Akankah Pemerintahan SBY Mewariskan Konflik Agraria, Kemiskinan, dan Kelaparan

JAKARTA. Sebentar lagi 2013 akan segera berakhir, dan dalam hitungan hari 2014 akan segera datang, tahun dimana Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono akan merampungkan kekuasaannya sejak 2004. Pertanyaan yang teramat penting adalah apa yang akan diwariskan (legacy) pemerintahan SBY kelak kalau pemerintahannya berakhir.

Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, jika tidak ada perubahan mendasar yang dilakukan oleh pemerintahan SBY menjelang pemerintahannya ini berakhir, maka ia akan mewariskan konflik agraria yang tak terselesaikan. Selama sembilan tahun SBY berkuasa, sejak 2004 hingga 2013 telah terjadi 987 konflik dengan areal konflik seluas 3.680.974,58 serta melibatkan 1.011.090 KK.

Sepanjang tahun ini, kami bersama dengan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terdapat 369 konflik agraria dengan luasan mencapai 1.281.660.09 hektar (Ha) dan melibatkan 139.874 Kepala Keluarga (KK). Dengan jumlah korban tewas 21 orang, 30 tertembak, 130 menjadi korban penganiayaan serta 239 orang ditahan oleh aparat keamanan. Dengan kata lain, hampir setiap hari terjadi lebih dari satu konflik agraria di tanah air, yang melibatkan 383 KK (1.532 jiwa) dengan luasan wilayah konflik sekurang-kurangnya 3.512 Ha,” papar Henry di Jakarta pagi ini (27/12).

Henry melanjutkan, rezim SBY bukan saja tidak mampu menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi petani, namun secara massif memproduksi pelanggaran Hak Asasi Petani baru secara pesat. Hal Ini cukup miris mengingat Indonesia sebagai negara pendukung Deklarasi Hak Asasi Petani di Dewan HAM PBB yang diusulkan SPI dan ormas lainnya sebagai hasil dari konferensi Hak Asasi Petani dan Pembaruan Agraria yang diselenggarakan di Indonesia pada tahun 2001.  Lebih miris lagi, karena ternyata UU Perlindungan dan pemberdayaan Petani No.  19 tahun 2013  tidak berisi pasal yang bisa mengatasi konflik agraria yang demikian besar, padahal tuntutan dari petani untuk diadakannya UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani ini adalah untuk mengatasi konflik agrarian yang melanggar hak asasi petani.

Sementara itu, penghapusan kemiskinan juga tidak menunjukkan perubahan yang berarti, karena kebijakan agraria, pertanian, pangan dan perdesaan yang seharusnya menjadi ujung tombak mengatasi persoalan yang diwariskan oleh pemerintahan sebelumnya tidak terselesaikan.

“Dari sensus Badan Pusat Statistik (BPS) 2013, ada penyusutan 5,10 juta keluarga tani dari 31,23 juta keluarga per tahun 2003 menjadi 26,14 juta keluarga per tahun 2013. Artinya jumlah keluarga tani susut rata-rata 500.000 rumah tangga per tahun. Sebaliknya, di periode yang sama, jumlah perusahaan pertanian bertambah 1.475 perusahaan. Dari 4.011 perusahaan per tahun 2003 menjadi 5.486 perusahaan per tahun 2013. Jumlah rumah tangga usaha pertanian juga mengalami penurunan per tahun sebesar 1,75 persen, dengan total penurunan 5,04 juta rumah tangga dari 2003-2013,” tutur Henry.

Sementara itu, judicial review yang dilakukan oleh SPI bersama dengan lembaga lainnya tentang  UU No. 2 tahun 2012 tentang  Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MK ini melegalisasi negara demi ekspansi modal untuk merampas tanah-tanah rakyat yang termanifestasi dalam program MP3EI yang secara luas ditentang oleh para pelaku gerakan pembaruan agraria dan masyarakat korban konflik agraria.

Di akhir tahun 2013 DPR mensahkan RUU Desa Menjadi UU Desa pada 18 Desember 2013. Produk UU Desa ini seharusnya menjadi landasan yuridis untuk mensejahterakan masyarakat yang tinggal di Pedesaan yang menjadi kantong-kantong kemiskinan, namun UU Desa ini lebih mengakomodir kepentingan pemerintah dan perangkat-perangkat Desa. Kemudian Dalam UU Desa ini juga tidak detail membahas mengenai pembangunan desa dalam upaya untuk mensejahterakan masyarakat ataupun terkait pelayanan-pelayanan masyarakat yang tinggal di pedesaan.

