JAMBI – Anjloknya harga membuat petani karet merana. Di Jambi, tepatnya di Kabupaten Muara Jambi dan Tebo, harga di tingkat petani hanya mencapai Rp 5.500-Rp 6.300.
“Fenomena ini ‘kan sudah berlangsung lama di komoditas karet, bisa dikatakan sejak (krisis Yunani) tahun 2015 lalu,” ujar Sarwadi, petani karet dan juga Ketua SPI Jambi.
“Sewaktu krisis moneter tahun 1998-1999, petani memang menikmati harga karet yang tinggi. Waktu itu bisa meroket sampai Rp 19.000,” kata dia. “Normalnya 2 tahun belakangan ini seharusnya sekitar Rp 8.000 sampai Rp 10.000 lah untuk petani kecil,” ujar dia.
Sarwadi yang menanam karet sejak tahun 1992 ini juga meminta agar pemerintah bergerak sigap mengamankan perkebunan karet rakyat. “Di lapangan, petani karet skala kecil, 1 hingga 2 hektar sudah hidup pas-pasan dengan harga terjun bebas ini,” terang Sarwadi lagi.
Ada beberapa sebab anjloknya harga karet. Komoditas yang bergantung pada harga internasional ini memang rentan karena nilai rupiahnya bergantung mekanisme pasar global. Pasokan memang cenderung meningkat, sementara permintaan dari negeri-negeri industri melambat. International Tripartite Rubber Council (ITRC), organisasi negara produsen karet utama malah sudah sepakat mengurangi volume ekspor untuk menyangga agar harga tak lanjut rebah.
“Pemerintah bisa sigap juga untuk proteksi petani karet dan komoditas lain yang rentan karena mekanisme pasar internasional,” kata Sarwadi.
Sementara itu, petani karet di Jambi juga menyoal rantai dagang karet yang cukup panjang. Ada toke pengumpul di tingkat desa, ada pengumpul tingkat provinsi, ada gudang karet, dan ada perusahaan atau pabrik. Rantai penjualan yang panjang ini membuat harga getah karet di tingkat petani selalu tertekan. Masalah lain adalah masalah klasik: jalan yang masih jelek, sarana transportasi, hingga biaya antar karet masih tinggi.
“Kita usulkan pemerintah juga melindungi harga karet dengan mekanisme seperti Bulog pada beras,” ujar Sarwadi lagi. “Petani karet saat ini butuh solusi cepat. Pemerintah bisa membeli karet petani untuk industri lokal.”
Solusi pemerintah di hulu sejauh ini adalah peremajaan (replanting) dan pencairan Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp 10 triliun. Demikian yang disebutkan Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Gamal Nasir seperti dikutip dari detik.com.
“Tapi ini ‘kan solusi menengah dan panjang. Lagi pula petani kecil sulit mengakses KUR karena ada jaminan bank dan lain-lain.”
“Beberapa pascapanen karet kalau kering memang bisa disimpan maksimal setahun. Tapi petani sekarang butuh uang tunai untuk kebutuhan sehari-hari, dan lanjut bertani,” pungkas Sarwadi.
Pak kami di Kalbar ini sama juga harga rendah, apalagi sekarang musim Hujan. Memang harus ada usaha pendukung, agar jika karet tidak bisa produksi, ada hal lain yang dikerjakan. Seperti nanam sayur.