SIARAN PERS BERSAMA
PADANG. Senin 6 Maret 2016 2017 bagai petir di siang bolong, Gubernur Sumatera Barat mengeluarkan Surat Edaran bernomor 521.1/1984/Distanhorbun/2017 dengan maksud melakukan percepatan tanam padi di Sumatera Barat. Percepatan ini dibutuhkan gubernur untuk mendongkrak target swasembada pangan berkelanjutan melalui upaya khusus. Untuk mewujudkan program tersebut Gubernur memerintahkan keterlibatan TNI AD dan UPT Pertanian Kecamatan.
Bahwa substansi dari Surat Edaran Gubernur tersebut dapat mengancam merebut pengelolaan lahan persawahan petani di Nagari/Desa dan secara jelas telah melanggar konstitusi dan hak-hak petani yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dalam hal ini perlindungan dan pemberdayaan petani harus dilakukan secara sistematis, menyeluruh, transparan dan akuntabel. Apalagi dengan melibatkan aparat militer karena urusan pertanian bukanlah kewenangan TNI sebagaimana Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Gubernur berdasarkan edaran ini telah menarik dan memposisikan TNI sebagai pihak yang berbisnis dalam bidang pertanian, semangat keikutsertaan TNI bukan dilandasi semangat mendukung petani secara sukarela, padahal TNI tidak diperbolehkan berbisnis sebagaimana Pasal 39 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Justru keterlibatan TNI untuk memaksa pengambil alihan pengelolaan lahan petani jika tidak ditanami kembali setelah 15 hari dapat meminggirkan hak-hak petani. Apalagi pembagian hasil 80% untuk TNI dan UPT Pertanian (Pengelola) dan 20 % untuk petani dari keuntungan yang telah dikembalikan kepada pengelola. Kententuan ini kembali bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dan secara terang diduga memberikan wadah bisnis bagi TNI dan Pemerintah terhadap lahan petani.
Selain itu Gubernur dalam surat edaran tersebut jelas tidak memperhatikan teknis pertanian dan permasalahan yang dihadapi oleh para petani itu sendiri. Petani untuk melakukan penanaman kembali membutuhkan waktu untuk pengolahan hasil panen sebelumnya, menunggu masa produktifitas tanah secara alami, menunggu jatah pengairan air/irigasi, menunggu himbauan turun kesawah sesuai dengan kearifan lokal setempat. Keseluruhan aktifitas tersebut tentunya tidak bisa dipenuhi dengan yang penyeragaman waktu antar wilayah satu dengan wilayah lainnya di Sumatera Barat.
Jika Gubernur komprehensif melihat persoalan pertanian di Sumatera Barat, letak lemahnya bukan pada sumber daya manusia dalam pengeloaan lahan, melainkan kekurangan daya dukung infrastruktur penunjang, subsidi kebutuhan dan pendanaan. Surat Edaran Gubernur ini merupakan keputusan yang keliru, secara hukum melabrak banyak peraturan perundang-undangan, secara teknis pertanian sangatlah dipaksakan, secara sosial budaya masyarakat juga tidak tepat.
Berdasarkan uraian diatas, oleh karena itu kami Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat (KMSS) menuntut kepada Gubernur Sumbar agar:
Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Barat, LBH Padang, Walhi Sumbar, Perkumpulan Qbar, PBHI Sumbar, LP2M, YCMM, Integritas, Aksara Berkaki, PHP Unand, LAM&PK FH-UA, WKSosKem dan individu yang bersolidaritas.
Padang, 20 Maret 2017
#SAVEPETANI #CabutSEGubernur #FARMERINDANGER #TOLAKTANAMPAKSA