JAKARTA. Sugiatmo, pria kelahiran Solo, 6 Maret 1947 ini adalah potret seorang pejuang tani yang tak lekang dimakan zaman. Pria yang akrab dipanggil mamock ini berasal dari keluarga yang cukup sederhana dan bersahaja. Ayahnya adalah seorang guru di Sekolah Rakyat sekaligus anggota TNI yang sering mengorganisir massa di daerah pedesaan, sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga.
Di masa mudanya Mamock cukup aktif dalam berbagai kegiatan dan organisasi sosial. Pria yang memiliki 4 orang anak ini menyatakan bahwa semenjak muda dia telah aktif di kepanduan. Mamock muda juga pernah aktif di teater dan sempat membentuk teater Marguyudan di Jakarta bersama Frans Soedibyanto-adik kandung almarhum budayawan terkenal Indonesia, WS Rendra. Pria berumur 63 tahun ini pada masa mudanya juga aktif di pemuda Marhaenis.
“Saya adalah Soekarnois sejati” ungkapnya.
Mamock muda adalah seorang yang sudah cukup mapan kondisi ekonominya. Pada usia 24 tahun, Mamock sudah bekerja di perusahaan pengeboran minyak asal Amerika Serikat, Atlantic Richfield Company. Dia juga pernah berprofesi sebagai Manajer Front Office Ski Diving Center di Pulau Putri Resort Hotel. Namun itu semua tidak membuatnya puas. Pria berkacamata ini bertutur bahwa segala fasilitas yang didapatkannya itu justru membuatnya hampa. Mamock bertutur bahwa dulu dia selalu pergi berlibur ke desa-desa untuk mencari ketenangan.
“Saya ini anak kota dan dibesarkan di kota, tapi kok malah lebih senang di desa ya?” ungkapnya dengan jujur.
Anak kelima dari delapan bersaudara ini mulai fokus di dunia organisasi pada 1979. Mamock kembali ke daerah kelahirannya di Solo dan bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan di Pemuda Demokrat-sebuah ormas independen.
“Saya merasakan ketimpangan yang begitu tinggi antara masyarakat perkotaan yang cenderung hedonis dengan kehidupan masyarakat desa yang cukup jujur” ungkapnya.
Pada 1986, Mamock mulai bergabung di beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan merupakan seorang Community Organizer (CO) yang cukup handal. Bersama rekan-rekan seperjuangannya, suami dari Lindawati ini membentuk Himpunan Petani Mandiri Jawa Tengah (HPMJT) yang kemudian pada 1998 melebur ke Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) hingga kini berganti menjadi unitaris menjadi Serikat Petani Indonesia (SPI).
Pria yang gemar bermain catur ini mengatakan bahwa SPI adalah satu-satunya organisasi massa perjuangan petani independen yang konsisten dalam perjuangan reforma agraria. Mamock juga berpendapat bahwasanya setiap jengkal tanah di dunia ini pasti membuat masalah. Oleh karena itu hingga saat ini, Mamock masih memegang teguh prinsip “rukun enteng” yakni bagaimana dengan kerukunan itu segala sesuatunya bisa dilakukan dan diselesaikan.
Anggota Majelis Nasional Petani (MNP) SPI untuk wilayah Jawa Tengah ini mengatakan bahwa dia akan terus mengawal SPI untuk tetap memperjuangkan petani demi mewujudkan pembaruan agrarian dan keadilan sosial. “SPI ini adalah masa depan cerah petani Indonesia, oleh karena itu saya akan terus mengawal dan mengawasi SPI ini diminta ataupun tidak diminta” ungkapnya.
Mamock juga mengungkapkan bahwasanya semulia-mulianya manusia itu adalah petani.
“Kalau petani tidak ada kita mau makan apa?” tegasnya.
Ketua Umum SPI, Henry Saragih mengatakan bahwa Mamock adalah salah seorang pejuang tani yang tetap konsisten memperjuangkan kepentingan petani.
“Di usianya yang sudah tidak muda lagi, Pak Mamock masih rajin turun ke basis-basis, Pak Mamock bahkan masih mengorganisir terbentuknya cabang SPI di tiga Kabupaten yakni Banyumas, Pekalongan dan Jepara” ungkap Henry dengan bangga.