PADANG. Puluhan petani yang tergabung dalam Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Barat (Sumbar) melakukan aksi bersama menolak kekerasan terhadap petani di depan gedung DPRD Sumbar, di Padang, tadi sore (01/08).
Sukardi Bendang, Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) SPI Sumbar mengemukakan SPI mengecam pendekatan dengan cara kekerasan dan cenderung tidak manusiawi yang kerap dilakukan oleh aparat dalam penyelesaian konflik agraria yang terjadi pada petani. Tewasnya seorang remaja di Ogan Ilir beberapa waktu, dan beberapa peristiwa konflik agraria lainnya telah cukup menjadi bukti bahwa petani kecil selalu dikrimalisasi.
“Kami (baca:petani kecil) berkontribusi besar sebagai penyedia pangan, jadi sebagai rakyat Indonesia, seharusnya kami yang memiliki peranan cukup penting ini haruslah dilindungi oleh aparat kepolisian, bukan malah dikriminalisasi ataupun ditembaki,” ungkap Sukardi.
Sukardi juga menyampaikan konflik agraria yang terjadi di berbagai daerah senantiasa diwarnai oleh pelanggaran HAM terhadap kaum tani. Petani selalu ditempatkan sebagai pihak yang dilemahkan dan disalahkan. Sebaliknya, aparatur negara justru berada di posisi yang berlawanan dengan rakyat. Mereka menjadi pelindung dan penjaga para pemilik modal.
Dalam aksi bersama Koalisi Anti Perampasan Tanah Rakyat ini, Sukardi juga memaparkan beberapa konflik agraria di Sumbar yang dalam penanganannya selalu dengan cara kekerasan. Dia menjelaskan kasus kekerasan aparat kepolisian terhadap petani perempuan di Jorong Maligi Kenagarian Sasak Kecamatan Sasak Ranah Pesisir Kabupaten Pasaman Barat pada tanggal 8 November 2011 menyimpan banyak cerita dan fakta yang selama ini belum terungkap. Sebanyak 18 orang korban luka-luka, sakit di bagian perut, punggung serta kepala, kaki-tangan terkilir, hingga patah serta mengalami keguguran. Peristiwa Maligi dipicu oleh konflik tanah seluas 650 hektare antara warga Maligi dengan PT Permata Hijau Pasaman (PHP) II.
Selanjutnya kasus penangkapan dan penahanan sewenang-wenang oleh aparat Kepolisian Pasaman Barat terhadap Erfan dan Yunasril dalam sengketa lahan dengan PT Anam Koto (2010) dan penembakan Sarimin dalam sengketa lahan dengan PT PANP di Kinali Kabupaten Pasaman Barat (2000) dan intimidasi anggota SPI di Simpang Tenggo (2009) merupakan gambaran kekerasan yang dialami petani Sumatera Barat.
Kemudian penangkapan paksa dua petani anggota SPI oleh polisi di Batang Hari-Jambi (23/07/2012) pada saat menghadiri undangan dari Dinas Kehutanan Kab Batanghari dalam rangka penyelesaian konflik antara petani SPI dengan PT REKI.
“Oleh karena itu kami meminta pihak berwenang untuk mengusut tuntas dan mengadili pelaku penembakan di Ogan Ilir, Sumatera Selatan serta kasus kekerasan lainnya di Sumatera Barat dan berbagai daerah lainnya. Kami juga meminta pemerintah mendistribusikan tanah-tanah perkebunan yang menghadapi konflik agraria dan tanah terlantar kepada petani, mendesak Presiden dan Polri untuk menarik pasukannya dari lahan konflik agraria. Kami juga meminta pemerintah provinsi Sumbar untuk bersama-sama dengan petani melindungi keberadaan tanah-tanah ulayat untuk kepentingan anak-cucu dan kemenakan terutama untuk pengembangan pangan berbasis rakyat,” paparnya.
Sukardi menambahkan, agar semua ini tuntutan tersebut tercapai pemerintah harus segera melaksanakan pembaruan agraria sesuai pasal 33 UUD 1945 dan amanat UUPA No. 5 Tahun 1960, sebagai solusi kongkrit penyelesaian konflik agraria dan untuk memenuhi rasa keadilan rakyat.
Selain DPW SPI Sumbar, Koalisi Anti Perampasan Tanah Rakyat terdiri atas LBH Padang, LBH Pers, PBHI Sumbar – Walhi Sumbar, – Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Sumatera Barat, – YCM, – Kakilima – Magenta, – Daulat Institut, LAMSIKRA, – Nurani Perempuan, dan – Forum Studi Sosial Pembaruan Agraria Internasional (FSS-PAI) UNAND.