JAKARTA. Krisis pangan yang melanda dunia menjadi perhatian penting khususnya oleh negara-negara anggota G 20. Apalagi krisis pangan juga melanda setidaknya 25 negara di Asia, hampir 60% dari total kelaparan di seluruh dunia berada di Asia dan Pasifik. Sebagai salah satu anggota G 20, Indonesia telah menyuarakan penghentian spekulasi perdagangan komoditi berjangka pangan, yang dianggap sebagai penyebab krisis pangan. Tentu perlu dikaji lebih dalam kaitan antara krisis pangan, spekulasi, dan berbagai sebab struktural pertanian yang lebih mendasar, sehingga memungkinkan dunia masih terpuruk dalam bencana kelaparan. Setelah itu perlu dicari solusi-solusi permanen untuk mencegah krisis pangan dan berbagai krisis global lainnya berulang.
Setidaknya hal di atas tersebut yang menjadi bahan pembicaraan utama dari Diskusi Menyikapi Pertemuan Tingkat Menteri Pertanian G 20, dengan tema “Menghentikan Kelaparan, Melawan Spekulasi dan Korporatisasi Pangan”. Acara ini diselenggarakan bersama oleh Serikat Petani Indonesia (SPI), Koalisi Anti Utang (KAU) dan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) di Hotel Cemara, Jakarta, tadi pagi (21/06).
Pada sesi pertama diskusi ini menghadirkan Yuyun Harmono (KAU), Berry Nahdian Furqan (WALHI), dan Tofery P. Soetikno dari Kementerian Luar Negeri.
Melalui materinya Yuyun Harmono menyampaikan bahwa krisis harga pangan saat ini adalah peranan para bankir, hedge fund (pengelola dana investasi) dan perusahaan agrobisnis transnasional (TNCs). Yuyun mengutip ucapan beberapa ahli yang menyebutkan bahwa setelah mendapatkan terjadinya bail out mereka (bank-bank) tidak menggunakan dana tersebut untuk investasi yang lebih produktif maupun kredit untuk rakyat. Mereka menggunakannya untuk spekulasi komoditi pangan. Setelah sektor finansial lumpuh, mereka berbondong-bondong mengalihkan dananya di pasar komoditas, baik tambang maupun pangan. Selanjutnya untuk TNCs, Yuyun mencontohkan perusahaan Glencore yang berhasil melobi pemerintah Rusia untuk menghentikan ekspor gandum. Hal tersebut mendorong naiknya harga, lalu glencore menjual stok yang dimilikinya dengan harga 15% lebih mahal dari harga normal. Hal ini mengakibatkan Glencore mengalami keuntungan sebesar 145 Juta Dollar Amerika pada tahun 2010.
“Oleh karena itu, usaha meredam maraknya spekulasi pangan seperti yang diserukan oleh pimpinan G 20 tidak akan banyak membawa perubahan tanpa disertai perombakan tatanan pertanian, perdagangan, dan keuangan global,” ungkap Yuyun.
Sementara itu, Berry Nahdian Furqan mengupas tentang kebijakan sawit di Indonesia yang mengancam kedaulatan pangan rakyatnya. Kebijakan sawit di Indonesia bukan hanya berpotensi menimbulkan konflik antara perkebunan dengan petani kecil, tetapi juga merusak ekosistem lingkungan sekitarnya. Berry mencontohkan wilayah Kalimantan Selatan yang selalu mengalami banjir besar di musim hujan karena tutupan hutannya telah didominasi oleh tumbuhan kelapa sawit.
Tofery P. Soetikno dari Direktorat Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup Kementerian Luar Negeri menyampaikan bahwa G-20 juga telah melakukan langkah kongkrit untuk mengatasi fluktuasi harga pangan seperti memperkuat konsep ketahanan pangan, memperkuat regulasi pasar derivatif untuk membatasi spekulasi yang berlebihan, memperkuat investasi di sektor pertanian, investasi penelitian dan pembangunan infrastruktur pertanian, dan sebagainya.
“Kami juga tetap menerima saran dari rekan-rekan sekalian untuk bisa dibawa ke pertemuan para menteri pertanian G 20 di Paris pada 22-23 Juni nanti yang membicarakan tentang krisis pangan dunia yang terjadi saat ini,” ucap Tofery.
Kedaulatan Pangan Solusi Krisis Pangan
Untuk sesi kedua diskusi ini menghadirkan dua orang pembicara yakni Henry Saragih (Serikat Petani Indonesia-SPI) dan Honing Sanni, anggota Komisi IV-DPR RI.
Honning Sani menyampaikan bahwa G 20 hanyalah menjadikan Indonesia sebagai pasar untuk industri global. Menurutnya konsep ketahanan pangan kuranglah tepat, yang tepat adalah konsep kedaulatan pangan.
“Saya juga mendukung reforma agraria di Indonesia dengan membagi-bagikan tanah kepada petani,” ucapnya.
Selanjutnya, Henry Saragih yang juga Koordinator Umum La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) memaparkan bahwa Indonesia tidaklah pantas berada di forum G 20 yang berisi negara-negara maju dan kaum pemodal yang didominasi oleh korporasi-korporasi yang hanya mengejar keuntungan belaka.
“Indonesia hanyalah menjajakan sumber daya alamnya untuk dikeruk oleh negara-negara maju tersebut,” ungkapnya.
Henry kemudian menjelaskan bahwa krisis harga pangan dunia ini disebabkan karena pangan telah menjadi komoditas dan masuk ke bursa saham dunia. Hal ini menyebabkan spekulasi dan liberalisasi pangan—terutama dalam praktek perdagangan komoditas pertanian yang menghancurkan pasar dan harga domestik, mengancam kedaulatan pangan rakyat, serta membuat perdagangan pertanian semakin tidak adil. Dampak terbesar dari krisis ini dialami oleh petani, hingga konsekuensinya adalah peningkatan pelanggaran hak atas pangan rakyat—satu dari enam orang di dunia saat ini menderita kelaparan.
Henry melanjutkan bahwa pemerintah Indonesia melalui pertemuan Forum Ekonomi Dunia Asia Timur (World Economic Forum East Asia, digelar di Jakarta 12-13 Juni 2011) justru mendorong peningkatan peran korporasi dalam penyelesaian krisis pangan yang melibatkan korporasi-korporasi transnasional seperti Nestle, Dupont, Cargill, Monsanto, Bunge, McKinsey, ADM, SwissRA, Kraft, Sygenta dan lainnya.
“Oleh karena itu dalam level internasional, La Via Campesina telah menginisiasi konsep pemenuhan pangan melalui produksi lokal yang dikenal dengan Kedaulatan Pangan. Kedaulatan pangan merupakan konsep pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi baik dan sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Artinya, kedaulatan pangan sangat menjunjung tinggi prinsip diversifikasi pangan sesuai dengan budaya lokal yang ada. Kedaulatan pangan juga merupakan pemenuhan hak manusia untuk menentukan sistem pertanian dan pangannya sendiri yang lebih menekankan pada pertanian berbasiskan keluarga—yang berdasarkan pada prinsip solidaritas–bukan pertanian berbasiskan agribisnis—yang berdasarkan pada profit semata, ” jelas Henry.
“Pada Februari 2011 lalu, SPI bersama gerakan masyarakat sipil lainnya juga telah meluncurkan kampanye Petisi Kedaulatan Pangan Rakyat Indonesia yang diharapkan mampu mengatasi persoalan krisis pangan di Indonesia ini,” tambah Henry.
==
Untuk Briefing Paper dari SPI-KAU-WALHI mengenai diskusi ini, bisa diunduh disini