Proteksi Pasar Pangan dan Pertanian

(* Oleh: Muhammad Ikhwan

Para menteri dari 153 anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) berkumpul pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-8 pada 15-17 Desember 2011 di Jenewa, Swiss. Konferensi tersebut diadakan di tengah sekaratnya Putaran Doha.

Di tengah krisis yang melanda dunia sejak 2007, WTO tetap mengadvokasikan kebijakan perdagangan bebas: membuka pasar domestik untuk impor dan mendorong ekspor. Semua ini dilakukan demi perputaran barang dan jasa tanpa batas, yang diklaim dapat mengentaskan kemiskinan.

Batu sandungan yang besar pada konklusi Agenda Pembangunan Putaran Doha jelas sektor pertanian, terutama pada isu subsidi (khususnya di Amerika Serikat dan Uni Eropa yang sangat besar), akses pasar dari negara berkembang untuk negara-negara maju, dan proteksi pasar yang cenderung meningkat.

Munculnya kekuatan baru (Brasil, Rusia, India, China) dalam negosiasi juga membuat perundingan semakin alot pada beberapa tahun belakangan.

Isu yang cukup hangat adalah proteksi. Kita bisa melihat kasus Indonesia, yang pemerintahnya telah berusaha keras meliberalisasi (dan mengintegrasikan) perekonomian ke kancah global sejak pertengahan era 1980-an. Usaha itu memuncak pada medio 1990-an saat Indonesia menyatakan butuh diversifikasi pendapatan negara selain dari minyak dan gas. Pintu investasi pun dibuka, dan deregulasi dijalankan.

Selanjutnya, sejarah mencatat privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi besar-besaran via Letter of Intent (LoI) pemerintah Indonesia dengan Dana Moneter Internasional (IMF) pada 1998. Beberapa perubahan kebijakan perdagangan dinilai sangat liberal, bahkan jauh melebihi komitmen yang disetujui pada era itu (Putaran Uruguay, 1994).

Sebelum perubahan ini, Indonesia cukup ketat dalam proteksi pasar dalam negerinya. Kita mempraktikkan pembatasan impor. Sekitar 1990 ada sekitar 1.000 lini tarif yang dibatasi.

Pada 1996, angka ini tinggal 200 saja. Setelah menjadi anggota WTO dan ditandatanganinya LoI IMF, angkanya tinggal puluhan. Sektor pertanian dan pangan adalah yang terutama terkena pengaruh langsung.

Liberalisasi Pertanian

Lebih lanjut lagi, angka rerata tarif impor produk pertanian dan pangan ditargetkan tinggal 13,2 persen pada 2003. Setelah LoI IMF, angkanya mendekati sekitar 5 persen saja, jauh melewati komitmen.

Walaupun sebenarnya untuk tarif produk pertanian dan pangan, kita bisa saja mengaplikasikan tarif mulai 40-160 persen! Dari fakta ini, jelaslah kita negara yang sangat import-friendly.

Angka tarif di atas tentunya tidak berlaku bagi beberapa perjanjian perdagangan bebas (FTA) yang berlaku, misalnya ASEAN-China, yang bahkan memandatkan pemangkasan hingga 0 persen untuk komoditas-komoditas tertentu.

Secara umum, neraca perdagangan untuk pertanian dan pangan kita turun naik. Indonesia pernah meraih surplus pada era akhir 1980-an (masing-masing US$ 1.503 juta dan US$ 654 juta).

Setelah meliberalisasi pasar dan harga domestik, pada akhir 1990-an angka tersebut telah berubah drastis menjadi surplus US$ 900 juta di sektor pertanian, dan defisit US$ 863 juta pada sektor pangan. Pada akhir 2000-an, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) kita mencatat surplus US$ 1.300 juta di sektor pertanian.

Krisis pangan juga telah membuat krisis kepercayaan terhadap sistem WTO dan kredo perdagangan bebas. Sejak akhir 1990-an, tidak ada usaha konkret untuk pembangunan bagi negara-negara berkembang melalui perdagangan, terutama di sektor pertanian dan pangan.

