JAKARTA. Akses dan kontrol atas tanah, air, benih; konflik agraria; belum adanya perlindungan harga produk pertanian bagi para petani kecil; kekeringan dan kebakaran lahan serta polusi lingkungan; adalah beberapa masalah hak asasi yang menerpa petani kecil Indonesia di tahun 2015.
Satu tahun lebih pemerintahan Jokowi-JK, Nawa Cita belum bisa menyelesaikan pelanggaran hak asasi petani. Walau program pemerintah sudah berdasarkan prinsip kedaulatan pangan dan cukup memperhatikan hak asasi manusia, namun implementasinya belum dapat meredakan situasi pelanggaran di lapangan. Hal ini terlihat dari fokus Laporan Hak Asasi Petani 2015 oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) yang diluncurkan pada Kamis (10/12) mengenai hak atas tanah dan teritori:
Ketua Umum SPI Henry Saragih menyatakan, “Eskalasi konflik agraria pada tahun 2015 ini, sampai awal Desember, dibandingkan dengan tahun lalu tidak ada penurunan.”
“Bahkan kita khawatir jika tahun depan tidak ada upaya yang signifikan dalam upaya perlindungan hak asasi petani, konflik agraria akan terus meningkat. Ini disebabkan oleh dorongan dari petani yang tak bertanah tak terbendung lagi.”
Di sisi lain pemerintah, swasta sangat massif mengambil tanah untuk pembangunan infrastruktur, ekspansi perkebunan dan kawasan hutan serta area perumahan.”
“Luas lahan, korban kekerasan, kriminalisasi dan tergusur yang tinggi pada laporan ini mencerminkan hak petani untuk mendapat akses terhadap keadilan belum mampu ditegakkan via Nawa Cita,” terang Henry. “Petani kerap jadi korban, dan mengalami diskriminasi saat memasuki proses hukum.”
“Tuntutan kaum tani sudah tercantum dalam Nawa Cita, yakni untuk redistribusi tanah 9 juta hektar kepada petani, dan penyelesaian konflik agraria secara adil,” kata Henry lagi. “Ini akan meredakan konflik agraria, terutama dengan sektor perkebunan, kehutanan di Pulau Sumatera dan Jawa.”
“Masalahnya, sudah setahun belum ada tanda-tanda realisasi program ini,” tutup dia.
Sementara itu, Ridwan Darmawan dari Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) menyatakan “Pelanggaran hak asasi petani lain yang paling mendasar yakni kemerdekaan berkumpul dan mengeluarkan pendapat.”
“Telah terjadi diskriminasi bagi petani serta organisasi tani untuk akses program, bantuan, bahkan hak-hak mendasar bagi kaum tani seperti benih dan sarana produksi,” kata dia.
Dalam hal ini, umumnya masih banyak petani, organisasi tani yang tidak mendapat perlakuan yang sama karena asal organisasi dan lokasi geografisnya. “Padahal ini sudah diatur dalam keputusan Mahkamah Konstitusi pada 5 November tahun 2014 lalu,” ujar Ridwan.
“Jadi penyaluran hak, bantuan untuk petani salah sasaran. Dan banyak temuan diskriminasi untuk penyaluran alat mesin pertanian,” kata dia.
Henry Saragih menambahkan, “Pemerintah Indonesia harus sudah sungguh-sungguh menjalankan Undang-Undang 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.”
UU ini pun harus dijabarkan lebih detail dalam bentuk peraturan-peraturan pemerintah, baik di lingkungan Kementerian Pertanian RI maupun Kementerian terkait lain, juga peraturan-peraturan daerah.
Kemudian program pemerintah saat ini juga harus mengacu kepada 3 UU yang memperhatikan hak asasi petani; UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU No. 18/2012 tentang Pangan dan UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Pemerintahan Jokowi-JK harus kerja ekstra keras via Nawa Cita untuk mengejar ketertinggalan pada pemajuan, penghormatan, dan penegakan hak asasi petani pada tahun-tahun berikutnya. Dan hal tersebut tidak bisa dilakukan dengan pendekatan business as usual.###
Silahkan unduh versi lengkap Laporan Pelanggaran Hak Asasi Petani 2015 di sini.