Kebijakan Pertanahan Menggusur Rakyat
Tahun 2012 nampaknya merupakan tahun yang cukup sibuk terkait kebijakan pertanian dan pangan, sejumlah kebijakan strategis dikeluarkan sepanjang tahun ini. Di tengah carut marutnya sistem pertanahan di Indonesia, awal Februari 2012 pemerintah justru mengeluarkan UU No.2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Sementara konflik agraria sebagai ekses dari praktek-praktek penggusuran tanah rakyat atas nama pembangunan untuk kepentingan umum seperti pembangunan pertanian, perkebunan, pertambangan, perumahan, jalan tol, kantor pemerintahan, cagar alam, dan pengembangan wisata telah menimbulkan korban jiwa petani dan juga kriminalisasi petani beserta nelayan dan masyarakat adat, ancaman kemiskinan, kelaparan dan konflik agraria berpeluang semakin meluas dan mendalam dengan diberlakukannya Undang-undang ini.
Bahkan sejak masih dalam bentuk Perpres No.65 tahun 2006, aturan pengadaan tanah bagi kepentingan umum ini telah menimbulkan reaksi keras dari masyarakat mengingat sangat rancunya makna kepentingan umum yang ditetapkan disini. Isi UU No.2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum hanya memberikan keleluasan lebih besar bagi para investor besar dengan mengorbankan kepentingan rakyat. Oleh sebab itulah sejak dikeluarkannya UU No.2 tahun 2012 ini langsung menghadapi tuntutan judicial review oleh SPI bersama sejumlah organisasi masyarakat lainnya. Tuntutan dilakukan mengingat di antaranya karena bertentangan dengan Pasal 33 (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bumi, air dan kekayaan alam didalamnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, selain itu juga tidak menjamin perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia yang bertentangan dengan Pasal 28A; Pasal 28G (1); Pasal 28H (1) dan (4) Undang-Undang Dasar 1945. Dikeluarkannya UU No. 2/2012 ini juga akan semakin menghambat rencana pendistribusian tanah-tanah terlantar bagi para petani. Karena itulah saat ini Serikat Petani Indonesia (SPI) yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Anti Perampasan Tanah (KARAM TANAH) menyerahkan secara resmi berkas judicial review Undang-Undang (UU) No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum di Mahkamah Konstitusi pada Mei 2012. ditengah kebijakan infrastruktur yang akan menggusur lahan-lahan tersebut, konversi lahan sawah dan pertanian terus terjadi per tahun mencapai 100.000 ha.
Kebijakan Pangan Masih Jauh dari Semangat Kedaulatan Pangan
Pertengahan Oktober 2012 melalui Sidang Paripurna DPR RI akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) RUU Revisi Undang-Undang (UU) Pangan no.7/1996 menjadi UU Pangan yang baru. UU Pangan No.18 tahun 2012 ini diterbitkan pasca perundingan panjang selama dua tahun di Parlemen. Dimana kalangan masyarakat, organisasi petani, buruh dan intelektual merumuskan naskah akademik dan rancangan undang-undang-nya sejak tahun 2008.
Arah perubahan UU Pangan yang dicita-citakan untuk segera mengatasi problem nasional di bidang pangan dan merubah paradigma dari pilihan kebijakan pangan menjadi pendekatan berbasis hak yang berpedoman pada standar dan indikator HAM. Namun disayangkan semangat kedaulatan pangan yang dicita-citakan dilemahkan sejumlah pasal antara lain tercantum dalam ketentuan umum ayat 38 yang menyebutkan peran dari pelaku usaha pangan disebut sebagai agrobisnis atau perusahaan mempunyai peran dan hak yang sama dalam proses produski dan pemasaran pangan. Hal ini membuka ruang yang luas kepada corporate (perusahaan besar) dalam urusan pangan. Padahal pangan ini adalah hal yang sangat vital menyangkut hajat hidup orang banyak, hendaknya tidak menjadi komoditas dagang semata. Disinilah pemerintah dan DPR RI gagal memhami makna dan filosofis dari kedaulatan pangan yang justru antitesa dari ketahanan pangan yang selama ini menjadi arus utama liberalisasi pertanian dan pangan.
