JAKARTA. Ribuan massa aksi yang merupakan gabungan petani dan buruh melakukan aksi damai, memperingati Hari Tani Nasional 2022, kemarin (24/09). Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyampaikan, tahun ini, tepat di hari H, 24 September 2022, petani SPI melakukan aksi bersama Partai Buruh.
“Kita menjadikan Hari Tani Nasional 2022 sebagai upaya refleksi situasi agraria, nasib dan kesejahteraan petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan di Indonesia. Kita meyakini bahwa perombakan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, dengan redistribusi melalui reforma agraria, merupakan jalan untuk mewujudkan negara sejahtera—dimana kemakmuran rakyat dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” kata Henry di Jakarta (24/09).
Henry melanjutkan, massa aksi menyoroti sepuluh pandangan terhadap pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Pertama, ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah. Berdasarkan data BPS, ketimpangan kepemilikan tanah pada 2013 mencapai 0,68, yang berarti 68% sumber daya tanah yang ada dikuasai oleh hanya 1% kelompok penduduk Indonesia. Ketimpangan ini yang menyebabkan konflik agraria masih terjaga dan sangat banyak yang belum kunjung selesai.
“Kedua, kemiskinan masih didominasi wilayah perdesaan. Jumlah penduduk miskin paling banyak tersebar di pedesaan, yakni 14,34 juta orang; sementara di wilayah perkotaan jumlah penduduk miskin mencapai 11,82 juta orang,” katanya.
Henry melanjutkan, poin ketiga adalah penyelesaian konflik agraria masih lambat. SPI mencatat sekurang-kurangnya terjadi 104 kasus konflik agraria selama tahun 2021. Poin keempat, progres redistribusi tanah bagi petani lambat. Reforma Agraria cenderung difokuskan hanya pada sertifikasi dan legalisasi, bukan upaya merombak ketimpangan penguasaan tanah dan menyelesaikan konflik agraria. Poin kelima, lahirnya UU Cipta Kerja yang berseberangan dengan semangat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 dan reforma agraria sejati.
“Poin keenam dan ketujuh adalah tidak dijalankannya UU No.18 tahun 2012 tentang pangan dan UU No.19 tahun 2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani (UU Perlintan),” lanjutnya.
Henry meneruskan, poin kedelapan adalah amburadulnya pendistribusian pupuk subsidi berakibat pada kelangkaan, sehingga banyak petani tidak mendapatkan pupuk subsidi. Sementara untuk, pupuk non-subsidi juga mengalami kenaikan harga yang cukup pesat.
“Poin kesembilan adalah tidak adanya jaminan harga yang layak bagi petani. Dan poin terakhir adalah tingkat kesejahteraan petani belum terwujud yang bisa dilihat dari fluktuatifnya nilai tukar petani (NTP),” sambungnya.
Dalam kesempatan yang sama, Said Iqbal, Presiden Partai Buruh menegaskan, untuk mengurai kepelikan pelaksanaan reforma agraria, pemerintah mesti mempercepat pelaksanaan reforma agraria sebagaimana amanat dari UUD 1945, UUPA 1960, dan TAP MPR-RI No.IX tahun 2001. Selanjutnya pemerintah harus menguatkan komitmennya terhadap kebijakan reforma agraria. Landasan hukum mengenai pelaksanaan reforma agraria harus diperkuat, yakni merevisi berbagai kelemahan Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, dan diperbarui ke dalam bentuk peraturan pemerintah bukan presiden. Selain itu perlu dibentuk wadah yang lebih ajeg dan utuh dalam hal penyelesaian konflik agraria, sebagai kelanjutan dari Tim PPKA-PKRA.
“Kebijakan jangka panjang pertanian Indonesia harus didasarkan pada prinsip kedaulatan pangan. Tidak memaksakan kehendak untuk memberlakukan kembali UU Cipta Kerja. Pemerintah harus menjamin akses yang setara bagi petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan. Oleh karena itu Peraturan Menteri Pertanian Nomor 67 Tahun 2016, terkait kelembagaan petani harus direvisi,” katanya.
Ia melanjutkan, pengalokasian anggaran di tahun 2022 untuk pembelian pangan dari petani dan koperasi petani dengan realisasinya dilakukan oleh pemerintah pusat, daerah dan BUMN seperti Bulog dan BUMN Pangan lainnya. Hal ini dapat mengatasi dua masalah sekaligus, yakni tidak terserapnya produksi pertanian dengan harga yang layak.
“Upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak petani dan orang yang bekerja di perdesaan dapat dilakukan pemerintah dengan mengharmonisasi Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan Masyarakat yang Bekerja di Pedesaan (UNDROP) dalam kebijakan pertanian nasional. Hal ini bukan hal yang sulit, mengingat pada dasarnya pemerintah Indonesia sudah memiliki peraturan perundang-undangan seperti UU Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan, UU Pangan, sampai dengan UU Perlintan;” lanjutnya.
“Pemerintah harus membatalkan peraturan/undang-undang yang tidak berpihak petani. Salah satunya adalah UU P3H, yang selama ini menjadi legitimasi dan legalitas untuk mengriminalisasi petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan dalam mempertahankan tanahnya yang dimasukkan ke dalam kawasan hutan,” sambungnya.
Said Iqbal menambahkan, jika dirangkum, pada ada peringatan Hari Tani Nasional Tahun 2022 ini, massa aksi menuntut pemerintah untuk melaksanakan reforma agraria dan selesaikan konflik agraria, menolak kenaikan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), dan menolak pemberlakuan omnibus law UU Cipta Kerja.