JAKARTA. Kedaulatan Pangan merupakan satu-satunya solusi yang mampu mengatasi krisis pangan yang terjadi di dunia saat ini dan konsep tersebut juga dapat dijalankan oleh setiap negara jika tidak dikooptasi oleh kepentingan perusahaan-perusahaan multi nasional.
Demikian antara lain disampaikan Yoon Geum Soon, dari Korean Women Peasant Association (KWPA-Asosiasi Petani Perempuan Korea), saat menjadi salah satu pembicara dalam Seminar Internasional, bertema Food Crisis: A Need for System Change di Ball Room Hotel Grand Cemara, Jakarta, Jumat (06/05).
Adapun pembicara lain pada kesempatan itu diantaranya Afsar Jafri (Focus on the Global South), Donny Mantra (Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia/AEPI), Mikyung Ryu (Korean Confederation on Trade Union) dan Ainur Hidayat (Serikat Mahasiswa Universitas Paramadina).
Yoon Geum Soon memaparkan bahwa saat ini terjadi peningkatan harga gandum besar-besaran di dunia dan krisis ekonomi global dinilainya menjadi salah satu pemicunya sehingga dia tengarai lebih dari 900 juta penduduk sedang mengalami krisis pangan. Beberapa tahun terakhir, lanjutnya, peran spekulan keuangan semakin besar dalam perdagangan pangan dunia dimana hal itu dapat dilihat dengan semakin banyaknya investor yang mengalihkan bisnisnya ke industri pertanian dan industri pertanian juga didorong oleh industri keuangan.
“Itulah mengapa spekulan finansial ikut mengarahkan krisis pangan saat ini,” imbuh Yoon yang juga anggota ICC (International Coordinator Committee) Gerakan Petani Internasional ‘La Via Campesina’.
Sejumlah negara maju, khususnya Amerika Serikat, melalui perusahaan-perusahaan multi nasionalnya, saat ini sangat menentukan industri pangan dunia, seperti beras, gandum & komoditas lainnya. Kondisi itu tercipta setelah Bank Dunia (World Bank) & WTO (World Trade Organization) mendorong pasar yg lebih lebar kepada spekulan pasar dan keuangan untuk “bermain” di dalamnya, begitu juga peran pemerintah di banyak negara.
Tidak heran, katanya, jika dalam beberapa tahun terakhir perusahaan-perusahaan pangan semakin kuat. Padahal di sisi lain, konsep Ketahanan Pangan yang diimplementasikan oleh World Bank dan WTO, telah mendorong dan membuka kesempatan yg lebih besar bagi perusahaan-perusahaan dan negara melakukan perampasan tanah (land grabing) petani.
“Di Korea, pemerintah malah mendorong land grabbing (perampasan tanah) untuk memproduksi pangan oleh perusahaan-perusahaan agribisnis,” ungkapnya.
Negara-negara yang tergabung dalam kelompok G20, tambahnya, telah berupaya mencegah krisis pangan dengan mengefektifkan WTO, namun menurutnya hal itu merupakan “solusi palsu” karena hanya akan memperburuk situasi dan mendorong militerisasi, land grabing dan penjajahan kedua. “Satu-satunya solusi adalah kedaulatan pangan yang harus menjadi kebijakan di masing-masing negara. Kedaulatan pangan lebih demokratis dibandingkan konsep ketahanan pangan dan yg mampu mengatasi krisis pangan di dunia,” tegasnya.
Sementara itu Afsar Jafri antara lain mengurai bahwa G20 adalah lembaga yang tidak sah mengatasi krisis pangan dimana pada awalnya saja kelompok negara ini telah gagal mengatasi krisis financial pada 1998. “Metode yang dikembangan G20 dalam mengatasi krisis pangan merujuk pada IMF dan World Bank, padahal lembaga2 ini adalah penyebab krisis financial pada 1998. Dan bagaimana mungkin G20 mencoba menghidupkan kembali WTO yang sudah hilang legitimasinya? Kita lihat saja bagaimana WTO menghancurkan pangan di berbagai negara, seperti di Haiti dan India,” tuturnya.
