Meminggirkan Petani, Melanggengkan Korporasi Besar

Siaran Pers Catatan Akhir Tahun 2021

JAKARTA. Serikat Petani Indonesia (SPI) mengeluarkan catatan akhir tahun (catahu) di penghujung tahun 2021 melalui sebuah web seminar, Selasa (28/12). Ketua Umum SPI Henry Saragih menyampaikan, catahu ini adalah suatu ikhtiar untuk mengkaji peristiwa-peristiwa apa saja yang terjadi selama tahun 2021, dan berdampak bagi kehidupan petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan di Indonesia.

“Sumber utama dari catahu 2021 ini bersumber dari laporan-laporan yang dialami oleh anggota SPI di berbagai wilayah, BPS, kementerian terkait, serta informasi dari media massa, maupun informasi dari jejaring SPI di berbagai tingkatan,” kata Henry dari Medan, Sumatera Utara.

Situasi Kesejahteraan Sosial dan Ekonomi Makro 2021

Henry Saragih menjelaskan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, per Maret 2021 jumlah penduduk miskin di perdesaan masih lebih tinggi dibanding dengan penduduk miskin di perkotaan.

“15.37 juta di perdesaan, dan 12,18 juta di perkotaan. Tingginya angka kemiskinan di perdesaan menjadi hal yang perlu dan terus dijadikan perhatian, mengingat desa merupakan sentra produksi pangan,” kata Henry.

Henry menekankan, selama periode Agustus 2020 – Agustus 2021, BPS mencatat jumlah angkatan kerja sebanyak 140,15 juta orang, naik 1,93 juta orang dibanding Agustus 2020. Penduduk yang bekerja sebanyak 131,05 juta orang, naik sebanyak 2,60 juta orang dari Agustus 2020.

“Sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan masih memberikan kontribusi tenaga kerja terbesar dibandingkan sektor-sektor yang lain. Ada 28,33 juta orang yang bekerja di sektor pertanian. Mirisnya, pelaku sektor pertanian, petani kecil masih sering terlupakan hak-haknya,” kata Henry.

BPS selanjutnya mencatat bahwa perekonomian Indonesia pada kuartal III tahun 2021 masih didominasi oleh lapangan usaha industri pengolahan sebesar 19,15 persen; diikuti oleh pertanian, kehutanan, dan perikanan sebesar 14,30 persen; perdagangan besar-eceran, reparasi mobil dan sepeda motor sebesar 13,03 persen; konstruksi sebesar 10,39 persen; serta pertambangan dan penggalian sebesar 9,55 persen. Peranan kelima lapangan usaha tersebut dalam perekonomian Indonesia mencapai 66,42 persen.

“Hal yang menggembirakan dari data di atas adalah, pertanian tetap menjadi pilar utama ekonomi bahkan di tengah pandemi Covid-19,” lanjutnya.

Reforma Agraria dan Pembangunan Perdesaan

Henry memaparkan, langkah-langkah untuk mempercepat pelaksanaan reforma agraria telah diambil, dengan mengesahkan Peraturan Presiden RI (Perpres) Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah di Dalam Kawasan Hutan dan Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Hanya saja, realisasi dari kedua peraturan ini belum sesuai dengan harapan.

Ia melanjutkan, secara garis besar, program reforma agraria di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo menargetkan redistribusi tanah seluas 9 juta hektare yang meliputi target legalisasi aset seluas 4,5 juta hektare (3,9 juta hektare sertifikasi dan 0,6 juta hektare tanah transmigrasi) dan redistribusi tanah sebesar 4,5 juta hektar (4,1 juta hektare pelepasan kawasan hutan dan 0,4 juta hektare eks-HGU, tanah terlantar dan tanah negara lainnya).

“Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional RI mengklaim bahwa redistribusi tanah yang berasal dari tanah Ex-HGU, Tanah Telantar dan Tanah Negara Lainnya seluas 1,12 juta hektare atau 262,94 persen dari target 0,4 juta hektare. Adapun yang berasal dari pelepasan kawasan hutan, pemerintah telah meredistribusi seluas 268 ribu hektare. Sehingga total tanah yang telah diredistribusikan kepada masyarakat baru seluas 1,388 ribu hektar atau baru sekitar 31 persen dari target 4,1 juta hektare,” papar Henry.

Henry Saragih, Ketua Umum SPI

Henry melanjutkan, pada tanggal 29 Januari 2021 Kepala Staf Kepresidenan RI menandatangani Surat Keputusan Nomor 1B/T Tahun 2021 tentang Pembentukan Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria (PPKA-PKRA) Tahun 2021. Tim PPKA-PKRA dipimpin oleh Kepala Staf Kepresidenan RI, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional RI dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.

