JAKARTA. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) akan melaksanakan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-10 di Nairobi, Kenya pada 15-18 Desember mendatang. Dalam forum pengambilan keputusan tertinggi WTO ini, isu pertanian kembali menjadi yang paling hangat.
Jika dihitung dari sejak efektif negosiasi, maka WTO sudah berumur 20 tahun. Sejauh ini, liberalisasi perdagangan tidak bermanfaat bagi petani kecil di Indonesia.
“Salah satu tujuan berdirinya WTO adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di negara anggotanya.”
“Namun fakta yang terjadi malah sebaliknya. petani kita semakin miskin: data terakhir menyatakan kemiskinan di desa meningkat hingga 17,94 juta jiwa,” ujar Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) di Jakarta (11/12).
Pernyataan ini didukung dengan data yang menyatakan bahwa daya beli petani yang tak kunjung meningkat. Nilai Tukar Petani (NTP) stagnan dalam 2 dekade terakhir–tak lebih dari 102. Jika dirunut, hal ini karena petani tidak dapat menentukan harga sendiri karena banyak yang tidak bisa bersaing dengan pangan impor.
Produk pangan petani kita tidak dapat bersaing dengan produk pangan overproduksi negara maju. Produk-produk pertanian impor dari negara maju kebanyakan harganya sangat murah karena subsidi. Bukti nyata jomplangnya harga bisa dibuktikan dari harga kedelai, susu, jagung, gula, garam, bahkan beras.
“Amerika Serikat menggelontorkan subsidi pertanian sebesar US$130 milyar, sementara Uni Eropa US$109 milyar,” jelas Henry.
WTO kini kebakaran jenggot karena usulan negara berkembang untuk lebih melindungi negara mereka dari serbuan impor, juga usulan subsidi pertanian. India bersama Indonesia, China mengusulkan subsidi pertanian lebih dari 10%–persentase yang seharusnya tak dibolehkan perdagangan bebas. Busuknya adalah, Amerika Serikat, Uni Eropa dan negara maju lainnya bersembunyi dalam mekanisme Green Box, sehingga negara kaya selalu bisa mengakali dan menyubsidi pertanian industrial mereka.
“WTO telah menindas hak atas pangan kita. Mengapa negara kita harus minta permisi untuk melindungi petani lebih dari 10%?”
“Adalah kewajiban negara untuk melindungi dan menegakkan hak-hak warganya, terutama hak yang paling asasi seperti pangan,” tukas Henry lagi.
Lebih lanjut lagi, selalu ada kekhawatiran bahwa KTM WTO ke-10 ini didominasi negara-negara maju. Duta Besar Indonesia untuk WTO, Iman Pambagyo, telah menyatakan hal tersebut pada bulan Mei lalu. “Pembicaraan penting telah dilakukan dengan pintu tertutup oleh negara-negara G5–Amerika Serikat, Uni Eropa, Australia, Jepang, bersama China, India, dan Brazil,” demikian ia tulis (1). Parahnya lagi, negosiasi tertutup ini difasilitasi oleh Direktur Jenderal WTO sekarang, Roberto Azevedo.
Sementara itu, Green Room (2) macam ini memang sudah jadi tradisi di WTO. Dalam konteks KTM ke-10 di Nairobi, pembicaraan tertutup ini adalah dalam rangka menekan India dan China yang aktif menyuarakan peningkatan subsidi pertanian untuk negara miskin dan berkembang. Tekanan ini juga ditujukan agar negosiasi bisa maju untuk target liberalisasi yang bisa lebih cepat tercapai.
“Dua masalah mendasar WTO inilah yang membuat gerakan sosial di seluruh dunia menolak rejim perdagangan bebas ini,” kata Henry. “Petani kecil butuh perlindungan, insentif dan pasar yang adil untuk kehidupan mereka. Hal ini tidak dimungkinkan dalam WTO, bahkan perjanjian perdagangan bebas lain macam FTAs dan Trans Pacific Partnership (TPP),” ujar Henry lagi.
“Satu lagi, WTO adalah forum yang tidak demokratis. Yang berunding selalu negara maju, plus kepentingan perusahaan multinasional agribisnis, agrokimia dan hak paten.”
“Sudah saatnya Indonesia memikirkan secara kritis posisinya di WTO–terutama terkait program kedaulatan pangan nasional di Nawa Cita Jokowi-JK,” tukas dia.
“20 tahun WTO adalah 20 tahun penindasan petani. Kita sudah menyuarakan hal tersebut sejak awal.”
“Dan buntunya negosiasi juga menyiratkan bahwa organisasi perdagangan ini sudah akan mati,” tutup Henry.*****
Catatan:
(1) Tulisan Iman Pambagyo, “Insight: WTO: Where are we heading?” bisa diakses dihttp://www.thejakartapost.com/news/2015/05/27/insight-wto-where-are-we-heading.html
(2) Green Room adalah istilah ruangan Direktur Jenderal WTO, di mana akan ada pertemuan, negosiasi dengan pihak terbatas–biasanya tak lebih dari 30 pihak/negara dan cenderung menjadi jalan pintas negosiasi sehingga disebut tidak demokratis.
Info lebih lanjut:
Henry Saragih, 0811 655 668, hsaragih (at) spi.or.id
Mohammed Ikhwan, 0819 320 99596, m.ikhwan (at) spi.or.id