Tahun ini UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan) No. 19 Tahun 2013 juga disahkan. Namun tanah yang merupakan kebutuhan yang paling mendasar dalam pertanian, dalam UU Perlintan ini tidak jelas diatur. Hal ini terlihat dari isi UU ini yang hanya mengatur soal  konsolidasi tanah, yaitu tanah pertanian terlantar dan tanah negara bebas yang bisa diredistribusikan kepada petani, itupun bukan menjadi hak milik melainkan hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan sebagaimana diatur dalam pasal 59 UU Perlintan. Hak sewa dalam UU perlintan ini tidak sejalan dengan UU Pokok Agraria No. 5 1960 bahwa penggunaan tanah negara dilakukan dengan hak pakai bukan hak sewa menyewa yang disebutkan dalam pasal 41 UUPA No. 5 1960. UU ini juga membuka peluang dan memperkuat kapitalisasi pertanian melalui asuransi pertanian yang dilakukan oleh Bank Swasta. Dan yang paling berbahaya dalam UU ini adalah kebebasan berserikat ditentukan oleh negara melalui organisasi tunggal. Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban mendorong dan memfasilitasi terbentuknya kelembagaan petani dan kelembagaan ekonomi petani (pasal 69); Kelembagaan petani sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 ayat (1) terdiri atas kelompok tani, gabungan kelompok tani, asosiasi komoditas pertanian, dan dewan komoditas pertanian nasional (pasal 70). Sedangkan organisasi tani dan lainnya tidak disebutkan.

Henry juga menyoroti tentang krisis harga pangan di tahun 2013 (terutama kedelai) yang sudah sampai tahap yang mengkhawatirkan. Dalam kasus kedelai, penghapusan bea masuk kedelai impor mempengaruhi turunnya produksi kedelai dalam negeri, bahkan selama 10 tahun terakhir produksi kedelai nasional tak pernah lebih dari satu juta ton. Sejak 2004 hingga 2013, produksi kedelai nasional tertinggi hanya sebesar 974.512 ton pada tahun 2013, kemudian tren luas panen kedelai dari tahun 2009 mengalami penurunan. Sementara kebutuhan nasional sudah mencapai tiga juta ton per tahun.

“Jika melihat tren yang berkembang melalui pantauan data BPS di tahun 1990, pada saat Indonesia belum ikut WTO dan IMF, impor kedelai kita pernah hanya sebesar 541 ton. Bandingkan dengan impor kedelai dalam tahun ini (Januari – Juli 2013) kita sudah impor 1,1 juta ton atau senilai US$ 670 juta (Rp 6,7 triliun). Ini akibat pemerintah kita terlanjur mengadopsi model ekonomi neoliberal sehingga dalam orientasi kebijakan pangannya hampir semua komoditas pangan, kecuali beras diserahkan pada mekanisme pasar,” katanya.

Hal ini di atas diperparah dengan Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO ke-9 yang dilaksanakan di Bali, awal Desember tahun ini. Pemerintah Indonesia diwakili oleh Gita Wiryawan sekaligus menjadi ketua sidang dalam Perundingan WTO.  Pasca konferensi WTO ke-9 terbentuk kesepakatan antara negara anggota yang disebut sebagai Paket Bali. Dalam konteks Indonesia terutama produk pertanian, paket Bali adalah kebijakan yang menggantungkan hidup matinya pertanian kita pada mekanisme internasional yang dikontrol oleh perusahaan transnasional negara-negara maju terutama Uni Eropa, Amerika Serikat. Berdasarkan data dari United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) dalam World Investment Report 2013 menyatakan bahwa perusahaan transnasional yang mempunyai rantai nilai global (value chain) mencapai 80 persen dari perdagangan dunia.

Rekomendasi

Henry yang juga saat ini menjabat sebagai Komite Koordinasi Internasional La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) menegaskan pemerintahan SBY di akhir masa kekuasaannya ini haruslah melakukan sejumlah langkah penting seperti menyegerakan penyelesaian konflik agraria dengan membentuk komite Nasional Penyelesaian Konflik Agraria, dan mengembalikan posisi UUPA No 5 tahun 1960 sebagai rujukan utama dalam menjalankan kebijakan di bidang agraria.

“Karena itu pemerintahan SBY harus segera mencabut dan merivisi berbagai undang-undang di bidang agraria  yang bertentangan konstitusi dan UUPA No tahun 1960,” ungkapnya.