“Penyelesaian konflik agraria masih lambat. Permintaan presiden, ketika pembentukan Tim PPKA-PKRA Tahun 2021, untuk 50 % konflik agraria dapat diselesaikan tidak tercapai. Masih terkendala birokrasi dan administrasi, sehingga substansi reforma agraria tidak berjalan,” katanya.

Konflik Agraria

Henry melanjutkan, SPI mencatat selama tahun 2021, terjadi sekurang-kurangnya terjadi 104 kasus konflik agraria di berbagai wilayah Indonesia. Konflik agraria tersebut mengakibatkan 8 orang meninggal dunia, 62 orang mengalami luka-luka maupun cedera fisik, dan 119 kasus kriminalisasi maupun pemanggilan. Dari data tersebut, SPI mencatat konflik agraria masih didominasi oleh sektor perkebunan (46 kasus); diikuti oleh pertambangan (20 kasus); kehutanan (8 kasus); pesisir (4 kasus) dan Proyek Strategis Nasional (4 kasus).

“Terdapat 41 kasus di Pulau Sumatera, 18 kasus di Pulau Jawa, 11 kasus di Pulau Kalimantan, 19 kasus di Pulau Sulawesi, 7 kasus di Pulau Bali dan Nusa Tenggara, dan 8 kasus di Maluku dan Papua,” lanjutnya.

“Di internal SPI sendiri, selama tahun 2021 terdapat 12 peningkatan eskalasi konflik agraria di beberapa wilayah perjuangan anggota SPI: seperti di Tebo – Jambi, dengan PT. LAJ – Michelin; Tanjung Jabung Timur – Jambi, dengan PT. Kaswari Unggul; Pasaman Barat – Sumatera Barat, dengan Dinas Kehutanan. Dua kasus terakhir bahkan menggunakan UU Cipta Kerja sebagai dasar argumentasi untuk melakukan intimidasi dan pemanggilan petani anggota SPI,” sambungnya.

Henry menerangkan, substansi UU Cipta Kerja yang mengakomodir kepentingan modal dan investasi menjadi legitimasi untuk merampas tanah milik petani, masyarakat adat, dan orang-orang yang bekerja di perdesaan. Hal ini juga dapat dilacak lebih jauh dari pasal-pasal yang kontroversial di dalam UU Cipta Kerja maupun peraturan turunannya.

“Kontroversi-kontroversi tersebut kemudian mendorong SPI untuk melakukan uji formil ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Cipta Kerja. SPI yang tergabung dalam Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL), menempuh jalur konstitusional, karena melihat UU Cipta Kerja merupakan pembangkangan terhadap konstitusi. Gugatan yang diajukan KEPAL bukanlah yang satu-satunya,” terangnya.

“Tercatat terdapat 12 gugatan (uji formil maupun materiil) yang dilakukan oleh berbagai organisasi gerakan rakyat, seperti dari buruh, masyarakat adat, gerakan lingkungan dan pekerja migran,” sambungnya.

Henry menerangkan, Setelah melalui berbagai tahapan persidangan dalam waktu satu tahun, pada tanggal 25 November 2021 MK memutuskan UU Cipta Kerja cacat formil dan inkonstitusional bersyarat. Amar putusan MK juga menyatakan bahwa tidak dibenarkan untuk mengambil tindakan atau kebijakan strategis dan berdampak luas, termasuk menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.

“Hal ini merupakan kemenangan besar bagi para petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan. Putusan MK tersebut juga menjadi penanda bagaimana pemerintah tidak memiliki komitmen yang kuat, terhadap kepentingan-kepentingan rakyat banyak,” serunya.

Situasi Perbenihan

Henry menjelaskan, di tingkat nasional, terkait kebijakan benih pemerintah masih mengandalkan bantuan benih sebagai bentuk bantuan. Hanya saja, bantuan benih yang disalurkan oleh pemerintah juga belum baik secara kualitas. Seperti untuk benih padi, jagung, dan bawang.

“Laporan dari jejaring SPI menyebutkan benih jagung bantuan pemerintah produktivitasnya rendah, bahkan tidak tumbuh. Akibatnya petani mengalami kerugian karena harus mengeluarkan biaya tanam 2 kali,” katanya.

Henry memaparkan, sementara di tingkat internasional, Indonesia juga tengah didorong untuk untuk bergabung dengan International Union for the Protection of New Varieties of Plants atau UPOV. Hal ini merupakan konsekuensi dari ditandatanganinya perjanjian perdagangan bebas, salah satunya adalah Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU CEPA). Untuk menjadi anggota UPOV, negara-negara dipaksa untuk mengubah undang-undang/regulasi sesuai dengan ketentuan yang disyaratkan oleh UPOV, dan persetujuan oleh UPOV sendiri.

“Hal ini justru akan mendorong privatisasi benih melalui penyeragaman dan paten benih,” tegasnya.