Pada puncak krisis pangan 2007-2008, tidak ada koordinasi global perdagangan yang dilakukan WTO. Usaha terbesar secara global saat itu malah diambil alih Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Studi Carnegie Endowment for International Peace (2006) menunjukkan keuntungan yang didapat dari model perdagangan bebas saat ini, yang memproyeksikan keuntungan US$ 59 miliar. Namun hal yang menyedihkan adalah di bidang pertanian: US$ 5,5 milyar keuntungan akan diperoleh negara maju, sementara negara berkembang akan merugi sekitar US$ 63 juta.

Olivier de Schutter, Pelapor Khusus untuk Hak atas Pangan PBB, dalam laporan Putting Food Security First in the International Trade System (November 2011), menyatakan, “Dunia berada di tengah krisis pangan yang memerlukan respons kebijakan yang cepat. Namun WTO telah gagal dalam beradaptasi untuk fenomena ini, dan negara berkembang sangat khawatir bahwa mereka mereka tak akan dapat berbuat banyak jika terikat pada aturan perdagangan.”

Yang dimaksud Olivier adalah negara seharusnya bisa mewujudkan kedaulatan pangan bagi rakyatnya. Namun kemampuan suatu negara untuk membatasi impor, memberlakukan tarif masuk yang lebih tinggi, memberikan insentif bagi produksi pangan dari petani kecil, asuransi panen, serta subsidi pertanian terarah menjadi sangat terbatas, karena dikekang rezim perdagangan WTO.

Sementara itu, banjir impor telah membuat sektor pertanian nasional kita menjadi tidak atraktif. Di awal tahun ini, pemerintah kehilangan potensi pendapatan negara Rp 1,1 triliun (US$ 122 juta) akibat pembebasan bea masuk sejumlah komoditas, yang sebagian besar berasal dari pembebasan tarif masuk gandum.

Harus Lindungi

Usulan proteksi telah muncul dari segala penjuru. Indonesia bersama grup G-33 mengusulkan Produk Khusus dan Mekanisme Pengamanan Khusus (SP/SSM).

Negara anggota G-20 mengusulkan regulasi yang lebih ketat dalam pasar dan spekulasi pangan. Gita Wirjawan, Menteri Perdagangan Indonesia, secara moderat menyatakan proteksi akan dilakukan via standardisasi dan pengetatan karantina.

Indonesia tak harus malu-malu dalam melindungi pasar pangan dan pertanian, terutama jika ingin menohok ke akar masalah krisis pangan dan kemiskinan.

Dengan membuat sektor pangan dan pertanian atraktif, kemiskinan dan pengangguran yang pada pokoknya ada di daerah pedesaan diharapkan bisa teratasi (Satuan Tugas untuk Kelaparan Proyek Pembangunan Milenium PBB telah menunjukkan 80 persen dari kelaparan dan kemiskinan dunia berada di daerah perdesaan).

Dua belas tahun lalu di Seattle, puluhan ribu demonstran dan delegasi negara berkembang bersorak gembira saat negosiasi WTO mandek. Saat ini, Putaran Doha perlahan mati tanpa lagi butuh demonstrasi massal. Pemerintah Indonesia harus mengambil momentum ini untuk segera mengimplementasikan kebijakan-kebijakan perlindungan untuk tegaknya kedaulatan pangan rakyat.

*Penulis adalah Ketua Departemen Luar Negeri, Serikat Petani Indonesia (SPI), tulisan ini diterbitkan di harian sore Sinar Harapan, edisi 2o Desember 2011

ARTIKEL TERKAIT
10 September, Hari Aksi Internasional Melawan WTO dan FTA
SPI bangun demplot pertanian berkelanjutan di Kudus SPI bangun demplot pertanian berkelanjutan di Kudus
HUT SPI: Puncak perayaan HUT SPI ke-10 di Maumere HUT SPI: Puncak perayaan HUT SPI ke-10 di Maumere
Catatan Akhir Tahun 2017 & Resolusi Pertanian Banten Tahun 2...
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU