secara drastis emisi karbon mereka, perdagangan karbon adalah metode baru mengeruk keuntungan bagi investor swasta dan broker karbon. Bahkan investor sekelas Meryl Linch turut berinvestasi senilai USD 100 juta untuk implementasi REDD pada kawasan seluas 100.000 hektar di Aceh Dengan dalih mengatasi perubahan iklim. skema REDD adalah solusi palsu demi keberlangsungan industri negara maju, keuntungan bagi investor dan para broker karbon.
Walaupun negosiasi perubahan iklim belum usai, dan skema yang mengaturnya belum diputuskan namun sejumlah proyek atas nama proyek percobaan (pilot project) sudah dijalankan di Indonesia dengan dikeluarkannya Permenhut No. 68 tahun 2008 tentang penyelenggaraan demonstration activity pengurangan emisi karbon dan dari deforestasi dan degradasi hutan. Saat ini direncanakan terdapat 26,6 juta hektar lahan di Indonesia yang diperdagangkan dalam mekanisme perdagangan karbon ini. Dengan nilai uang yang beredar sekitar 6,3 milyar US$ (sekitar Rp 63 triliun). Skema ini menjual murah 26,6 juta hektar hutan alam Indonesia mulai dari tegakan pohon, hewan, tumbuhan, tanah, sumber mata air, dan ruang interaksi sosial, dan entitas masyarakat hukum adat di wilayah tersebut, hanya seharga Rp. 12,- per meter perseginya.
Untuk mengakomodir proyek-proyek tersebut pemerintah Indonesia melalui Departemen Kehutanan sudah mengeluarkan kebijakan yang akan menjamin pelaksanaan proyek-proyek tersebut. Pemerintah Indonesia merupakan negara pertama di dunia yang mengeluarkan kebijakan nasional yang mengatur mengenai perdagangan karbon dan REDD. Melalui UU No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Permenhut No. 30 tahun 2009 tentang REDD dan Permenhut No. 36/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan. Meskipun menyebutkan tentang peran hukum adat didalamnya, namun didak diatur dalam peraturan tersebut tentang hak-hak masyarakat adat dan kompensasi dari tergusurnya mereka dari lahan pencaharian mereka.
Di Ulu Masen, Nangro Aceh Darusalam sekitar 750.000 hektar tanah rakyat sudah tidak boleh ditinggali dan digarap lagi. Di Muara Jambi, para petani harus berjuang melindungi tanah pertanian mereka seluas 101.000 hektar tanah yang di klaim menjadi kawasan konservasi dalam skema perdagangan karbon. Sementara di sisi lain proses industri besar-besaran dan pengerukan sumber daya alam terus berkembang dan dilegitimasi oleh pemerintah RI.
Kami memandang bahwa dorongan kuat pemerintah Indonesia untuk implementasi REDD dengan dikeluarkannya berbagai peraturan menteri kehutanan, adalah salah arah. Upaya tersebut hanya akan semakin memperburuk dampak perubahan iklim pada petani dan masyarakat adat dengan tergusurnya mereka dari ruang hidup.. Oleh karena itu kami mendesak agar meteri kehutanan baru Kabinet Indonesia Bersatu II untuk segera mencabut semua peraturan yang melegalkan implementasi REDD di Indonesia dan segera melakukan revisi UU No. 41 tentang Kehutanan yang berfokus pada redefinisi Hutan yang membedakan secara tegas antara hutan dan kebun kayu dan atau perkebunan monokulture. Serta memberikan pengakuan secara tegas atas hak dan ruang kelola masyarakat adat/ lokal atas hutan.