Produksi dan Teritori

Henry menyampaikan, dalam konteks produksi, tata kelola pupuk bersubsidi menjadi sorotan selama tahun 2021 ini. Amburadulnya pendistribusian pupuk subsidi berakibat pada kelangkaan, sehingga banyak petani tidak mendapatkan pupuk subsidi. Selain itu, akses terhadap program tersebut, juga menjadi masalah yang dikeluhkan oleh para petani pada umumnya. Tidak hanya di pupuk subsidi, pupuk non-subsidi juga mengalami kenaikan harga yang cukup pesat.

“Hal ini selaras dengan temuan Ombudsman RI tentang tidak efektifnya tata kelola pupuk bersubsidi di Indonesia,” kata Henry.

Henry melanjutkan, dalam konteks teritori, didorongnya proyek food estate merupakan ancaman terhadap penguasaan teritori petani, masyarakat adat, maupun produsen pangan lainnya di perdesaan. Pengadaan tanah skala besar untuk proyek food estate yang relatif tanpa masalah, mengingat statusnya sebagai Proyek Strategis Nasional, berbanding terbalik dengan pelaksanaan reforma agraria, untuk memberikan tanah kepada petani kecil.

“Hal ini menunjukkan bahwa komitmen dan keberpihakan pemerintah terhadap petani kecil, masih belum utuh,” lanjutnya.

Stabilisasi Harga

Henry meneruskan, pandemi Covid-19 memiliki dampak yang besar terhadap perubahan distribusi hasil pertanian milik petani. Saat ini pergeseran ke pasar digital mulai tumbuh, akibat adanya perubahan perilaku konsumen. Perlu dipersiapkan infrastruktur digital yang menjamin kedaulatan petani, tanpa menghilangkan infrastruktur fisik.

“Oleh karena itu, keberadaan pasar lokal merupakan pilar penting dalam terwujudnya kedaulatan pangan,” imbuhnya.

Henry mengingatkan, gejolak harga beberapa bahan pangan terjadi selama tahun 2021.

“Rencana impor beras pada Maret 2021; harga jagung untuk pakan ternak di Oktober 2021; kenaikan harga daging ayam pada pertengahan September 2021; anjloknya harga komoditas cabai di awal September 2021; sampai impor gula konsumsi akibat penurunan produksi di setiap tahun,” katanya mengingatkan.

“Hal inilah yang kemudian direalisasikan dengan dikeluarkannya, Perpres Nomor 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional. Pembentukan Badan Pangan Nasional (Bapanas) sendiri merupakan mandat dari UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, tepatnya dalam Pasal 129, yang mengatur tentang pembentukan kelembagaan pangan,” lanjutnya.

Nilai Tukar Petani

Henry menerangkan., Nilai Tukar Petani (NTP) selama tahun 2021 belum ideal. Hal ini masih didominasi oleh subsektor tertentu saja, seperti perkebunan (sawit, kopi, dan kakao) yang tumbuh 8,34 persen didorong peningkatan produksi beberapa produk perkebunan seperti kelapa sawit, kopi, kakao dan tebu;

“Tanaman hortikultura mengalami kontraksi pertumbuhan 5,23 persen disebabkan penurunan produksi sayuran karena turunnya permintaan domestik maupun luar negeri; Tanaman Pangan mengalami kontraksi pertumbuhan 5,80 persen, disebabkan oleh penurunan produksi tanaman padi dan tanaman palawija lainnya karena berkurangnya luas panen,” katanya.

Kelembagaan Petani

Henry menjelaskan, pemerintah belum menjalankan putusan MK Nomor 87/PUU-XI/2013 terhadap Uji Materi UU Perlintan. Putusan ini sejatinya sudah ada sejak tahun 2014 yang lalu, namun belum kunjung direalisasikan.

“Dampak dari sikap pemerintah tersebut adalah terjadinya diskriminasi terhadap kelembagaan petani, dalam menikmati akses dan kesempatan yang setara terhadap bantuan dan program dari pemerintah;” keluhnya.

Henry menerangkan, salah satunya adalah kebijakan pupuk subsidi yang mengharuskan petani harus terdaftar sebagai anggota Poktan dan Gapoktan, untuk dapat dimasukkan dalam penyusunan Rencana Definitif Kelompok (RDK) dan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK); Kelembagaan pekebun, dalam PP26/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian (PP Turunan UU Cipta Kerja). Kelembagaan pekebun tersebut hanya dibatasi berupa Poktan, Gapoktan, Lembaga Ekonomi Petani dan Koperasi.

“Program 2.000 Duta Petani Milenial (DPM), Duta Petani Andalan (DPA) dan Pembentukan ‘Jaringan Pertanian Nasional’ (JPN). Program-program ini tidak mengakui dan memasukkan bentuk-bentuk kelembagaan petani lainnya, di luar dari Poktan dan Gapoktan,” imbuhnya.

