DIENG. Petani di Pegunungan Dieng, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, mengembangkan pertanian berwawasan lingkungan atau agroekologi.
Hal itu membuat petani di kawasan itu dikenal karena agroekologi mereka. Kawasan Dieng yang rata-rata berada di ketinggian sekitar 2.000 m di atas permukaan laut dikenal dengan perladangan kentang.
Kondisi tanahnya labil karena tidak ada tumbuhan atau pohon besar penahan longsor.
Kabarnya pohon-pohon di Dieng ditebangi sejak zaman Belanda ketika perusahaan perkebunan Belanda hendak membuka perkebunan tembakau.
Ruhin, petani Dieng, menjelaskan para petani antara lain menanami ladang mereka dengan pohon cemara.
Cemara ditanam di dinding terasering.
“Tujuan agar tanah tidak longsor,” katanya di ladangnya di Dieng, pekan lalu.
Cemara, lanjut Ruhin, berguna sebagai kayu bakar.
Kelebihan cemara, katanya, bisa tumbuh dengan sendirinya meski sudah ditebang.
Petani juga berangsur-angsur mengurangi penggunaan pupuk kimia.
“Kita mulai beralih ke pupuk organik meski belum bisa sepenuhnya,” ujarnya.
Petani lain, Ngabidin, mengatakan, selain cemara, para petani di Dieng menanami dinding terasering dengan tanaman carica.
Tujuannya sama, mencegah longsor.
Carica ialah tanaman sejenis pepaya. Masyarakat Dieng membudidayakan carica untuk dibuat antara menjadi manisan dan keripik.
Carica menjadi oleh-oleh khas bagi wisatawan yang mengunjungi Dieng.
“Sebagian petani juga menanami dinding terasering dengan kopi,” kata Ngabidin yang juga Badan Pelaksana Cabang (BPC) Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Wonosobo.
Upaya lain pengembangan agroekologi ialah menganekaragamkan tanaman pertanian.
“Tanaman pertanian yang seragam menyumbang pemanasan global,” tutur Ngabidin.
“Kita menggalakkan tanaman yang polikultur, tidak seragam, menggunakan benih lokal dan menggunakan pupuk organik. Selain itu, kami mendorong menggunakan benih kentang yang bisa diproduksi anggota sendiri,” tutur Ngabidin pada saat yang sama.