PEKANBARU. Tidak hanya di ibukota, aksi menuntut segera dilaksanakannya reforma agraria sejati juga serentak dilakukan di hampir setiap provinsi di Indonesia. Di Pekanbaru misalnya, para petani SPI bersama ratusan massa aksi lainnya yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Pemulihan Hak Rakyat Indonesia melakukan long march menuju kantor DPRD dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau (12/01).
Massa aksi yang terdiri atas Serikat Petani Indonesia (SPI), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), SPKS, JMGR, AMAN, LBH Pekanbaru, HMI MPO, Hakiki, Mapala UIR dan organisasi lingkungan ini menuntut penyelesaian konflik agraria.
“Kami semua ingin permasalahan konflik agraria terjadi di Riau ini dituntaskan, karena petani kecil yang dirugikan, seperti kasus yang terjadi di Tapung Hilir-Kampar,” kata Juli, petani SPI Riau.
Di kantor DPRD, Aksi massa disambut dua anggota DPRD Riau dari Komisi B, dan mereka berjanji akan menampung setiap aspirasi yang datangnya dari rakyat kecil.
Aksi serupa juga dilakukan para petani SPI di Jambi. Ratusan massa juga melakukan aksi mendesak segera direalisasikannya reforma agraria sejati yang berdasarkan UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 (12/01).
Sarwadi Sukiman, Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) SPI Jambi menyampaikan bahwa dari total 5,1 juta hektar luas Provinsi Jambi, lebih dari 3 juta hektar sumber kekayaan tanah dikuasai oleh korporasi hutan, perkebunan skala besar dan tambang.
“Di Kabupaten Merangin, lebih dari lima orang anggota Serikat Petani Indonesia dikriminalisasi, karena dituduh merambah dan merusak hutan, rumah petani dibakar, tanaman kopi dirusak, dan baru pada bulan Desember 2011, kembali rumah petani dibakar, dihilangkan hak asasi ekonominya, apakah begini cara-cara pemerintah dan proyek konservasi mengurus hutan? Sangat tidak beradab dan tidak manusiawi!,” papar Sarwadi.
Massa aksi sendiri sempat “menyegel” kantor Dinas Kehutanan Jambi. Massa juga melakukan dialog dengan Kapolda Jambi, dan melakukan rapat penyelesaian sengketa agraria di kantor Gubernur Jambi.
Sementara itu, Dewan Pelaksana Wilayah (DPW) SPI Lampung, bersama Aliansi Gerakan Reformasi Agraria (AGRA), Gabungan Petani Lampung (GPL), Serikat Mahasiswa Nasional (SMN) dan Serikat Tani Nasional (Sertani) yang Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-hak Rakyat Indonesia (PHRI juga melaksanakan aksi mendesak realisasi reforma agraria dan penghentian berbagai aksi kekerasan terhadap petani.
Dalam kesempatan ini, massa aksi mendesak adanya pendistribusian tanah-tanah terlantar kepada kaum tani hingga legalisasi tanah-tanah yang telah diolah dan dimanfaatkan kaum tani seperti misalnya di kawasan Register 45 Mesuji.
Dari Semarang, Gerakan Tani untuk Kedaulatan (Gertak) yang terdiri atas Serikat Petani Indonesia (SPI), Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Forum Persaudaraan Petani Kendal (FPPK), Aliansi Petani Indonesia (API), Serikat Peguyuban Petani Qoriah Thoyibah (SPPQT), , LBH Semarang, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Semarang dan Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) juga melaksanakan aksi serupa(12/01).
Pada aksi kali ini massa juga mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan dan mengusut secara tuntas aksi kekerasan yang berlatarbelakang konflik agraria yang ada di Jawa Tengah, penegakan reforma agraria dilakukan dan pencabutan UU Pengadaan Tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum.
“Hal Ini termasuk juga kekerasan yang terjadi di Mesuji dan Bima. Disini (Jateng) pun sebenarnya memiliki banyak konflik agraria yang memicu kekerasan sehingga harus diusut tuntas,” ujar Purwanto, koordinator aksi di depan gubernuran Jalan Pahlawan.
Tidak mau ketinggalan DPW SPI Jawa Timur juga menggelar aksi berupa long march dari Monkasel, Balai Pemuda Surabaya menuju gedung negara Grahadi.
Di Manggarai, Nusa Tenggara Timur, ratusan petani melakukan aksi solidaritas dengan mendatangi Mapolres Manggarai dan kemudian menuju kantor Bupati Manggarai (12/01).
“Selain sebagai aksi solidaritas, dalam aksi ini kami juga meminta Pemkab Manggarai untuk mencabut KP Pertambangan dan juga mendesak pemerintah untuk segera mengembalikan tanah masyarakat adat yang telah diklaim jadi kawasan hutan,” ungkap Martinus Sinani, Ketua BPW SPI Nusa Tenggara Timur.
Sementara itu di Mataram, DPW SPI Nusa Tenggara Barat (NTB) bersama 11 organisasi masyarakat sipil lainnya yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Nusa Tenggara Barat juga melakukan aksi menuntut pelaksanaan reforma agraria sejati (12/01). Sekitar 3.000 massa aksi melakukan long march dimulai dari perempatan Bank Indonesia menuju kantor DPRD dan kantor Gubernur.
Wahidjan, Ketua BPW SPI NTB menyampaikan bahwa aksi kali ini memiliki beberapa tuntutan seperti agar segera dihentikannya perampasan sumber-sumber agrari, dihentikannya campurtangan militer dalam penylesaian sengketa tanah, segera mengusut tuntas kasus Lambu (Bima), hingga menangkap dan mengadili Kapolda, Kapolres Bima, Kapolsek Lambu, membebaskan masyarakat Lambu yang ditahan dan mengembalikan hak masyarakat adat.
“Kami juga menuntut agar pemerintah mencabut SK. No 188.45 / 347/ 004/ 2010 yang terbukti telah banyak menyengsarakan masyarakat kecil,” tambah Wahidjan.
Aksi-aksi lainnya juga secara serentak dilaksanakan di berbagai provinsi seperti DPW SPI Sumatera Selatan yang mengkonsentrasikan aksinya di Sungai Sodong, di lokasi konflik agraria, hingga aksi-aksi di, Sulawesi, dan lainnya