JAKARTA. Mahkamah Kontistusi melanjutkan sidang pengujian Undang-Undang No 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura (UU Hortikultura) terhadap UUD 1945 dengan agenda mendengarkan keterangan DPR, ahli/saksi dari pemohon dan presiden (27/08).
Adapun perkara yang diajukan pihak pemohon yakni Asosiasi Produsen Perbenihan Hortikultura (APPH) adalah mengenai pasal 100 ayat 3 yang berbunyi “Besarnya penanaman modal asing dibatasi paling banyak 30 persen” dan Pasal 131 ayat (2) yaitu “Dalam jangka waktu empat tahun sesudah Undang-Undang ini berlaku, penanaman modal asing yang sudah melakukan penanaman modal dan mendapatkan ijin usaha wajib memenuhi ketentuan dalam Pasal 100 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).”
Menurut pihak pemohon dengan dengan adanya batas maksimal investasi saham asing akan membuat investor asing berpikir dua kali untuk melakukan investasi di Indonesia, dan hal tersebut dianggapnya dapat membuat persedian benih tidak mencukupi kebutuhan petani Indonesia.
Gunawan dari Indonesia Human Right Commision for Social Justice (IHCS) menganggap pasal 100 ayat (3) dan pasal 131 ayat (2) sudah seharusnya dipertahankan, karena dia menganggap persediaan benih untuk petani bisa terpenuhi tanpa adanya perusahaan asing.
“Petani kita seharusnya bisa berdaulat benih, selama ini yang terjadi adalah petani kelihatan ketergantungan akan impor benih akibat dari peraturan pemerintah sendiri. Dengan adanya UU ini petani dan perusahan lokal akan punya ruang untuk memenuhi sendiri kebutuhan benih” katanya.
Hal senada diungkapkan Agus Ruli Ardiansyah, Sekretaris Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI). Menurutnya, dengan dibatasinya ruang gerak penanaman modal asing yang notabene adalah perusahaan asing dalam perbenihan di Indonesia akan membuat petani penangkar benih lebih leluasa dalam menangkarkan benihnya, sehingga petani kecil bisa berdaulat benih.
“Jika sudah berdaulat atas benih, maka kedaulatan pangan bukan suatu hal yang mustahil untuk segera tercapai di Indonesia,” ungkap Agus Ruli di Jakarta siang ini (27/08).
Agus Ruli menambahkan, UU No.13 Tahun 2010 tentang Hortikultura ini sudah sejalan dengan hasil judicial review Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (UU SBT).
“Sebelum di-judicial review, UU SBT ini melarang petani melakukan pemuliaan tanaman, sejak dari mengumpulkan plasma nutfah hingga mengedarkan benih hasil pemuliaan. Setelah judicial review, petani kecil bisa menangkarkan benihnya dengan leluasa. Oleh karena itu, pasal 100 ayat 3 dan pasal 131 ayat (2) UU Hortikultura ini wajib dipertahankan, jika ingin negara kita berdaulat benih dan berdaulat pangan,” tambahnya.
Sementara itu, sidang hari ini berakhir pada pukul 13:00 WIB dan akan kembali dilanjutkan pada 10 September 2014 mendatang. (tom)