JAKARTA. Langkah salah kaprah Pemerintah Indonesia yang menandatangani berbagai perjanjian perdagangan bebas, baik dalam kerangka ASEAN maupun secara bilateral telah menuai hasil yang sangat merugikan pada sektor pertanian Indonesia. Salah satunya yang saat ini terjadi adalah anjloknya harga kentang dalam negeri menyusul maraknya impor kentang asal China dan Banglades yang beredar di pasaran. Harga kentang ditingkat petani terus merosot hingga kisaran Rp. 4.000 sejak awal September 2011.
Menurut Achmad Yakub, Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) pasca diberlakukannya Perjanjian Perdagangan Bebas Asean-China (ACFTA) 1 Januari 2010, lebih dari 6600 komoditi dari China akan masuk ke Indonesia tanpa dikenai tarif masuk sama sekali (0 persen).
Komoditi yang masuk dalam kategori nol persen tersebut diatur dalam skema Early Harvest Program (EHP) meliputi hewan hidup, daging konsumsi, ikan, susu, buah-buahan dan sayuran yang dikonsumsi kecuali jagung manis. Setidaknya terdapat 530 pos tarif lainnya yang resmi diberlakukan melalui Keputusan Menteri Keuangan RI No. 355/KMK.01/2004 21 Juli 2004 tentang penetepatan tariff bea masuk dalam skema EHP.
Lebih jauh lagi, menurut Yakub akibat langsungnya dari skema tersebut untuk produksi kentang adalah volume impor kentang dari China terus meningkat sementara Volume ekpsort Indonesia terus menurun. Padahal tahun 2006, volume ekspor kentang Indonesia mampu melampaui volume impor kentang sebesar 54.868 ton, namun kemudian volume dan ekspor kentang Indonesia terus menurun.
Saat ini hanya produk pangan yang strategis seperti beras, kedelai dan jagung manis yang masih memiliki aturan impor yang cukup ketat, itupun selalu impor dengan berbagai alasan. Walau sempat dibuka hingga nol persen selama beberapa bulan di awal 2011, pemerintah kembali mengembalikan tariff beras menjadi Rp 450 per kg per 1 April 2011.
Sayangnya tambah Yakub, hal ini tidak berlaku bagi komoditas pangan dan pertanian lainnya. Lebih lanjut juga tidak ada standar harga jual dalam negeri, yang menyebabkan produk impor ini bisa dijual jauh dibawah biaya produksi dalam negeri.
Menurut Yakub petani Indonesia disentra-sentra produksi kentang dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Utara dan Sulawesi Utara mampu memenuhi kebutuhan kentang secara nasional. Konsumsi kentang nasional saat ini sekitar 2,028 kg per kapita atau sekitar 479 ribu ton per tahun.
“Pemerintah harus segera menghentikan impor kentang karena mengancam kehidupan puluhan ribu petani. Untuk dataran tinggi Dieng saja ada 72.000 KK dan 150.000 buruh tani, dengan luasan per tahun 15.000 ha yang menggantungkan hidupnya dari menanam kentang. Belum lagi ditambah petani-petani kentang di seluruh Indonesia,” tegas Yakub
Menurut pedagang kecil di Jawa Tengah, satu truk kentang lokal yang biasanya habis terjual dalam 2-3 hari, kini baru habis hingga tujuh hari. Hal ini menyebabkan susut dan busuk meningkat. Petani banyak yang menunda panen hingga ada perbaikan harga, dengan resiko diserang hama sehingga kualitas memburuk.
“Kalau pemerintah terus memperbolehkan impor kentang, harga kentang lokal akan terus merosot, dan petani akan mengalami kerugian yang amat besar,” kata Mudasir seorang petani kentang dari Dataran Tinggi Dieng (6/10).
“Belum lagi kami harus berhutang untuk membayar bibit, pupuk dan pesitisida. Setidaknya untuk satu hektar lahan kentang, membutuhkan biaya 54 juta rupiah. Biaya tertinggi untuk membeli benih G 4 dimana per hektar diperlukan 1,5 ton dengan harga Rp. 12.500/kg setara dengan sekitar sembilan belas juta rupiah, kemudian sewa lahan lima juta rupiah per musim tanam, pestisida dan pupuk mencapai sepuluh juta rupiah,” jelas Mudasir
“Sementara harga kentang terus merosot. Kami petani Dataran Tinggi Dieng biasanya bisa menjual Rp. 6.000/kg. Sekarang harga jual ditingkat petani hanya sekitar Rp. 4000/kg, sementara kentang impor dipasaran dijual hanya Rp. 2.500/kg, tidak bisa menutupi biaya produksi” ujar Mudasir.
Anjloknya harga kentang ini juga pernah dialami petani Bawang Merah di Cirebon Jawa Barat pada bulan Agustus 2011.Lebih Jauh ditambahkan Gunawan, Sekjen Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), petaka petani Indonesia tidak hanya diserbu impor berbagai bahan pangan murah dari luar tapi yang juga paling mendasar adalah ketiadaan lahan untuk berproduksi.
Saat ini para petani membutuhkan lahan untuk meningkatkan produktivitasnya. Kepemilikan lahan petani yang hanya sempit, jauh dari mencukupi untuk melakukan produksi yang efektif. “ Untuk itu pemerintah harus menyegerakan memberikan lahan-lahan pertanian produktif kepada petani agar mereka bisa berproduksi karena kepemilikan lahan oleh Petani kecil dan buruh tani merupakan salah satu syrarat mutlak bagi terpenuhinya kedaulatan pangan dalam negeri,” tambah Gunawan.
Kontak Lebih Lanjut:
Achmad Ya’kub | Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional SPI | 0817712347 |
terima kasih atas artikel anda yang menarik dan bermanfaat ini. semoga memberikan manfaat bagi pembacanya. saya memiliki artikel sejenis yang bisa anda kunjungi di sini EXPLORE INDONESIA
Stop impor kentang !!! Kami orang2 kecil, yang menggantungkan usaha kami di ladang..jika masih ada impor, bagaimana nasip kami ??maka kami berharap stop impor..biar rakyat kecil bisa hidup sejahtera..