JAKARTA. Hari ini, 8 Juli 2011 Serikat Petani Indonesia (SPI) merayakan ulang tahunnya yang ke-13. Tepat 8 Juli 1998, SPI dideklarasikan di Desa Lobu Roppa, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Di Usianya yang ke-13 ini, SPI terus berbenah untuk bisa terus konsisten dalam memperjuangkan kepentingan petani kecil, berusaha menegakkan kedaulatan pangan melalui pertanian berkelanjutan dan anti terhadap neoliberalisme dan neokapitalisme agar tercapai reforma agrarian yang sejati.
Berikut ini adalah petikan wawancara langsung dengan Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia mengenai Ulang Tahun SPI yang ke-13.
Redaksi : “Tema ulang tahun SPI tahun ini adalah terus menegakkan kedaulatan pangan untuk atasi krisis pangan di Indonesia. Bisa tolong dijelaskan?”
Henry Saragih : “Pemilihan tema ulang tahun SPI yang ke-13 itu karena sejak berdiri SPI secara langsung berusaha memperjuangakan kedaulatan pangan untuk rakyat Indonesia dan kita melihat perjuangan itu sampai hari ini belumlah mencapai yang dicita-citakan petani SPI maupun rakyat Indonesia. Bahkan keadaan hari ini persoalan pangan justru semakin serius dibandingkan ketika SPI berdiri tahun 98 yang lalu karena dampak kebijakan neoliberalisme, privatisasi, liberalisasi dan deregulasi perdagangan bebas di bidang pangan. Semakin hari persoalannya semakin menggurita.
Redaksi : “Jadi bisa dikatakan bahwa keadaan negara ini jauh lebih buruk dibandingkan tahun 1998?”
Henry Saragih: “Pada 1998 keadaaan waktu itu tidak bisa dibilang sangat baik, tapi sistem ekonomi dan politik hari ini jauh lebih buruk dibandingkan era 1998. Karena waktu itu setidaknya perdagangan pangan masih dilindungi oleh pemerintah. Sekarang ini pangan benar-benar dijadikan sebagai barang komoditas, karenanya gejolak harga pangan saat ini jauh lebih parah dan lebih buruk dari rezim Soeharto. Sistem sekarang ini lebih buruk dari yang dulu. Semakin tua kemerdekaan Indonesia, target kemiskinan justru tidak berkurang. Kemiskinan tidak berkurang. Kemiskinan juga identik dengan orang yang kekurangan pangan. 50 hingga 70 persen masyarakat yang tinggal di pedesaan serta kaum menengah ke bawah penghasilannya dihabiskan membeli bahan pangan.”
“Logika berikutnya bahwa prinsip perjuangan yang dicanangkan sejak 1998 tentang perjuangan Pembaruan Agraria Sejati, pembangunan pertanian kerakyatan dan prinsip-prinsip kedaulatan pangannya semakin benar. Karena menurut kita, kita harus semakin teguh dalam pendirian kita dan semakin gigih dalam menjalankan kerja-kerja perjuangan. Semakin nyata neoliberalisme dan kapitalisme tidak bisa menghapuskan kelaparan. Rezim di bawah WTO, World Bank, IMF tidak bisa dijadikan andalan menghapuskan kelaparan. FAO juga gagal dengan konsep ketahanan pangannya. Pada tahun 1996 terdapat 825 juta jiwa masyarakat dunia yang kelaparan, saat ini justru sudah lebih 1 milyar. Target World Food Summit 1996 untuk menghapuskan kelaparan 50% pada tahun 2015 itu gagal. Millenium Development Goals yang ingin menghapuskan kemiskinan juga tidak tercapai.”
Redaksi : “Bagaimana keadaan saat ini?”
Henry Saragih : “Kondisi rakyat semakin berat tapi semakin membuka mata rakyat bahwa konsep-konsep yang sudah lama ditawarkan SPI bisa menjadi alternatif.”