Alokasi Anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk Petani

Henry menyarankan, untuk jangka pendek, program bantuan sosial masih memerlukan perbaikan, seperti: minimnya sosialisasi, rumitnya persyaratan dan alur birokrasi, ketidakjelasan informasi yang diberikan dan pemerintah di tingkat daerah membatasi pelaku usaha koperasi yang ingin mengakses program yang diberikan oleh pemerintah pusat;

“Dalam Kebijakan jangka panjang, SPI mencatat pemerintah melakukan kekeliruan dengan mengalokasikan anggaran untuk proyek food estate dan ketahanan pangan di Indonesia yang cukup besar, dengan pagu 117 triliun (keseluruhan untuk alokasi PEN2021 untuk program strategis nasional),” tegasnya.

“Pemerintah harusnya fokus untuk memaksimalkan peran dari Bulog ataupun BUMN Pangan, terkait penyediaan bantuan pangan selama pandemi Covid-19. Hal ini menjadi penting mengingat selama tahun 2021, petani dan produsen pangan skala kecil lainnya dihadapkan pada masalah rendahnya harga di tingkat petani dan kebutuhan untuk pangan dan sehat bergizi selama pandemi,” sambungnya.

UNFSS – Kendali Korporasi dalam Sistem Pangan

Henry mengingatkan, melalui forum United Nations Food System Summit – UNFSS di Juli 2021 lalu, pemerintah masih menggunakan konsep ketahanan pangan untuk melibatkan korporasi dalam sistem pangan saat ini. Ketahanan pangan yang masih menjadi konsep utama dalam pembahasan di UNFSS dikarenakan UNFSS sendiri merupakan forum yang diselenggarakan dan diarahkan oleh korporasi, bukan petani;

Kampanye global “Not In Our Names” bersama La Via Campesina, menolak UNFSS

“SPI menyayangkan keputusan pemerintah tersebut. Hal ini mengingat konsep ketahanan pangan sudah terbukti gagal dalam mengatasi kelaparan dan kemiskinan global yang terjadi saat ini. Ini dibuktikan dari ‘Krisis Pangan Global tahun 2008’ dan juga kesulitan-kesulitan yang dihadapi selama Pandemi Covid-19 saat ini, dimana petani selalu termarjinalkan oleh kebijakan-kebijakan di sektor pertanian,” terangnya.

COP26 – Solusi Palsu Krisis Iklim

Henry menambahkan, sikap pemerintah di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait Perubahan Iklim atau COP26 di Glasgow November 2021 lalu yang menyepakati mekanisme perdagangan dan pembiayaan karbon, akan memperbesar potensi perampasan ruang hidup petani, masyarakat adat, dan masyarakat yang hidup di sekitar kawasan hutan;

“Hal ini yang dikenal dengan istilah green grabbing, dimana kerap kali upaya-upaya konservasi, penetapan kawasan hutan, mengabaikan keberadaan dan hak-hak masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan,” katanya.

“Belum lagi kecenderungan dari pemerintah untuk mendorong adanya penempatan dan peningkatan teknologi pertanian seperti artificial intelligence atau kecerdasan buatan dan model ‘Pertanian Pintar Iklim’ atau Climate Smart Agriculture, yang memperkenalkan benih yang tahan perubahan iklim. Selama hal tersebut masih menggunakan pendekatan industrial, ini akan mengabaikan hak-hak petani dan produsen pangan skala kecil lainnya,” sambungnya.

Perjanjian Perdagangan Bebas

Henry menutup, SPI mencatat selama tahun 2021 ini, terdapat 6 perjanjian perdagangan bebas yang tengah dalam proses ratifikasi, sudah diratifikasi bahkan tengah diimplementasikan oleh pemerintah Indonesia.

“Berbagai perjanjian perdagangan bebas tersebut memasukkan sektor pertanian sebagai pembahasan. Konsekuensinya, hal ini akan berdampak langsung bagi kehidupan petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan,” tutupnya.

Kontak Selanjutnya:
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668

Versi lengkap Catatan Akhir Tahun 2021 SPI bisa diunduh di sini.

ARTIKEL TERKAIT
Pelarangan Ekspor CPO dan Minyak Goreng: Momen Perombakan Ke...
Penuh Cobaan Buat Petani, Kedaulatan Pangan dan Reforma Agra...
(Kiri) Ketua Umum SPI Henry Saragih - (Kanan) Presiden RI Joko Widodo Presiden Jokowi, Menteri Pertanian, Gubernur, Bupati Tanam P...
Pertemuan DPP SPI dengan Wapres RI KH Ma'ruf Amin : Jalan Pe...
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU