KARNATAKA. Sukabumi dan Karnataka. Sukabumi adalah sebuah daerah di Provinsi Jawa Barat-Indonesia, sedangkan Karnataka adalah nama sebuah negara bagian di kawasan selatan India. Yang menariknya kedua daerah ini memiliki persamaan yakni menerapkan pertanian agroekologis.
Wisnu, pemuda tani Serikat Petani Indonesia (SPI) asal Warung Kiara, Sukabumi menyebutkan bahwa petani-petani di daerah Karnataka juga bertani dengan sangat menghargai alam.
“Mereka bertani dengan menggunakan teknik yang sangat ramah lingkungan dan menghargai alam, tidak berbeda dengan yang kami lakukan di Warung Kiara ini,” tuturnya.
Wisnu adalah seorang peserta dari “Pertukaran Petani” yang diselenggarakan oleh La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) dan KRRS (Karnata Raija Raita Sangha-Asosiasi Petani Karnataka) di Karnataka, India, pada 1-7 November yang lalu. Bersama puluhan petani dari berbagai negara, Wisnu mendapatkan pengalaman karena belajar langsung dari petani lokal yang sukses menerapkan pertanian berkelanjutan.
Wisnu menuturkan bahwa di Karnataka para petaninya juga cenderung bertani dengan metode intercrop, yakni menerapkan satu luasan lahan yang ditanami dengan berbagai jenis tanaman.
“Jadi di satu bedengan bisa terdapat berbagai macam tanaman seperti bawang daun, kacang, buncis, hingga tomat. Jadi pada saat panen mereka menghasilkan beragam macam tanaman,” ungkapnya.
Wisnu yang juga lulusan Sekolah Magang Pertanian Berkelanjutan SPI juga menjelaskan bahwa pertanian yang dipraktekkan di daerah tersebut sangat mirip dengan yang dipelajarinya di sekolah magang, yakni sama-sama menghargai alam dan tidak menyia-nyiakan apa yang ada di sekitarnya.
“Yang sedikit beda adalah kalau di Karnataka mereka memberikan mikroorganisme – berupa cairan dari kotoran sapi, urin, molase, dan lainnya yang difermentasi selama tiga hari – untuk menyuburkan tanah, sedangkan kami di Sukabumi menggunakan bahan yang padat seperti pupuk kompos ataupun bokashi untuk menyuburkan tanah,” ungkapnya.
Zero Budget Natural Farming
Sementara itu, Tejo Pramono, staf La Via Campesina menjelaskan bahwa masyarakat tani Karnataka menyebut konsep pertanian mereka dengan istilah Zero Budget Natural Farming (ZNBF) yang jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti “Pertanian Alamiah Tanpa Biaya”.
Menurut penuturan Tejo, penggagas ZNBF adalah seorang pria India bernama Subash Palekar. Secara filosofis, Palekar menunjukkan bahwa dalam tanaman sebenarnya sangat sedikit sekali yang diambil dari tanah, karena lebih banyak mengambil unsur dari udara atau dewa bayu, dari air atau tirta, dan dari matahari atau bagaskara. Menurutnya separuh dari tanaman hanyalah air, lalu selebihnya adalah unsur seperti nitrogen, karbon yang diambil dari udara, sisanya sangat sedikit yang diambil dari tanah. Melalui fotosintetis semua proses itu dilakukan, dan ketika biomassa atau tanaman itu dibakar, maka panas yang terkumpul selama pertmbuhan tanaman dikembalikan ke alam.
“Secara teknis ZBNF adalah membuat cairan dengan bahan dari kotoran sapi (bukan komposnya), urin sapi, jaggery atau semacam gula, tepung dari biji tanaman dikotil. Kesemua bahan tersebut dicampurkan dengan air dan difermentasikan selama 3 hari. Setiap hari diaduk dua kali. Pada hari ketiga cairan bisa diaplikasikan dengan menyiramkannya diantara tanaman yang ditata secara polikultur dan menerapkan mulsa dari bahan organik,” jelas Tejo.
“Melihat dari proses pembuatannya, saya mendapatkan kesan bahwa ZBNF adalah cara untuk menumbuhkan mikroorganisme yang dibutuhkan tanaman dengan cara murah. Sebagaimana kita ketahui, tanah merupakan kunci dari pertumbuhan tanaman. Dalam tanah yang subur terdapat banyak sekali mikroorganisme yang bisa menjadikan nutrisi bagi tanaman. Bila mikroorganisme tersebut tersedia, maka tanaman tidak perlu lagi dipupuk, karena semua unsur yang diperlukan oleh tanaman telah tersedia. Contohnya di hutan, tidak ada tanaman yang dipupuk tetapi semua tanaman tumbuh sangat subur. Bahkan di hutan, juga tanaman tidak diserang oleh hama dan penyakit,” papar Tejo.
Tejo juga menjelaskan bahwa selain dengan menyiramkan cairan yang disebut dengan istilah jiwabrutan, pola tanam tumpang sari menjadi kuncinya. Dalam hal ini pembuatan baris antara tanaman dikotil dan monokotil yang menjadi kunci, selain dengan mengatur tanaman berdasarkan kebutuhan kebutuhan penyinaran sinar matahari. Di antara baris-baris tanaman itulah cairan diberikan setiap bulan dua kali.
“Dari kunjungan melihat ZBNF di wilayah Karnataka ini saya makin meyakini, bahwa untuk menyelesaikan peliknya persoalan petani di Indonesia hanya bisa dilakukan dengan mentransformasikan model pertanian konvensional yang ada hari ini menjadi pertanian agroekologi. Pertanian agroekologi adalah pertanian yang memadukan antara sains modern dan sains tradisional petani dalam menselerasikan biodiversitas yang ada dan biodiversitas yang dirancang untuk menghasilkan pangan dan pertanian. Banyak orang sangat meremehkan soal agroekologi karena dianggap tidak modern. Mereka yang meremehkan soal agroekologi ini adalah penyembah sains kapitalis tanpa merefleksikan mengenai bagaimana pertanian yang ideal seharusnya bekerja dan bagaimana para petani kecil bisa berdaulat,” tambah Tejo.