JAKARTA. Serikat Petani Indonesia (SPI) yang tergabung dalam Panitia Bersama Peringatan Perjuangan Petani Internasional dan Hari Hak Asasi Petani Indonesia memperingati Hari Perjuangan Petani Internasional dan Hari Hak Asasi Petani Indonesia di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta pagi tadi (17/03). Hari Perjuangan Petani Internasional diperingati setiap tanggal 17 April dan Hari Hak Asasi Petani Indonesia diperingati setiap tanggal 20 April setiap tahunnya.
Agus Ruli Ardiansyah, Ketua Departemen Politik, Hukum, dan Keamanan SPI menuturkan bahwa saat ini, jutaan petani di berbagai belahan dunia telah dipaksa untuk meninggalkan lahan pertanian mereka karena pengambilan lahan yang difasilitasi oleh kebijakan nasional dan juga internasional.
Lahan diambil dari petani untuk pembangunan industri skala besar atau proyek-proyek infrastruktur, industri ekstraksi seperti pertambangan, kawasan wisata, kawasan ekonomi khusus, kawasan konservasi dan perkebunan Hasilnya, jumlah lahan hanya terkonsentrasi pada beberapa pihak. Karena kehilangan lahan, masyarakat petani juga kehilangan kedaulatan dan identitas kebudayaannya.
Hal ini diperparah dengan sistem tanam monokultur untuk menghasilkan bahan bakar nabati dan untuk kegunaan industri lainnya didorong demi keuntungan modal agribisnis dan transnasional, hal ini menyebabkan kerusakan hutan, air, lingkungan, dan kehidupan sosial ekonomi petani.
“Kondisi ini juga diperparah dengan lahirnya Rancangan Undang-Undang Pengadaan Tanah, maka perampasan dan penggusuran atas tanah-tanah dan sumber daya alam yang selama ini telah menjadi kejadian sehari-hari akan semakin banyak terjadi. Seperti yang terjadi tindakan kekerasan yang dialami petani Urutsewu kemarin semakin menambah deretan kasus-kasus konflik agraria dengan kekerasan bersenjata yang melibatkan militer,” ungkap Agus Ruli.
Dalam catatan SPI, empat tahun terakhir sedikitnya 23 petani tewas. Insiden tersebut menyeret 668 petani dikriminalkan dan 81,696 kepala keluarga tergusur.
“Oleh karena itu, Kami SPI mengutuk keras kekerasan terhadap petani di Kebumen. Harus diusut hingga tuntas kejahatan yang menimpa petani itu. Karena kasus penembakan petani bukan pertama kali ini terjadi,” tandas Agus Ruli.
Agus Ruli juga menambahkan bahwa dalam situasi ketiadaan perlidungan dan pemenuhan Hak Asasi Petani serta tidak dilaksanaknnya pembaruan agraria dan sempitnya lahan petani, konflik agraria antara petani melawan pengusaha dan negara berlangsung secara massif dan menjadi konflik sosial berlarut.
Dalam konflik ini, petani terus dihadapkan dengan penangkapan, penembakan serta berbagai tindak kekerasan dan kriminalisasi terus dihadapi petani dalam memperjuangkan pembaruan agraria.
“Oleh karena itu, pada peringatan Peringatan Hari Perjuangan Tani Internasional dan Hari Hak Asasi petani Indonesia kami menuntut kepada pemerintah untuk segera redistribusikan 9,6 juta ha tanah kepada rakyat tani melalui Pembaruan Agraria Nasional dan hentikan kekerasan kriminalisasi terhadap petani dan segera buat Undang-Undang Hak Asasi Petani (UU HAP),” tegas Agus Ruli.
Panita Bersama Peringatan Perjuangan Petani Internasional (17 April) dan Hari Hak Asasi Petani Indonesia (20 April): Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi Petani Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice, Front Perjuangan Pemuda Indonesia,Serikat Buruh Indonesia, Bina Desa, SALUD, PPRI, Serikat Mahasiswa Indonesia, Serikat Nelayan Indonesia, Lingkar Studi Aksi Demokrasi Indonesia, Jatam, Serikat Pemuda Desa Untuk Demokrasi.