Pasca dua minggu gempa menimpa bumi Sumatera Barat, masyarakat Minang mulai melaksanakan aktivitasnya sehari-hari. Namun, masih banyak masalah yang belum terselesaikan, khususnya bagi para masyarakat tani di Ranah Minang ini. Serikat Petani Indonesia (SPI) sebagai organisasi massa petani menganggap perlu adanya tindakan nyata yang dilakukan pemerintah.
Menurut catatan SPI, banyak lahan pertanian, dan irigasi yang rusak akibat gempa, antara lain, bendungan Balai Gadang yang mengairi areal persawahan di Kecamatan Koto Tangah, Kodya Padang, mengakibatkan setengah areal persawahan di daerah tersebut, tidak bisa terairi, dan irigasi induk di Nagari Kiambang yang mengairi persawahan sekitar Kecamatan Enam Lingkuang dan Kecamatan 2×11 Enam Lingkung hingga sampai ke Kecamatan Pauh Kamba di Kabupaten Padang Pariaman dan sekitarnya.
Kemudian, ditambah lagi 41 irigasi rusak berat dan 22 irigasi rusak sedang yang menyebar di Sumatera Barat ini. Hal ini mengakibatkan, hampir 3000 Hektar persawahan terancam kekeringan. Jika ini dibiarkan, maka Sumatera Barat akan mengalami krisis pangan. Selain itu, setidaknya, 69 hektar areal pesawahan petani di Kampung Parak Buruak, Kelurahan Batipuah Panjang, Kecamatan Koto Tangah yang baru berumur 45-60 hari terancam gagal panen.
SPI menganggap, politik pembangunan pasca gempa melupakan sektor nyata di bidang pertanian yang memberi andil besar jalannya roda perekonomian. Pemerintah harus lebih memikirkan kaum tani yang menjadi tulang punggung dalam memasok pangan khususnya beras di daerah. Dengan lahan pertanian yang rusak, maka produksi padi akan turun, sehingga beras lokal menjadi langka yang berujung pada impor, yang menghilangkan kedaulatan petani atas pangan produksi. Hal ini jelas bertentangan dengan konsep SPI mengenai kedaulatan atas pangan.
Selanjutnya, dari sisi sosial budaya, SPI menilai pembangunan pasca gempa oleh pemerintah tidak mendorong masyarakat, khususnya para petani untuk menggiatkan, budaya gotong royong yang menjadi ciri khas budaya Minangkabau. Pemerintah seharusnya, menggiatkan untuk sama-sama bergotong royong membangun rumah, serta infrastruktur yang rusak, dan tidak membangun secara individu, seperti yang terjadi saat ini. Dengan gotong royong, rasa kebersamaan akan kembali muncul, sehingga dapat menjadi kekuatan lokal bagi masyarakat Sumatera Barat.
Dari sisi ekonomi, SPI menganggap harga produksi pertanian yang tinggi saat ini, hanya memberikan keuntungan bagi para pengumpul, agen-agen besar, dan membawa kesengsaraan rakyat yang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Seharusnya, setelah pasca gempa harga yang tinggi ini dinikmati oleh petani, hal tersebut sulit terjadi, karena petani kecil tidak memiliki posisi tawar yang kuat dalam menentukan harga.
Oleh karena itu, Serikat Petani Indonesia (SPI) mendesak pemerintah melalui instansi yang terkait, seperti Dinas Pertanian untuk memberikan bantuan kepada petani korban gempa, berupa bibit, pupuk organik, serta perbaikan infrastruktur pertanian, seperti saluran irigasi untuk rentang satu masa produksi.
Selain itu, pemerintah dapat memberikan jaminan modal kerja bagi petani. Penjaminan atas pasar, dan harga hasil produksi pertanian, merupakan hal yang harus dilakukan oleh pemerintah pasca gempa. Dengan kata lain, SPI mendesak pemerintah untuk menjamin kehidupan petani pada masa proses produksi hasil pertanian.