Pola estate digunakan pemerintahan kolonial sebagai alat ekstraktif mempermudah penghisapan kekayaan alam Indonesia untuk diperdagangkan di negara asal mereka. Bahkan agar tetap rakyat menanamnya, penjajahan kala itu mengharuskan rakyat membayar pajak berupa beberapa komuditas penting yang laku dipasaran dunia sehingga rakyat harus menanamkannya, yang dikenal istilah culture stelsel. Sungguh ironi bagi negara agraris yang tanahnya subur dan gemah ripah loh jinawi seperti Indonesia ini.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak meninjau ulang kasus Krisis pangan yang terjadi pada tahun 2007, sebanyak 36 negara termasuk Indonesia (dengan bermacam indikator) mengalaminya. Yang paling menderita akibat krisis pangan adalah petani, kantong-kantong kelaparan di Indonesia justru di wilayah-wilayah pertanian. Bukan petani yang diberi akses tanah untuk kedaulatan pangan bangsa, tapi pemerintah memberikan lampu hijau kepada swasta baik dalam negeri dan asing menanamkan modalnya pada usaha pengembangan food estate.
Masih segar dalam ingatan masyarakat Indonesia di sela acara 5th World Islamic Economic Forum (WIEF) yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 2-5 Maret 2009. Menteri Pertanian Anton Apriantono menyebutkan bahwa investor Timur Tengah akan menunda investasi di Indonesia. Bin laden Group menginvestasikan dana senilai US$2 miliar untuk food estate di Lampung dan Sulawesi Tengah. Rencana tersebut merupakan rencana susulan atas rencana serupa senilai US$4,37 miliar diatas tanah seluas 500.000 hektar di Merauke.
Demi menghipnotis investor, tahun 2010 dalam kerja 100 hari Kabinet Indonesia Jilid II Kementrian Pertanian dalam Visi-Misi 2010-2014, Program Prioritas dan Program 100 Hari akan mengeksekusi Peraturan Pemerintah No. 18/2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman merupakan regulasi food estate di Merauke. Sebelumnya beberapa peraturan sudah dikeluarkan demi memperkuat kebijakan ini, Peraturan Presiden No. 77/2007 tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup dan Terbuka turunan dari UU No.25/ 2007 tentang Penanaman Modal, Instruksi Presiden No. 5/2008 tentang Fokus Program Ekonomi 2008-2009 termasuk di dalamnya mengatur Investasi Pangan Skala Luas (Food Estate). Inpres ini dalam kacamata pemerintah bertujuan untuk menjawab permasalahan pangan nasional dengan memberikan kesempatan kepada pengusaha dan investor untuk mengembangkan “perkebunan” tanaman pangan.
Pengesahan culture stelsel baru “perampasan tanah” (land grabbing) telah hadir dinegeri ini, istilah ini pertama kali dikemukakan oleh sebuah lembaga pertanian GRAIN di Spanyol tahun 2008, dan digunakan untuk menyebut perampasan tanah untuk “perkebunan pangan” yakni pengambilan tanah-tanah pertanian oleh perusahaan besar melalui investasi agribisnis. Saat ini sudah semakin populer bahkan telah menjadi perhatian berbagai lembaga PBB seperti Food and Agriculture Organization (FAO) dan International Fund for Agricultural Development (IFAD).
Sistem culture stelsel baru dengan skema food estate ini bisa menegaskan bahwa feodalisme tidak pernah berakhir dinegeri ini. Ketika pengusaha besar lokal dan asing datang atas mandat pemerintah untuk bersaing dengan petani gurem seperti Medco Energi, Sinar Mas Group, dan Artha Graha dan Bin Laden Group memutuskan terjun dalam bisnis pangan seluas 585.000 hektar di daerah Merauke. Namun pemerintah tidak berpikir bahwa petani akan tetap menjadi buruh di negerinya sendiri. Negeri ini makin terbelenggu kapital asing dan meliberalisasi semuanya yang justru akan mengancam kedaulatan pangan.
Masalah pertanian di negeri ini bukanlah semata-mata modal, akan tetapi, sistem politik ekonomi yang dijalankan di bidang pertanian tidak sesuai dengan amanah founding father, akhirnya petani pribumi hanyalah sebagai mitra kerja alias “buruh” bagi pemodal.
Langkah nyata untuk menanggulangi masalah petani di negeri ini pemerintah harus kembali kepada UUPA No. 5/1960. Saat ini di Indonesia masih terdapat 12.418.0563 hektar tanah terlantar (BPN;2008), tanah tersebut akan sangat bermanfaat jika didistribusikan untuk keluarga-keluarga tani. Pendistribusian ini hendaknya mengutamakan keluarga tani yang tak bertanah, buruh tani, dan petani kecil dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektar.
Jika rata-rata satu keluarga tani mendapatkan 2 hektar tanah untuk digarap, sesuai pasal 8 Perpu No.56/1960 untuk batas minimum yang dapat menjamin kelangsungan hidup keluarga, maka terdapat 6.209.028 keluarga yang akan mendapatkan sumber penghidupan yang layak disamping untuk memenuhi kebutuhan pangan dan produk pertanian nasional.
Petani sebagai penghasil pangan memiliki, menguasai dan mengkontrol alat-alat produksi pangan seperti tanah, air, benih dan teknologi serta berbagai kebijakan yang mendukungnya dalam bingkai pelaksanaan pembaruan agraria, maka kedaulatan pangan akan dapat ditegakkan dan akan berjalan seiring dengan proses pembangunan pedesaan yang saat ini dikenal sebagai kantong-kantong kemiskinan.
Muhammad Rizal Siregar
Staf Departemen Politik, Hukum, dan Keamanan
Serikat Petani Indonesia