JAKARTA. Pertemuan para menteri pertanian negara G20 tengah berlangsung dari tanggal 22-23 Juni 2011 di Paris, Perancis.
Sayangnya, G20 sesungguhnya tidak memiliki otoritas dan bukanlah forum yang memiliki legitimasi untuk “mendikte” kebijakan negara-negara di dunia, apalagi kebijakan yang sangat krusial seperti pangan dan pertanian. G20 hanyalah forum informal 20 “negara terkaya” dunia, yang sejak tahun 1999 mencoba mengatur perekonomian global—berusaha membangkitkan kembali kebijakan-kebijakan kapitalistik-neoliberal dari krisis ke krisis. Secara total mereka mengklaim bahwa mereka memiliki anggota dari semua benua, perwakilan dari dua-pertiga penduduk dunia dan sembilan puluh persen Produk Nasional Bruto dunia (PNB). Di belakang G20 berdiri perusahaan-perusahaan transnasional: Bank-bank besar, spekulan pasar, hingga perusahaan agribisnis raksasa.
Pertemuan ini rencananya akan membahas tentang spekulasi dan volatilitas harga pangan. Namun gagal menyepakati mengenai aturan spekulasi dan subsidi biofuel. Bahkan ketika desakan untuk mengetatkan regulasi di G-20 semakin menguat, Bank Dunia bekerjasama dengan JP.Morgan mengeluarkan instrumen pendanaan baru dikhususkan bagi negara berkembang, instrumen untuk lindung nilai (hedging) komoditas pertanian tersebut bernilai total 400 Juta USD, masing-masing berasal dari Bank Dunia (200 juta USD) dan JP.Morgan (200 juta USD). Jelas ini solusi yang salah, alih-alih mengetatkan regulasi terhadap Bank-bank besar dan hedge fund yang selama ini menyebabkan krisis harga pangan, Bank Dunia lewat salah satu lembaga sayapnya yaitu International Finance Corporation (IFC) justru bekerja sama dengan spekulan pangan seperti JP. Morgan untuk mentransfer pola spekulasi yang sama ke negara berkembang.
Hal ini disebabkan kegagalan pemahaman dan kesalahan diagnosa negara-negara terkaya dunia tentang masalah pangan dan pertanian ini telah berlangsung lama, yakni secara sederhana hanya menghubungkan kurangnya stok pangan dengan fenomoena krisis harga saat ini.
Dengan demikian, solusi yang ditawarkan G20 akan berkisar pada: (1) menggenjot produksi; (2) transparansi pasar internasional pangan dan pertanian: (3) melanjutkan perdagangan bebas pangan dan pertanian.
Solusi ini jelas “business as usual”, karena stok pangan cukup (menurut data dari FAO, Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk hak atas pangan, serta gerakan petani internasional La Via Campesina). Selanjutnya pertemuan tersebut akan gagal menjawab masalah yang lebih besar, yakni masalah kemiskinan petani dan produsen di pedesaan, untuk siapa keuntungan bisnis pangan dan pertanian, serta respon cepat dan menyeluruh untuk krisis harga pangan.
Untuk menjawab masalah pertama, harusnya pertemuan ini menjawab masalah kurangnya akses dan hak yang memadai atas tanah, minimnya akses air dan kredit; buruknya manajemen pasar lokal; kurangnya infrastruktur, dan kurangnya posisi tawar petani terhadap kebijakan. Rakyat yang tinggal di pedesaan adalah 80 persen dari penderita kelaparan di dunia. Sekitar 50 persen dari mereka adalah petani kecil. Jika masalah mendasar ini tidak dipecahkan, maka G20 telah menuntun dunia ke jalan yang suram.
Sebagai tambahan, untuk menggenjot produksi, G20 telah mendukung terjadinya fenomena pencaplokan tanah (land grabbing) seperti yang terjadi di banyak negara di dunia—melibatkan lebih dari 45 juta hektar lahan. G20 bersama Bank Dunia juga menerbitkan prinsip Responsible Agricultural Investment (RAI) yang mendukung pencaplokan tanah di seluruh dunia. Jika hal ini diimplementasikan, petani di pedesaan jelas akan rugi dan tanah akan semakin berpotensi dikuasai oleh kaum pemodal dan produsen besar.
Masalah kedua yang mendesak adalah pengaturan rantai perdagangan dan pasar pangan dan pertanian. Jika produk pangan dan pertanian tetap dimasukkan ke dalam pasar komoditas, transparansi pasar dan informasi mengenai hal ini tidak akan cukup. Butuh larangan dan sanksi untuk pelaku perdagangan dan pasar pangan dan pertanian jika melakukan spekulasi—dan pelaku-pelaku ini harus tunduk pada hukum hak asasi manusia, terutama hak atas pangan yang berlaku secara internasional. Kita harus belajar dan mengantisipasi fenomena krisis finansial global tahun 2007-2008 dimana perusahaan hedge fund dan bank raksasa tidak dihukum karena melakukan spekulasi terhadap pasar perumahan dan komoditas lainnya. Perusahaan agribisnis raksasa, hedge fund dan bank yang melakukan spekulasi pangan dan pertanian harus dapat dikendalikan serta akuntabel terhadap hak asasi manusia. Lagi pula, mereka yang mendapatkan keuntungan sangat besar terutama saat krisis harga pangan tahun 2008[1]
Untuk masalah ketiga, perlu respon cepat dan koordinasi global untuk mengantisipasi krisis harga pangan, seperti pengembangan fasilitas penyimpanan pangan regional (karena 30-40% pangan terutama buah dan sayuran hilang disebabkan buruknya penyimpanan). Ini bisa berkembang menjadi food reserve di tingkat regional sehingga jika terjadi kasus kelaparan negara-negara di kawasan dapat merespon dengan cepat.
Perlu investasi untuk pemenuhan pelayanan publik seperti riset teknologi tepat guna untuk pangan dan pertanian berkelanjutan, dukungan untuk koperasi dan usaha kecil dan menengah di sektor ini, serta pembangunan infrastruktur pedesaan seperti irigasi dan jalan.
Di atas semua ini, pemerintah negara-negara terutama Indonesia harus memajukan kedaulatan pangan, dimana ada jaminan terhadap hak setiap bangsa dan rakyat untuk memproduksi pangan secara mandiri dan hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar internasional. Kebijakan berdasarkan kedaulatan pangan inilah yang akan mencegah “food grabbing” dari kaum pemodal.*****
===================================================================
Jakarta, 23 Juni 2011
Kontak lebih lanjut:
Henry Saragih (Serikat Petani Indonesia, +62 811 655 668 , hsaragih@spi.or.id)
Yuyun Harmono (Koalisi Anti Utang, +62 818 0786 7506 , harmono@gmail.com)
Berry Nahdian Forqan (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, +628125110997 )