Dukung skema pelestarian hutan dan lingkungan berbasis hak dan kearifan lokal rakyat

JAKARTA–Menurut sebuah briefing paper yang dirilis hari ini oleh koalisi organisasi lingkungan hidup dan keadilan sosial dari Indonesia dan Australia, rencana pemerintah Australia baru-baru ini untuk membangun skema offset karbon di hutan Indonesia ternyata masih tersangkut banyak masalah. Masalah-masalah tersebut diantaranya ketidakpastian tentang pengurangan emisi dari rencana ini, perdebatan solusi palsu untuk perubahan iklim, dan juga penolakan masyarakat adat. Selain itu, proyek tersebut tidak akan memecahkan akar masalah penggundulan hutan di negeri ini.

Laporan tersebut, berjudul REDD Offsets: Australia’s new Scam for Copenhagen, memfokuskan pada suatu proyek offset karbon di kawasan hutan yang termasuk yang paling terdepan di seluruh dunia dan terletak di lahan gambut di propinsi Kalimantan Tengah. Proyek ini—yang didanai oleh AusAID (Program Bantuan Luar Negeri Australia)—bernama Kemitraan Hutan dan Iklim Kalimantan (Kalimantan Forests and Climate Partnership) dan diharapkan memperlihatkan bahwa perdagangan karbon hutan harus masuk dalam kerangka pembicaraan perubahan iklim di tingkat internasional. Akan tetapi, penduduk lokal melawan penggunaan hutan untuk offseting emisi Australia dan mendesak negara tersebut untuk membuat skema tersebut di dalam negeri dan tanahnya sendiri.

Perdagangan dan offsetting karbon adalah salah satu skema solusi yang ditawarkan dalam pembicaraan perubahan iklim UNFCCC, terutama dalam kerangka REDD (Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Lingkungan). Namun, sesatnya Indonesia malah menjual tanah dan lautnya untuk mendapatkan keuntungan dari skema ini—sementara keselamatan rakyat dan hak atas tanah malah ditinggalkan.

Aktivis lingkungan, petani, masyarakat adat dan gerakan rakyat pada umumnya sangat setuju dengan pelestarian alam dan perlindungan hutan. Kehidupan dan nafkah mayoritas rakyat bahkan masih sangat tergantung pada keberlanjutan hutan, danau, sungai, lahan gambut dan rawa. Dan dalam banyak kasus, masyarakat adat dan penduduk yang tinggal di sekitar hutan sudah menanam pohon lagi dengan jumlah ribuan hektar. Rakyat juga setuju dan sudah lama menjaga keberlangsungan hutan tersebut lewat sistem hutan adat dan komunal. “Hal ini berbeda dengan skema perdagangan karbon internasional yang cenderung neokolonialistik, dan di sisi lain secara fundamental tidak mengakui hak tanah dan hak komunal rakyat—terutama masyarakat adat,” ungkap Tejo Pramono dari Serikat Petani Indonesia (SPI).

Hak atas tanah adalah salah satu perdebatan di antara mekanisme perdagangan global dan perubahan iklim, di mana skema yang ditawarkan kesepakatan internasional seringkali kontraproduktif dengan penegakan hak atas tanah dan juga tidak memecahkan masalah mendasar perubahan iklim.

“Ini judulnya Indonesia dijadikan sebagai ‘toilet karbon’ emisi Australia. Padahal selama beberapa dekade Indonesia sudah dipengaruhi oleh konflik agraria dan pelanggaran HAM. Sebelum hak atas tanah dan hak komunal rakyat dan masyarakat adat diakui, skema REDD hanya akan memperparah konflik tersebut,” ujar Teguh Surya dari Walhi.

“Komitmen Australia sebesar 30 Juta dollar selama empat tahun untuk proyek ini adalah bukti bahwa bantuan asing baik dalam bentuk hibah maupun utang bertendensi untuk melanggengkan kepentingan negara donor. Demi melayani industri di Australia yang rakus energi kotor, pemerintah Australia melempar kewajiban untuk menurunkan emisi dengan dalih hibah dan utang kepada pemerintah Indonesia” tegas Dani Setiawan Ketua Koalisi Anti Utang

“Pemerintah Australia harus menjelaskan proyek ini: tujuan utama skema offset karbon, termasuk proyek di Kalimantan yang didanai dengan utang adalah untuk memberi pilihan offset yang murah ke perusahaan Australia yang kotor, supaya perusahaan tersebut tidak terpaksa mengurangi emisi secara langsung. Sementara utang tersebut digunakan untuk kepentingan ekonomi Australia, dan bukan untuk kepentingan masyarakat Indonesia”, ujar James Goodman dari AidWatch Australia.

Serikat Petani Indonesia, Walhi, KAU, LSADI melawan semua skema karbon offsetting hutan, dan menuntut pemecahan masalah konflik agraria di Indonesia. Gerakan rakyat percaya bahwa proyek percobaan skema REDD termasuk yang terjadi di Kalimantan Tengah ini harus dihentikan jika tidak memenuhi hak-hak mendasar rakyat dan tidak dilakukan menurut kearifan lokal masyarakat adat dan penduduk setempat. Di sisi lain, skema alternatif untuk menghempang laju perubahan iklim yang dilakukan rakyat harus didukung—terutama yang benar-benar fundamental memecahkan masalah pemenuhan hak-hak rakyat (sosial, ekonomi, budaya) dan mendinginkan planet bumi (ekologi).

ARTIKEL TERKAIT
Perkokoh Persatuan dalam Memperjuangkan Pembaruan Agraria Se...
Koperasi Bukit Kijang dan Unit-Unit Usaha Bersama SPI Koperasi Bukit Kijang dan Unit-Unit Usaha Bersama SPI
SPI & La Via Campesina di COP 21 Paris: Agroekologi & Kedaulatan Pangan Satu-Satunya Jalan Keluar Krisis Iklim SPI & La Via Campesina di COP 21 Paris: Agroekologi & Kedaul...
Petani SPI Kalimantan Selatan Datangi Kementerian Agraria da...
BERIKAN KOMENTAR ...

INFO TERBARU