Masalah krusial lainnya dalam UU 18/2012 tentang Pangan ini adalah mengenai impor. Dalam Pasal 36 ayat 1 disebutkan Impor Pangan hanya dapat dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Seharusnya kata “tidak dapat diproduksi didalam negeri” diganti dengan untuk mengatasi masalah pangan atau krisis pangan. Hal ini untuk menjamin produk impor pangan tidak menyebabkan persaingan dengan pangan produk lokal dan juga mencegah ketergantungan pangan yang tidak bisa diproduksi di dfalam negeri seperti gandum misalnya. Dan dalam Pasal 39 disebutkan Pemerintah menetapkan kebijakan dan peraturan Impor Pangan yang tidak berdampak negatif terhadap keberlanjutan usaha tani, peningkatan produksi, kesejahteraan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil. Namun tidak ada kontrol dari masyarakat tentang kebijakan dan peraturan Impor Pangan ini. Seharusnya Pemerintah berkonsultasi (hearing) dengan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil sebelum melakukan Impor Pangan agar Impor Pangan yang akan dilakukan tidak berdampak negatif.
Lebih lanjut UU Pangan No.18/2012 ini juga memberi ruang yang luas bagi pengembangan produk rekayasa genetika di sektor pertanian dan pangan melalui pasal 77 mengenai produk rekayasa genetika. Kebijakan ini nampaknya dikeluarkan untuk memperkuat pengembangan rekayasa genetika di Indonesia setelah sebelumnya pada awal Oktober, pemerintah dalam hal ini Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik meloloskan sejumlah benih transgenik produk asing yaitu jagung transgenik NK 603 dan MON 89034 milik Monsanto yang diloloskan hanya dengan uji dokumen, padahal kedua jenis ini ditujukan untuk kebutuhan pangan manusia. Sementara di sisi lain kreativitas dan keahlian para petani pemulia benih lokal terus menghadapi hambatan dan tantangan yang bahkan berujung pada kriminalisasi petani.
Walaupun di sisi lain UU 18/2012 tentang Pangan yang baru ini juga menyebutkan mengenai kelembagaan pangan. Kelembagaan pangan mengindikasikan kontrol yang kuat atas sistem pangan mulai dari tingkat nasional hingga desa sebagai cara untuk memastikan tercapainya kedaulatan pangan, kemandirian pangan dan ketahanan pangan. SPI memandang inisiatif kelembagaan pangan ini cukup positif, namun dibutuhkan koordinasi antar lembaga yang sangat kuat. Lebih dari itu lembaga pangan tersebut harus mempunyai satu fungsi pelayanan publik saja, bukan dualism antara fungsi public service obligation dan komersial atau bisnis sebagaimana yang diterapkan oleh Bulog selama ini.
Dalam realisasinya, kedaulatan pangan akan terwujud jika petani sebagai penghasil pangan memiliki, menguasai dan mengkontrol alat-alat produksi pangan seperti tanah, air, benih dan teknologi— terlaksananya Reforma agraria. Hal ini sejalan dengan pembangunan pedesaan yang disokong oleh sektor pertanian untuk memperkuat kondisi pangan lokal, baru setelah itu dibangun sektor non pertanian yang tetap berbasiskan pada sektor pertanian dengan pengelolaan sistem ekonomi pedesaan yang mandiri dan berkelanjutan dan berdasarkan perekonomian rakyat.