Hal berikutnya menurut Henry adalah dengan membatalkan beberapa pasal dari UU Perlintan No. 19 Tahun 2013 yang melemahkan posisi petani dalam berorganisasi, dan juga untuk mengikuti asuransi pertanian. Kemudian menyempurnakan kembali UU tersebut dengan mencantumkan hak petani atas tanah yang terabaikan dalam UU ini, juga mencegah terjadinya perampasan tanah petani dan masyarakat adat. Kemudian memastikan diimplementasikannya hak petani atas memproduksi dan memperoleh benih, dan teknologi pertanian yang ekologis, dan permodalan, serta harga yang adil.

“Untuk keselamatan dan keadilan dalam harga baik untuk petani dan produsen, pemerintah Indonesia harus merevisi kembali Isi UU Pangan No. 18 tahun 2012. Kemudian melakukan perombakan dalam institusi yang mengelola pangan dengan segera membubarkan Badan Urusan Logistik (Bulog) karena institusi ini sekarang tidak sesuai lagi dengan tuntutan konstitusi untuk penegakan kedaulatan pangan di Indonesia. Karena itu diperlukan sebuah institusi baru di bidang pangan yang bisa memastikan pengendalian tata niaga, dan distribusi sembilan bahan pangan. Pemerintah juga harus melarang impor pangan hasil rekayasa genetika (GMO), dan mencabut Permentan Nomor 61/2011 yang mengatur prosedur pengujian, penilaian, pelepasan dan penarikan varietas rekayasa genetika,” jelas Henry.

Untuk melepaskan Indonesia dari Rezim Perdagangan Dunia – WTO, dan juga negara-negara lain di dunia ini, Indonesia harus berinisiatif untuk membangun suatu tata perdagangan dunia yang adil dengan  mengganti rezim perdagangan dibawah World Trade Organizations (WTO), dan berbagai Free Trade Agrement (FTA).

“Hanya dengan cara inilah Indonesia bisa menebus dosa atas upaya Pemerintahan SBY yang menghidupkan WTO pada KTM 9 yang baru lalu,” tegasnya.

Henry menambahkan, pemerintah perlu menyusun visi pembangunan pertanian Indonesia yang menempatkan petani dan  pertanian rakyat sebagai soko guru dari perekonomian di Indonesia. Tugas ini adalah bagian dari upaya menyusun Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

“Visi pembangunan pertanian Indonesia adalah mengurangi peran perusahaan besar dalam mengurus soal pertanian dan pangan, dengan menghentikan proses korporatisasi pertanian dan pangan (food estate) yang sedang berlangsung saat ini. Membangun industri nasional berbasis pertanian, kelautan dan keanekaragaman hayati Indonesia yang sangat kaya raya sehingga memungkinkan usaha-usaha mandiri, pembukaan lapangan kerja dan tidak tergantung pada pangan impor. Dukungan bagi pengembangan benih pangan berbasis komunitas dan memfungsikan universitas-universitas untuk mendukung penelitian-penelitian yang dilakukan oleh petani. Menempatkan koperasi-koperasi petani, usaha-usaha keluarga petani, dan usaha-usaha kecil dan menengah dalam mengurusi usaha produksi pertanian dan industri pertanian. Serta menempatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengurusi industri dasar yang berasal dari produk-produk pertanian yang memerlukan permodalan dan industri  dalam sekala besar. Pemerintah juga harus meneruskan komitmen untuk melaksanakan kembali program Go Organic 2010 untuk masa-masa selanjutnya, dengan suatu konsep dan implementasi yang komprehensif dalam menerapkan prinsip-prinsip agroekologis,” paparnya.

 

Kontak Selanjutnya:

Henry Saragih  (Ketua Umum SPI) 0811 655 668

Achmad Ya’kub (Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional SPI) 0817 712 347

 

Silahkan unduh versi lengkap Catatan Akhir Tahun 2013 SPI disini

ARTIKEL TERKAIT
FGD krisis pangan dan mekanisme perlindungan petani FGD krisis pangan dan mekanisme perlindungan petani
Tradisi Slametan (Wilujengan) dalam Masyarakat Agraris
Kemarau, Petani Alami Gagal Panen
Petani Kentang Datang, Mendag Menghilang
1 KOMENTAR
  1. Agraris berkata:

    Semoga di tahun ini Indonesia bisa maju di dunia pertanian dan peternakan

BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU