MEDAN. Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Utara (Sumut) bekerjasama dengan Yayasan Sintesa melaksanakan pendidikan dan pelatihan petani perempuan di Medan (20-21 Maret 2013). Acara yang bertemakan “Perjuangan Petani dari Desa Guna Menghapuskan Kekerasan terhadap Perempuan dan Mencapai Kesetaraan Jender” ini diikuti oleh dua puluhan petani perempuan yang berasal dari berbagai daerah di Sumatera Utara.
Menurut Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) SPI Sumut Zubaedah, acara ini dilakukan untuk memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret setiap tahunnya.
“Semoga dengan dilaksanakannya acara ini kita dapat lebih memahami serta menjalankan hak-hak serta kewajiban sebagai seorang perempuan terutama kita yang tergabung dalam organisasi tani SPI sebagai petani perempuan, bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan adalah hal yang harus kita lawan dan kita harus memperjuangkan hak kita itu,” ungkap Zubaedah.
Acara pendidikan dan pelatihan yang diawali dengan diskusi ini menghadirkan beberapa narasumber seperti Harmona Daulay selaku perwakilan akademisi dari Universitas Sumatera Utara (USU), serta aktivis petani perempuan La Via Campesina, Irmayani.
Harmona menjelaskan bahwa rasa takut perempuan untuk merespon kekerasan adalah datang dari rasa takut adanya kerusakan dalam hubungan rumah tangga, sehingga kaum perempuan menganggap kekerasan yang dilakukan merupakan hal biasa yang permisif atau lumrah sebagai bumbu rumah tangga.
“75 persen pria melakukan Kekerasan terhadap perempuan dengan mengimitasi kekerasan yang juga dilakukan ayah kepada ibu mereka Harmona. Oleh karena itu cara menanggapi atau merespons kekerasan ini dapat dilakukan dengan berbagai, meliputi upaya penyelamatan diri serta pengumpulan bukti-bukti kekerasan yang dialami serta bagaimana upaya untuk melewati jalur hukum untuk menyelesaikan tindakan kekerasan terhadap perempuan,” ungkap sosiolog ini.
Sementara itu, Irmayani selaku aktivis petani perempuan La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) memaparkan sepak terjang La Via Campesina dalam bidang upaya penghentian kekerasan terhadap perempuan. Kampanye petani perempuan La Via Campesina dilatarbelakangi oleh kekerasan–kekerasan yang dilakukan oleh Trans National Corporate (TNC) dalam kasus okupasi lahan dan perluasan lahan monokultur seperti tanaman sawit. Tindakan-tindakan perlawanan yang yang dilakukan biasanya diikuti oleh teror-teror kepada petani perempuan khususnya, yang pada akhirnya berimbas kepada hilangnya produktivitas perempuan dalam melakukan kerja-kerja pertaniannya.
“Isu kekerasan kepada perempuan bukanlah merupakan isu individual melainkan isu global, artinya penyelesaian kasus-kasus kekerasan akan lebih dapat dilakukan secara kolektif. Oleh karena itu, kita petani perempuan hendaknya bekerja sama dengan kelompok perempuan lain seperti Woman Crisis Centre sebagai organisasi yang berkecimpung dalam hal perlawanan pada kekerasan terhadap perempuan mendorong serta mendampingi perempuan baik dalam memediasi kasus domestik maupun melalui jalur hukum dengan memberikan jasa pengacara. Hal ini sebagai bentuk perlawanan terhadap kekerasan kepada perempuan,” jelas Irmayani.
Irmayani menambahkan, dalam mengkampanyekan upaya penghentian kekerasan terhadap perempuan harus pula dilibatkan laki-laki agar mengkomperhensifkan sudut pandang dalam melihat fenomena serta menjelaskan sebauh isu sebagai isu bersama, yang harus diselesaikan secara bersama-sama pula.
Pionika, seorang peserta acara ini menyampaikan diskusi yang ditampilkan cukup memberikan pengetahuan baru mengenai cara-cara merespons dan mencegah kekerasan terhadap.
“Diskusi ini sangat berguna, semoga ke depannya acara seperti ini dapat rutin dilaksanakan,” tuturnya.