HANOI. Organisasi Pangan Dunia (FAO-Food and Agriculture Organization) telah selesai menyelenggarakan Konferensi FAO kawasan Asia Pasifik ke-31 di Hanoi, Vietnam, pada 12-16 Maret 2012. Konferensi yang juga dihadiri oleh 22 Menteri Pertanian (termasuk Indonesia) dari 39 negara se-Asia Pasifik ini telah menghasilkan beberapa kebijakan yang berdampak tentang pangan dan pertanian, khususnya di kawasan Asia Pasifik. Konferensi ini juga dihadiri oleh 12 organisasi masyarakat sipil dimana Serikat Petani Indonesia (SPI) dan La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) termasuk di dalamnya.
Selama lima hari tersebut, SPI cukup aktif memberikan masukan dan intervensi. Pada sesi yang diadakan pada 12 Maret, SPI dan La Via Campesina memberi masukan mengenai pertanian rakyat dan koperasi untuk mengganti dan melawan korporasi pangan dan pertanian.
Zainal Arifin Fuad – perwakilan SPI dalam acara ini – mengemukakan bahwa pada sesi tersebut SPI dan La Via Campesina (LVC) juga menolak perjanjian perdagangan bebas (FTA-Free Trade Agreement); dan mengusulkan penguatan cadangan pangan tingkat nasional untuk mencegah krisis pangan. SPI dan LVC juga menentang cadangan pangan tingkat regional ASEAN – salah satu keputusan ASEANSummit di Bali – mengenai cadangan makanan untuk negara-negara di ASEAN, Jepang, Korea Selatan dan China.
Masih pada hari yang sama, SPI juga mengusulkan pentingnya untuk pengadaan lahan dan sumber daya air untuk mencegah krisis pangan melalui agenda pembaruan agraria.
“Usul ini muncul karena dua presentasi FAO pada sesi ini berlawanan isinya. Satu presentasi ada permasalahan kompetisi lahan untuk pangan dan biofuel, tapi pada presentasi yang lain, tidak menyinggung soal lahan, hanya tantangan peningkatan produksi lahan dengan implementasi pertanian ramah lingkungan. SPI juga menyinggung mengenai penguatan kelembagaan ekonomi petani melalui koperasi. Apalagi PBB menyatakan tahun 2012 sebagai tahun koperasi. Peningkatan posisi tawar petani melalui koperasi sangat positif untuk melawan atau menghindari contract farming di rantai produksi-distribusi yang tidak adil,” papar Zainal.
Pada hari berikutnya SPI dan LVC memberikan masukan tentang agroekologi sebagai pengganti dari revolusi hijau. Sementara FAO mengusulkan program “Save and Grow” , yang intinya sama dengan agroekologi.
“Namun konsep ‘Save and Grow‘ tidak menitikberatkan juga tentang kelembagaan ekonomi dan pertanian rakyat sehingga ancaman kontrak pertanian di sektor produksi pangan dan bahkan produksi benih, serta distribusi akan terus terjadi,” ungkap Zainal yang juga mewakili La Via Campesina.
Pada 15 Maret, SPI dan La Via Campesina mewakili 12 organ lainnya dan membacakan pernyataan hasil pertemuan organisasi masyarakat sipil di sidang pleno acara ini (bisa diunduh disini).
Di hari terakhir SPI melakukan intervensi dalam diskusi tentang volatilitas harga pangan. SPI menjelaskan bahwa perusahaan retail, pabrik pengolah pangan dan perusahaan supplier-lah yang bertanggung-jawab atas terjadinya pelanggaran hak atas pangan dan naik-turunnya harga pangan.
Diskusi dengan Direktur Jenderal FAO
Sementara itu, di tengah perhelatan konferensi, SPI, La Via Campesina bersama 11 organisasi masyarakat sosial lainnya melakukan inisiatif untuk melakukan diskusi langsung dengan Direktur Jenderal FAO, José Graziano da Silva.
Zainal yang mewakili SPI dan La Via Campesina menyatakan bahwa SPI dan La Via Campesina cukup bersyukur karena FAO dibawah kepemimpinan Graciano telah membuka pintu untuk Civil Society Organizations ( Organisasi Masyarakat dan LSM) berkontribusi menyampaikan pendapat dalam Forum-forum resmi FAO.
“Hal ini sangat penting seiring dengan semakin tinggi permasalahan yang dihadapi oleh petani – terkait soal tanah, perubahan iklim, produksi dan distribusi yang menyebabkan kemiskinan dan kelaparan. Salah satu kunci utama untuk penyelesaian berbagai masalah tersebut adalah penguatan kelembagaan ekonomi dan sosial petani, khususnya koperasi yang mampu meningkatkan posisi tawar petani di rantai produksi-distribusi. Bila tidak, petani selalu terperangkap dalam contract farming yang tidak adil di jalur rantai produksi- distribusi,” tutur Zainal.
Zainal menambahkan bahwa hasil sidang FAO tanggal 14 maret tentang Value Chain bahwa retail modern berjalan paralel dengan retail tradisional dan dibedakan hanya dari kualitas komoditas saja ( premium) adalah tidak benar. Karena realitasnya yang modern menekan dan menindas retail tradisional petani.
Merespons hal ini, Graziano menyampaikan FAO bertekad mengembalikan koperasi ke FAO. FAO sangat perlu untuk membantu koperasi dalam mengatasi kemiskinan dan kelaparan.
“Kita perlu mencontoh keberhasilan koperasi petani tidak bertanah di Porto Alegre, Brasil. Pada bulan Mei nanti FAO rencana akan membahas soal koperasi,” ungkap pria asal Brasil ini.
Graziano juga menggarisbawahi peran petani perempuan di dunia pertanian, namun kemiskinan dan kelaparan menerpa mereka. Ini tantangan FAO dengan merujuk juga pada MDG. FAO juga lebih mementingkan soal kualitas perempuan ( jadi tidak hanya faktor Quota perempuan saja), karena itu peningkatan pengetahuan dan wawasan, dan asistensi teknis menjadi program kerja FAO untuk perempuan.