Redaksi : “Bagaimana kondisi perjuangan SPI di tahun-tahun pertama kelahirannya?”
Henry Saragih : “Pada awal berdiri SPI memasuki massa setelah rezim Soeharto yang sentralistik, militeristik, dan otoritarian. Pada saat itu rakyat lebih banyak menuntut soal otonomi, demilitarisasi, namun rakyat justru terjebak terhadap penyederhanaan persoalan negeri ini yang hanya berkutat kepada KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), militerisme, dan sentralisme. Rakyat menganggap semua bisa diselesaikan dengan demokrasi padahal akhirnya terjebak pada demokrasi liberal dan ekonomi liberal. Ketika itu kaum tani Indonesia belum cukup terdidik untuk memahami persoalan Indonesia dan untuk berperan di dalam kekuatan politik dan ekonomi di Indonesia.”
Redaksi : “Jadi bagaimana seharusnya?”
Henry Saragih : “Rakyat Indonesia harus semakin sadar dan merapatkan barisan untuk menegakkan kedaulatan pangan. Ini bisa dicapai jika petani dan rakyat Indonesia memiliki kedaulatan politik. Kedaulatan pangan tidak bisa dicapai jika tidak memiliki kedaulatan politik.”
Redaksi : “Bagaimana SPI untuk ke depannya?”
Henry Saragih : Arahan ke depan SPI akan terus menggerakkan rakyat untuk merebut kedaulatannya di bidang pangan dengan memperjuangkan penguasaan terhadap sumber-sumber agraria dan juga mendesak kepada negara agar dilakukan perlindungan terhadap perdagangan dalam negeri, membangun pertanian rakyat, membangun badan-badan usaha ekonomi rakyat seperti koperasi seperti industri-industri pedesaan yang mengolah hasil-hasil pertanian rakyat.
Redaksi:” Apa Pencapaian SPI selama 13 tahun ini?”
Henry Saragih: “Alhamdulillah, sudah bisa terbangun organisasi tani yang kokoh dari tingkat basis yang tersebar di 15 provinsi di Indonesia. Selanjutnya perjuangan dari kampung ini juga telah sampai diakui hingga taraf internasional. Kita juga telah berhasil mendorong agar pembaruan agraria menjadi agenda politik nasional dan kita telah berhasil merebut dan mempertahankan ratusan ribu hektare tanah yang seharusnya memang menjadi milik petani kecil. SPI juga telah mencetak kader-kader petani di pusat pendidikannya, serta membangun dan melestarikan benih-benih lokal Indonesia. Dengan praktek pertanian berkelanjutan dan pertanian agroekologisnya SPI telah menghadirkan model pertanian alternatif yang lebih menguntungkan dan lebih ramah kepada alam dengan menggantikan model pertanian agribisnis. SPI bersama gerakan masyarakat sipil lainnya juga telah berhasil melakukan Petisi Kedaulatan Pangan Rakyat Indonesia sebagai upaya untuk merebut kembali kedaulatan pangan yang sudah semakin menjauh dari rakyat Indonesia sendiri.”
Redaksi: “Apa harapan anda untuk SPI di ulang tahunnya yang ke-13 ini?”
Henry Saragih: “Bagaimana agar SPI tetap komitmen dan semangat dalam perjuangannya. Setiap kader SPI harus terus memegang teguh prinsip-prinsip perjuangan yang sudah dicanangkan. Pengurus dan kader-kader SPI agar terus mempraktekkan prinsip dalam membangun pertanian keluarganya. Kemudian kader dan pengurus harus menyiapkan diirnya untuk menyongsong masa depan kaum tani yang tidak hanya memperjuangkan kedaulatan pangan, tapi juga kedaulatan politik, karena tanpa adanya kedaulatan politik rakyat, kedaulatan pangan tidak akan tercapai bagi Indonesia, seperti juga kedaulatan bidang energi dan keuangan dan juga kedaulatan keamanan di negeri ini.”