Pembangunan Perdesaan dan RUU Desa harusnya mensejahterakan rakyat desa
Seharusnya RUU Desa ini bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat desa, yang memang menjadi kantong-kantong kemiskinan di Indonesia, namun RUU ini malah lebih bertujuan untuk mensejahterakan pemerintah desa dan perangkat-perangkat desa. Kita lihat saja misalnya saat akhir tahun ini Nilai Tukar Petani (NTP) nasional November 2012 sebesar 105,72 atau turun 0,03 persen dibanding NTP bulan sebelumnya. Penurunan NTP dikarenakan turunnya NTP Subsektor Hortikultura sebesar 0,73 persen, NTP Subsektor Tanaman Perkebunan Rakyat sebesar 0,42 persen, NTP Subsektor Peternakan sebesar 0,50 persen, dan NTP Subsektor Perikanan sebesar 0,22 persen. Apakah ini menjadi perhatian dalam RUU Desa?
Menurut catatan BPS tahun 2012, selama tiga tahun terkahir, jumlah penduduk hampir miskin terus bertambah secara konsisten. Pada tahun 2009, jumlah penduduk hampir miskin berjumlah 20,66 juta jiwa atau sekitar 8,99 persen dari total penduduk Indonesia. Pada tahun 2010, jumlahnya bertambah menjadi 22,9 juta jiwa (9,88%) dan tahun 2011, jumlah penduduk hampir miskin telah mencapai 27,12 juta jiwa (10,28%). Kenaikan 5 juta dalam jangka kurun waktu satu tahun ini menunjukkan adanya pemiskinan penduduk yang sebelumnya berstatus hampir miskin.
Bila dikaitkan dengan kehidupan pedesaan sebagai sentra-sentra produksi pertanian, jumlah penduduk miskin desa selalu lebih besar dari jumlah penduduk miskin kota dari tahun ke tahun. Pada tahun ini saja, terdapat 18.48 juta jiwa penduduk miskin pedesaan dan jumlah ini lebih besar dari jumlah penduduk miskin kota yang sebesar 10.65 juta. Penduduk desa tersebut tentunya adalah petani gurem dan buruh tani – yang menurut data sensus pertanian 2003 berjumlah 13 juta jiwa. Jumlah ini akan bertambah pada tahun ini dan bisa disetarakan dengan jumlah penduduk miskin di desa, seiring dengan adanya konversi alih lahan. Angka konversi lahan sebesar 100 ribu hektar per tahun.
Kemudian Dalam RUU Desa ini juga tidak detail membahas mengenai pembangunan desa dalam upaya untuk mensejahterakan masyarakat ataupun terkait pelayanan-pelayanan masyarakat yang tinggal di pedesaan.
Pasal-pasal di dalam RUU ini sangat “bias” kepala desa, dari perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 5 tahun sampai 8 tahun, penghasilan tetap kepala Desa minimal dua kali dari upah minimum kabupaten/kota ditambah dari tunjangan-tunjangan lainnya seperti dari Anggaran pendapatan dan belanja desa sesuai dengan kemampuan keuangan desa, tidak adanya mekanisme pengawasan yang jelas oleh BPD terhadap kepala desa.
Yang paling aneh adalah tentang alokasi anggaran minimal 5% dari APBN untuk sumber pendapatan desa atau 1 milyar per tahun. Namun di RUU ini tidak diatur soal mekanisme penggunaan anggaran ini, apakah untuk pembangunan desa atau malah dipakai oleh kepala desa.
Keengganan Presiden memberi amanat presiden (ampres) kepada Mendagri jadi bukti soal ketidakcocokan antara Pemerintah dan DPR. Pemerintah lebih setuju kalo RUU ini dinamakan RUU Pembangunan Perdesaan, tapi DPR ngotot menamai RUU ini RUU Desa padahal isinya sama sekali tidak berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan desa. Selayaknya RUU Pembangunan Perdesaan bagian dari desain nasional pelaksanaan pembaruan agraria, sebagai strategi utama mengikis kemiskinan, pengangguran, dan ancaman kelaparan di desa.
(diambil dari catatan akhir tahun SPI, versi lengkapnya bisa diunduh disini)