MEDAN. Saat ini perkebunan sawit telah mencapai 7,9 juta ha, bahkan data dari Sawit Watch luas perkebunan sawit sudah mencapai 9,4 juta ha. Pembukaan besar-besaran lahan sawit ini terus didorong oleh korporasi besar baik swasta asing maupun modal dalam negeri. Kenaikan harga minyak sawit (CPO) yang pernah mencapai US$ 1.300/metrik ton membuat banyak perusahaan/pemerintah daerah berlomba untuk menanam sawit dan melupakan sektor pertanian pangan. Menurut roadmap KADIN diperlukan 12 juta ha untuk sawit, bahkan pemerintah telah mengeluarkan izin lokasi yang pada tahun 2010 telah mencapai 26,7 juta ha.
Perluasan kebun kelapa sawit diyakini tidak akan mampu menyerap 10 juta tenaga kerja sebagaimana diharapkan pemerintah. Ekspansi lahan sawit dinilai hanya akan menjadi ancaman yang serius bagi persoalan pangan, lingkungan dan tidak akan mampu mengentaskan kemiskinan.
Pernyataan itu dikemukakan dalam Konferensi Alternatif Satu Abad Sawit yang digelar oleh ormas petani, buruh, mahasiswa dan lembaga masyarakat seperti Serikat Petani Indonesia (SPI), Walhi, Perserikatan KPS, Bakumsu, Bitra, Sawit Watch, SPKS dan lainnya. Konferensi yang dihadiri 35 organisasi dari seluruh Indonesia itu, berlangsung sejak 26-29 Maret 2011.
Di saat bersamaan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memperingati 100 tahun pekebunan sawit.
Pada Panel V Konferensi Rakyat ini menghadirkan narasumber seperti Achmad Ya’kub Ketua Departemen Kajian Strategis (SPI), Ir. Sukirman wakil Bupati Serdang Bedagai, Witoro dari KRKP, dan Prof. Bilter dari Badan Ketahanan Pangan.
Sehari sebelumnya (27/03) acara dibuka oleh Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM dan dihadiri juga oleh beberapa narasumber yaitu AbetNego dari Sawit Watch, George Junus Aditjondro, dan dari ICW.
Achmad Ya’kub menyatakan bahwa kebijakan pemerintah saat ini banyak kontradiksi. Kemandirian Pangan ingin ditingkatkan namun yang terjadi konversi lahan pangan menjadi sawit, jalan maupun lainnya. Menurut data Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyatakan bahwa konversi lahan pertanian menjadi non pertanian kurang lebih 10.000 ha/tahun, sama artinya dengan kehilangan 10.000 ton GKP”.
“Ini akibat model dan arah pembangunan nasional yang neoliberal, melayani kepetingan investor ekonomi global dari pada memenuhi kewajiban melindungi warga negara sesuai amanat pembukaan Konstitusi UUD 1945, yakni melindungi seluruh warga negara, memajukan dan menyejahterakan, berkeadilan sosial serta mencerdaskan kehidupan bangsa,” ungkap Ya’kub
“Apakah kenaikan luas dan kelimpahan produksi dari kelapa sawit menjamin ketahanan pangan di nasional ? Tentu tidak. Secara mudah kita cermati saat harga CPO naik, perusahaan berlomba untuk meng-ekspor, sementara harga yang ditanggung rakyat banyak untuk kebutuhan minyak goreng terus naik. Pada Mei 2007, harga minyak goreng curah naik dari Rp 5.500 per kg menjadi Rp 8.000 per kg. Pada April 2008, harga minyak goreng sudah mencapai Rp 13.000 per kg. Rakyat harus antri beli minyak makan, buruh kebun dan petani kebun sawit hidupnya hingga kini tetaplah miskin,” papar Ya’kub.
Sukirman, Wakil Bupati Serdang Bedagai menuturkan bahwa secara ekonomis, sosial dan lingkungan, pihaknya sudah menghitung bahwa satu hektar lahan bila ditanaman padi lebih memberikan dampak positif dalam 25 tahun dibandingkan pohon sawit.
“Petani padi lebih rajin, kreatif dan berdaulat dibandingkan ketika mereka menanam sawit, unsur-unsur gotong royong dan sosial masyarakat redup. Demikian juga rusaknya infrastruktur dipedesaan akibat banyaknya truk besar lalu lalang dijalan kelas lima di desa,” ungkap Sukirman.
“Praktek Kuli Kontrak dibangkitkan kembali dalam bentuk baru yaitu Buruh Harian Lepas (BHL), dan tukang berondolan yang bekerja setiap hari tanpa jaminan kerja bahkan tanpa ikatan kerja yang jelas serta tidak memperoleh jaminan sosial. Argumentasi bahwa lahan sawit akan menyerap tenaga kerja dan mengentaskan kemiskinan di pedesaan merupakan suatu kebohongan,”Ungkap Abet Nego Tarigan.
Asumsi hitungan pemerintah dan koorporasi yang menyebutkan bahwa 20 juta hektar lahan perkebunan akan menyerap sekitar 10 juta buruh, sangat jauh dari kenyataan. Fakta yang ditemukan di lapangan, dalam 100 hektar lahan sawit, hanya menyerap sekitar 22 tenaga kerja sehingga dengan demikian 20 juta hektar lahan sawit hanya menyerap 4,4 juta buruh.