Jakarta. Pada Selasa, 27 Februari 2024, Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama dengan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Aksi ini dilakukan sebagai respon atas diselenggarakannya Konferensi Tingkat Menteri ke-13 WTO di Abu Dhabi, Uni Arab Emirat pada 26-29 Februari 2024. Tema utama dalam aksi ini adalah “Tolak Liberalisasi Perdagangan, Indonesia Keluar dari WTO” karena melihat pengaruh WTO berdampak buruh bagi rakyat, khususnya para petani kecil di Indonesia.
Rezim Perdagangan Bebas: Korporasi vs Petani Kecil
Sejak awal, motif pendirian WTO adalah menjadi organisasi antar pemerintah yang mengatur perdagangan internasional dengan menjadikan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) sebagai pedoman. Prinsip utama GATT adalah liberalisasi perdagangan, yakni menghapus segala hambatan perdagangan baik tarif ataupun non-tarif agar terwujudnya perdagangan yang “adil”. Sehingga, negara tidak diperbolehkan untuk memberlakukan tarif atau non-tarif dalam menjalankan perdagangannya dalam rangka melindungi perekonomian rakyatnya. Tidak adanya perlindungan dari negara ini pada akhirnya membuat petani kecil yang memproduksi pangan termarjinalkan karena dipaksa bersaing dengan korporasi yang memiliki keuntungan dalam hal kapital.
Pembukaan Keran Impor Pangan dan Intervensi WTO
Kebijakan impor pangan merupakan kebijakan yang amat merugikan bagi para petani produsen pangan skala kecil di Indonesia. Contohnya dapat dilihat dari dampak yang ditimbulkan dari kebijakan impor 3 juta ton beras di tahun 2024 ini yang membuat turunnya harga gabah ditingkat petani di berbagai daerah. Kerugian petani akan semakin besar mengingat di beberapa daerah sudah mulai memasuki musim panen. Kebijakan impor pangan ini linier dengan prinsip WTO, yakni membebaskan perdagangan tanpa mempertimbangkan nasib dari produsen dalam negeri. Sejauh ini, Indonesia telah beberapa kali mendapatkan intervensi WTO untuk tidak membatasi impor pangannya, seperti pada tahun 2021 dalam kasus impor daging ayam yang mana Indonesia dinyatakan bersalah karena membatasi impor. Intervensi yang sama juga terjadi pada tahun 2017 dalam kasus impor hortikultura dan produk hewan. Pada akhirnya, intervensi WTO tersebut terakomodir dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), yang mana undang-undang ini mengatur agar liberalisasi perdagangan semakin massif.
Pertanian Keluar dari WTO dan Wujudkan Kedaulatan Pangan
Berdasarkan penjelasan di atas, maka Serikat Petani Indonesia terus menuntut pemerintah untuk mengeluarkan pertanian dari mekanisme WTO. Selain alasan-alasan di atas, perdagangan bebas WTO tidak sesuai atau melanggar UNDROP yakni Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan Orang yang Bekerja di Pedesaan. Meskipun selama ini Pemerintah Indonesia bersama negara G33 dalam tiap perundingan WTO selalu menyuarakan pengecualian perdagangan bebas untuk produk pertanian dalam klausul Public Stock Holding (PSH) dan Special and Differential Treatment (SDT), SPI menilai bahwa upaya tersebut tidak memiliki kekuatan mengingat penolakan-penolakan dari negara-negara maju serta melanggar prinsip dari WTO itu sendiri. Oleh karena itu, selain keluar dari WTO, SPI terus menuntut pemerintah untuk berkomitmen dalam mewujudkan kedaulatan pangan yakni konsep pemenuhan pangan melalui produksi lokal. Kedaulatan pangan merupakan konsep pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi baik dan sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.