Dia gambarkan, dahulu India bisa memenuhi kebutuhan minyak makannya sendiri, namun saat ini negara itu malah mengimpor 50% dati total kebutuhannya dari Indonesia Dan dia pastikan bahwa 5000 anak-anak di India mati kelaparan setiap hari karena kurang gizi sementara kebijakan-kebijakan negaranya tidak ada yang mempunyai hubungan yang pasti antara pertumbuhan ekonomi dengan mengatasi kelaparan tersebut. “(Padahal) Jalan keluarnya adalah dengan menjamin petani mengontrol benih, tanah dan air untuk mengatasi krisis terhadap pangan itu,” ujarnya.
Sudah Mengkhawatirkan
Henry Saragih, Koordinator Umum Gerakan Petani Internasional ‘La Via Campesina’ yang menjadi keynote speacer dalam seminar yang dihadiri oleh ratusan orang itu antara lain menegaskan bahwa krisis pangan dunia saat ini sudah mencapat tahap yang memprihatinkan.
“Krisis pangan dunia saat ini sudah mencapai tahap yang memprihatinkan. Krisis harga pangan yang terjadi sekarang ini sebagai akibat dari diterapkannya sistem neoliberalisme melalui World Trade Organization (WTO) dan Free Trade Agreement,” tegasnya.
Akibat dari neoliberalisme pertanian dan perdagangan komoditas pangan, jelasnya, saat ini pertanian terkonsentrasi pada pertanian yang berorientasi ekspor dan pertanian atau perkebunan dengan sistem monokultur. Bahkan menurutnya, dewasa ini makanan tidak lagi sejatinya untuk makanan manusia, tetapi makanan telah diutamakan sebagai bahan industri agrofuel dan keperluan perusahaan peternakan. Makanan juga menjadi bahan spekulasi perdagangan.
Mi Kyung Ryu mengatakan, karena sudah begitu mengkhawatirkan, saat ini krisis pangan bukan lagi hanya menjadi isu gerakan petani tapi juga sudah menjadi isu gerakan serikat buruh di Korea Selatan.
Di Korea Selatan, misalnya. Setelah diterpa krisis pada 2008, pemerintah bukannya menyelesaikan persoalan pangan, namun malah memperbanyak pengangguran dan kelaparan, dimana pada 2009 lebih dari seribu pekerja di PHK oleh rata-rata satu pabrik. “Banyak dari mereka yang di-PHK menyerah dan melakukan bunuh diri, apalagi sejak 2008 hingga hari ini tidak terjadi peningkatan upah di Korea dan situasi ini diperburuk dengan meningkatnya harga2 barang,” imbuhnya.
Menurutnya, Korea Selatan saat ini mengimpor 90% dari kebutuhan komoditas pangannya, sehingga peningkatan harga tersebut sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat di negara itu karena peningkatan biaya pangan adalah peningkatan biaya yang terbesar. Hal itu dibuktikan dengan penelitian OICD yang menyimpulkan bahwa Korea Selatan saat ini menempati peringkat kedua dunia, negara yang paling dipengaruhi kenaikan harga pangan. Diperparah lagi dengan kenyataan bahwa lebih dari separuh pekerja di negera itu adalah pekerja tidak tetap, sementara kesenjangan upah antara pekerja tetap dgn tidak tetap semakin besar tiap tahun.
Adapun kegiatan ini diselenggarakan oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) bekerjasama dengan La Via Campesina(Gerakan Petani Internasional), Focus On The Global South, Koalisi Anti Utang (KAU),Institute of Global Justice (IGJ), Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Korean Women Peasants Association (KWPA-Asosiasi Petani Perempuan Korean), Korean Peasant League (KPL-Liga Petani Korea) dan Serikat Mahasiswa Paramadina. (yp)